Selasa, 10 Agustus 2010

“Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.......” : Pesan Kemerdekaan Buya M. Natsir

Pada 17 Agustus 1951, hanya enam tahun setelah kemerdekaan Negara Republik Indonesia, Mohammad Natsir -- yang pada tahun 2008 mendapat hadiah gelar Pehlawan Nasional dari pemerintah RI-- menulis sebuah artikel berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.” Artikel Natsir ini sangat penting untuk kita renungkan saat peringatan Kemerdekaan RI ke-64 tahun ini. Berikut ini petikan tulisan pendiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia ini:

Hari ini, kita memperingati hari ulang tahun negara kita. Tanggal 17 Agustus adalah hari yang kita hormati. Pada tanggal itulah, pada 6 tahun yang lalu, terjadi suatu peristiwa besar di tanah air kita. Suatu peristiwa yang mengubah keadaan seluruhnya bagi sejarah bangsa kita. Sebagai bangsa, pada saat itu, kita
melepaskan diri dari suasana penjajahan berpindah ke suasana kemerdekaan... Kini! Telah 6 tahun masa berlalu. Telah hampir 2 tahun negara kita memiliki kedaulatan yang tak terganggu gugat. Musuh yang merupakan kolonialisme, sudah berlalu dari alam kita. Kedudukan bangsa kita telah merupakan kedudukan bangsa yang merdeka. Telah belajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Telah menjadi anggota keluarga bangsa-bangsa. Penarikan tentara Belanda, sudah selesai dari tanah air kita. Rasanya sudahlah boleh bangsa kita lebih bergembira dari masa-masa yang lalu. Dan memang begitulah semestinya! Akan tetapi, apakah yang kita lihat sebenarnya? Masyarakat, apabila dilihat wajah mukanya, tidaklah terlalu berseri-seri. Seolah-olah nikmat kemerdekaan yang telah dimilikinya ini, sedikit sekali faedahnya. Tidak seimbang tampaknya laba yang diperoleh dengan sambutan yang memperoleh! Mendapat, seperti kehilangan! Kebalikan dari saat permulaan revolusi. Bermacam keluhan terdengar waktu itu. Orang kecewa dan kehilangan pegangan. Perasaan tidak puas, perasaan jengkel, dan perasaan putus asa, menampakkan diri. Inilah yang tampak pada saat akhir-akhir ini, justru sesudah hampir 2 tahun mempunyai negara merdeka berdaulat. Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau. Mengapa keadaan berubah demikian? Kita takkan dapat memberikan jawab atas pertanyaan itu dengan satu atau dua perkataan saja. Semuanya harus ditinjau kepada perkembangan dalam masyarakat itu sendiri. Yang dapat kita saksikan ialah beberapa anasir dalam masyarakat sekarang ini, di antaranya: Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu, dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri. Segala kekurangan dan yang dipandang tidak sempurna, dibiarkan begitu saja. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang di luar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!... ” ”Saudara baru berada di tengah arus, tetapi sudah berasa sampai di tepi pantai. Dan lantaran itu tangan saudara berhenti berkayuh, arus yang deras akan membawa saudara hanyut kembali, walaupun saudara menggerutu dan mencari kesalahan di luar saudara. Arus akan membawa saudara hanyut, kepada suatu tempat yang tidak saudara ingini... Untuk ini perlu saudara berdayung. Untuk ini saudara harus berani mencucurkan keringat. Untuk ini saudara harus berani menghadapi lapangan perjuangan yang terbentang di hadapan saudara, yang masih terbengkelai... Perjuangan ini hanya dapat dilakukan dengan enthousiasme yang berkobar-kobar dan dengan keberanian meniadakan diri serta kemampuan untuk merintiskan jalan dengan cara yang berencana.”
Demikian pesan-pesan perjuangan M. Natsir, seperti dapat kita baca selengkapnya pada buku Capita Selecta 2, (Jakarta: PT Abadi, 2008). Mengambil pelajaran dari petuah M. Natsir tersebut, kita dapat memahami bahwa akar persoalan bangsa Indonesia yang harus dipecahkan, khususnya oleh kaum Muslim, adalah penyakit ”hubbud-dunya” atau penyakit cinta dunia yang sudah menggurita. Betapa pun sistem pengawasan dan UU anti-korupsi diperbaiki dengan secanggih-canggihnya, tetapi jika penyakit cinta dunia itu sudah mendarah daging, maka ada saja peluang untuk mengakalinya. Lihatlah kasus yang melilit berbagai lembaga penegakan hukum sekarang ini! Orang yang semula dipuja sebagai tokoh pemberantas korupsi, tiba-tiba harus berhadapan dengan kasus serupa yang menimpa dirinya. Godaan harta, tahta, dan wanita, sudah banyak membawa korban bagi para pemuka negeri ini. Dalam lapangan pendidikan, misalnya, kita bersyukur, saat ini anggaran di bidang pendidikan semakin membesar. Kesejahteraan guru semakin diperhatikan. Biaya bantuan untuk operasional sekolah juga ditingkatkan. Tetapi, pada sisi lain, karena penyakit cinta dunia yang sudah mendarah daging, berapa pun gaji yang diterimanya, tidaklah dia akan merasa cukup. Banyak orang korupsi bukan karena terpaksa untuk sekadar mengisi perut atau mencukupi kebutuhan pokok keluarganya, tetapi korupsi dilakukan karena keserakahan, karena ingin hidup mewah. Banyak yang sudah bergaji puluhan juta rupiah per bulan, tetapi tetap saja tidak mencukupi kebutuhan hawa nafsunya. Maka, ketika ditanya oleh para cendekiawan Muslim, seperti Dr. Amien Rais dan kawan-kawan, pada 1980-an, penyakit apakah yang paling berbahaya bagi bangsa Indonesia, dengan tegas M. Natsir menjawab: ”Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia.” Lebih jauh dia katakan: ”Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi, gejala yang ”baru” ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.” (Lihat, buku Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak (DDII, 1989). Kita perlu benar-benar menggarisbawahi dan merenungkan kata-kata M. Natsir tersebut. Jika penyakit cinta dunia sudah merasuki umat Islam, pasti umat ini akan binasa. Tidak mungkin perjuangan Islam akan menang. Rasulullah saw pun sudah menegaskan, ”Apabila umatku sudah mengagungkan dunia maka akan dicabutlah kehebatan Islam.” Banyak hadits serupa ini bisa kita baca. Jika syahwat dunia sudah mencengkeram, maka tidak mungkin diharapkan akan muncul semangat dakwah dan semangat pengorbanan. Bangsa yang sudah hilang semangat berkorbannya, tidak akan mungkin bangkit menjadi bangsa yang besar. Imam al-Ghazali dalam kitabnya, al-Arba’iin fii Ushuuliddin, menulis: ”Wa i’lam anna hubba ad-dunya ra’su kulli khathiiatin.” (Ingatlah, sesungguhnya cinta dunia itu adalah pangkal segala kejahatan). Penyakit inilah yang telah menghancurkan umat Islam di masa lalu. Rasulullah saw sudah banyak mengingatkan umat Islam akan bahaya penyakit ini. Kita patut waspada jika sekolah-sekolah Islam, perguruan tinggi Islam, juga lembaga-lembaga dakwah, dan lembaga perekonomian Islam ikut andil dalam melahirkan manusia-manusia yang gila dunia dan gila jabatan. Untuk meraih posisi jabatan atau kepegawaian tertentu, tak jarang kita mendengar adanya praktik-praktik suap dalam proses penerimaan. Orang yang mencintai dunia, kata al-Ghazali, sebenarnya orang yang sangat bodoh. ”Ketahuilah bahwa orang yang telah merasa nyaman dengan dunia sedangkan dia paham benar bahwa ia akan meninggalkannya, maka dia termasuk kategori orang yang paling bodoh,” kata al-Ghazali. Islam tidak mengharamkan dunia. Bahkan, Islam memberikan kemerdekaan kepada umatnya untuk memiliki harta sebanyak-banyaknya, selama diperoleh dengan cara yang halal. Islam tidak mengharamkan kenikmatan dunia. Bahkan, umat Islam dipersilakan menikmatinya. Islam bukanlah agama yang mengajarkan spiritualisme ekstrim, bahwa seorang tidak dapat dekat dengan Allah selama masih menikmati dunia. Jika ingin dekat dengan Tuhannya, kata mereka, maka dia diharuskan meninggalkan wanita, tahta, atau harta; lalu pergi ke goa-goa atau belantara, menjauhi dunia dan mendekati Sang Maha Kuasa dengan bertapa. Islam tidak seperti itu ajarannya. Seorang Muslim dapat menjadi orang yang takwa, dengan bergelimang harta dan hidup bersama istrinya. Seorang Muslim adalah seorang yang meletakkan harta dalam genggaman tangannya, dan bukan mencengkeram harta dengan hatinya, sehingga dia bersifat bakhil, pelit, dan takut kehilangan dunia. Pesan M. Natsir tentang manusia Indonesia ini kiranya bisa didengar oleh penguasa. Kita berharap, pemimpin bangsa kita adalah orang-orang yang tidak terkena penyakit cinta dunia. Mereka akan mendapatkan siksaan yang pedih jika menelantarkan rakyatnya, sementara mereka hidup dalam gemerlap dunia dengan menggunakan uang negara. Orang yang terkena penyakit cinta dunia, biasanya akan enggan menginfakkan hartanya. Apalagi, jika dia berpikir, harta yang dia miliki adalah hasil keringatnya sendiri, dan tidak ada hubungannya dengan pemberian Allah. Padahal, dia mendapatkan harta itu, juga semata-mata karena izin Allah. Jika Allah menghendaki, terlalu mudah untuk memusnahkan hartanya, termasuk mencabut nyawanya. Allah SWT sudah mengingatkan bahwa orang yang salah paham terhadap dunia, yang mencintai dunia, dan enggan menginfakkan hartanya, pasti akan menyesal di kala ajalnya tiba, dan kemudian dia meminta waktu sedikit saja agar bisa bersedekah di dunia. Allah SWT memperingatkan dalam al-Quran yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi. Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: ”Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih.” Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Munafiqun: 9-11). Pesan lain dari Mohammad Natsir yang perlu kita camkan dan renungkan adalah agar kita tidak pernah berhenti dalam melaksanakan amanah perjuangan Islam. Jangan berhenti tangan mendayung, nanti kita terbawa arus. Begitu pesan Natsir. Pesan dari tokoh yang kenyang makan asam garam perjuangan ini seyogyanya mendorong kita untuk memahami ajaran Islam dan situasi dengan cermat dan tepat. Kita perlu memahami sejarah perjuangan umat Islam, baik di dunia, dan khususnya juga di Indonesia. Para tokoh pejuang Islam telah berjuang menegakkan Islam di negeri ini, dengan segenap liku-liku dan hambatan dan rintangan. Tidaklah patut kita sekarang mengabaikan jasa-jasa dan prestasi yang diraih oleh para pejuang Islam. Kita bisa tidak puas, atau berbeda pendapat dengan pemikiran atau langkah yang ditempuh para pendahulu kita. Tetapi, tidak sepatutnya kita meremehkan hasil perjuangan mereka, apalagi mencerca perjuangan mereka. Kita bisa berbeda, tetapi para pejuang Islam itu telah melakukan hal yang besar, yang belum tentu prestasi mereka dapat dicapai oleh generasi kita sekarang ini. Para pejuang dan tokoh Islam di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) secara bulat berusaha menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara Islam atau negara berdasar Islam. Mereka sangat gigih dan jelas menyuarakan aspirasi mereka, berhujjah dengan berbagai kelompok yang berseberangan ideologi dan aspirasi. Ketika aspirasi mereka ”membentur tembok”, mereka tidak patah arang, dan menerima Piagam Jakarta sebagai konsep kompromi. Ketika tujuh kata dalam Piagam Jakarta pun diganjal, para tokoh dan pejuang Islam tidak menyerah. Mereka menerima konsep Pembukaan UUD 1945, dengan menegaskan pemahaman konsep Tauhid Islam. Tokoh-tokoh Islam, seperti KH Wahid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan sebagainya, terus menggelorakan semangat juang tiada kenal kata menyerah. Maka, tidak sepatutnya kita menafikan hasil-hasil perjuangan yang telah dicapai oleh para pejuang Islam terdahulu di Indonesia. Keislaman kita, ibu bapak kita, kakek-nenek kita, dan nenek moyang kita pun merupakan hasil perjuangan para pendakwah Islam yang ratusan tahun lalu telah berjuang mendakwahkan Islam di negeri ini. Alhamdulillah, apa pun kondisinya saat ini, Indonesia masih mayoritas Muslim, dan insya Allah akan menjadi negeri Muslim yang semakin kokoh dan jaya, jika umat Islam bekerja lebih keras dan lebih cerdas dalam berdakwah.


Sumber :

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini,
http://www.hidayatullah.com/kolom/adian-husaini/9024-pesan-kemerdekaan-m-natsir

Sabtu, 17 Juli 2010

Mengenang 102 Tahun Mohammad Natsir, Bapak Pergerakan Islam Modern


Belasan tahun berpulang, Natsir masih dikenang secara khusus dalam ingatan banyak orang. Berikut ini beberapa petikan pengalaman sejumlah tokoh yang mengenal Natsir secara pribadi.

Lukman Hakiem, 51 tahun
(Anggota Dewan Perwakilan Rakyat/bekas redaktur Media Dakwah)

Saya mengenal Natsir ketika saya menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Islam di Yogyakarta pada 1983. Saya sering berkunjung ke kantornya di Dewan Dakwah di Jakarta. Ada beberapa kejadian yang selalu muncul dalam kenangan saya manakala saya mendengar namanya.

Pernah dia memarahi saya habis-habisan. Ini terkait dengan tulisan saya di majalah Kiblat. Untuk menarik pembaca, kami membuat laporan mengenai Al-Quran. Di sampul majalah, kami menulis judul: ”Al-Quran Ditinjau Kembali”. Ketika itu Pak Natsir berusia 79 tahun.

Ditinjau di sini maksudnya dibaca kembali. Saya berusaha menelepon untuk menjelaskan secara langsung, tapi telepon diangkat orang lain. Lalu Pak Natsir menelepon saya dan mengatakan, ”Tidak ada bincang-bincang!” Telepon ditutup. Saya berpikir, ”Habis nih, saya.” Ternyata kemarahannya tak berlanjut.

Selanjutnya adalah perdebatan panas yang berakhir obrolan santai. Ini terjadi ketika saya bekerja di majalah Media Dakwah milik Dewan Dakwah. Suatu ketika, dia mengirimkan memo kepada pemimpin redaksi. Pak Natsir meminta majalah ini tidak memuat tulisan seseorang karena isinya dinilai bermasalah. Ini terjadi sekitar 1992.

Saya protes dan mendatangi rumahnya. ”Apa bedanya Anda dengan Soeharto yang melarang penulisan?” Pak Natsir balas mendebat hingga menunjuk-nunjuk saya. Ini berlangsung sekitar setengah jam. Terkadang dia memukul meja di ruang tamu.

Meski alot, saya sebagai bawahannya tidak diusir, apalagi dipecat. Kami sepakat tak ada titik temu. Lalu kami alihkan pembicaraan ke topik lain. Dan dia bisa mengobrol dengan relaks bahkan tertawa. Pak Natsir mengantar saya sampai ke teras ketika saya pamit.

Chris Siner Key Timu, 68 tahun
(Penanda tangan Petisi 50)

Saya kenal Mohammad Natsir sebagai pelaku sejarah, sebagai mantan perdana ­men­teri, pengusul Mosi Integral yang menyelamatkan terpecah­nya Indonesia. Kemudian ia menentang komunisme sehingga bentrok dengan Soekarno.

Sikap kritis terhadap pemerintah tetap ia perlihatkan di masa Orde Baru.

Kami bersama menandatangani Petisi 50 pada Mei 1980, yang isinya mempertanyakan pernyataan Presiden tentang asas tunggal. Pak Natsir selalu hadir dalam diskusi di rumah Ali Sadikin. Saya melihat dia gigih, tidak berjuang untuk kebanggaan dan kebesaran dirinya.

Hidupnya sederhana sekali. Hal itu ditularkan kepada kami yang muda-muda. Kalau berdebat amatlah santun. Tidak membalas kata-kata kasar. Saya tak pernah mendengar dia memaksakan pandangan, misalnya soal Islam. Dia mengirim bunga ke rumah saya kalau Natal, saya ke rumahnya setiap Lebaran di Jalan Cokroaminoto di Menteng, Jakarta Pusat.

Mohammad Chudori, 83 tahun
(Bekas wartawan Antara dan Jakarta Post)

Saya mulai berkunjung ke rumah Pak Natsir di Jalan Jawa 28, Jakarta Pusat, pada 1945. Waktu itu saya tinggal di Bogor dan menjadi salah satu pendiri Himpunan Mahasiswa Islam di sana. Rumahnya kecil, tapi penghuninya banyak sekali. Selain keluarga, ada sejumlah kerabat yang tinggal di sana. Saya menganggap rumah itu seperti rumah saya sendiri. Saya sering makan dan tidur di sana.

Sekitar 1948, saya menjadi letnan dua Tentara Keamanan ­Rak­yat dan melatih Laskar Hizbullah di Bogor. Setelah Sili­wangi­ hijrah ke Yogyakarta, Laskar masih menyimpan senjata. Waktu itu saya dihubungi utus­an Kartosoewirjo. Dia mengajak saya menjadi anggota Negara Islam Indonesia. Mereka ingin menguasai Laskar. Saya menjawab bahwa saya sudah dibaiat. Tapi utusan itu memaksa. Saya khawatir karena mendengar kabar ada kawan di Bandung ditembak karena menolak bergabung.

Saya pun menemui Pak Natsir. Dia dengan tenang menjawab, ”Hanya kamu yang bisa memutuskan mau bergabung dengan mereka atau tidak.” Saya akhirnya memutuskan tetap bersama Hizbullah dan Masyumi.

Herman Nicolas Ventje Sumual, 85 tahun
(Proklamator Permesta)

Saya pertama kali bertemu dan berkenal­an dengan Mohammad Natsir pada 1957 di Padang, Sumatera Barat. Ketika itu kami membicarakan rencana Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Selain kami, yang hadir ketika itu antara lain Sjafroeddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, dan Sumitro Djojohadikusumo. Pertemuan ini berlangsung karena tidak ada kelanjutan dialog di Jakarta untuk menyatukan kembali dwitunggal Soekar­no-Hatta.

Dari persinggungan saya dengan Natsir, saya harus jujur mengatakan dia adalah sosok pemimpin bangsa.

Setelah itu, saya tidak banyak berhubungan dengan dia hingga kemudian kami bertemu kembali dengan status tahanan setelah Jakarta memberangus pergolakan. Kami ditempatkan di Rumah Tahanan Militer Jakarta. Saya ­ingat pada setiap akhir tahun masing-masing tahanan berpidato. Ketika gilirannya tiba, Natsir selalu mengucapkan: ”Mudah-mudahan ini pidato kita yang terakhir.”

Setelah peristiwa 30 September 1965, orang-orang Partai Komunis Indonesia bergabung bersama kami di tahanan. Setahun kemudian, 26 Juli, datanglah Adnan Buyung Nasution—yang ketika itu sebagai jaksa. Dia membawa surat dan mengumumkan kepada kami: ”Bapak-bapak mulai hari ini bebas.”

Amien Rais, 64 tahun
(Bekas Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat)

Pertama kali mengenal Natsir secara pribadi setelah 1980-an. Saya sering ke rumahnya di Menteng, ke Masjid Munawwarah di Kebon Kacang, kemudian Dewan Dakwah di Gang Kramat, Jakarta Pusat. Di rumahnya terpampang potongan ayat terakhir surat Al-Ankabut, yang menyerukan manusia berjuang ikhlas di jalan Allah. Saya kira ini yang men­jadi dorongan se­mangat dia ­berjuang.

Jauh sebelum kenal dekat, saya sudah akrab dengan namanya. Kebetulan ibu sa­ya pengagum Natsir. Suatu ke­tika Natsir datang ke Solo ada ra­pat Masyumi. Saya bangga sekali karena saya membacakan Al-Quran dalam acara tersebut. Ketika itu saya kelas VI sekolah rakyat. Toh, ibu saya sempat kecewa melihat Natsir memegang gelas dengan tangan kiri. Rupanya di mata Ibu, Natsir harus sem­purna.

Pada 1957, ketika saya kelas I sekolah menengah pertama, terjadi peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta. Ibu mengatakan, kalau Natsir menang, kita pindah ke Padang. Terpengaruh Ibu, saya mulai kagum kepada Natsir. Saya makin kagum ketika membaca buku karangannya, Ca­pita Selecta. Ia me­nguasai ilmu aga­ma dan pengetahuan umum yang luas.

Sumber :
"beberapa kenangan", Laporan Utama Majalah Tempo Edisi 21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008

Rabu, 14 Juli 2010

Fatwa Keemasan Buya Natsir tentang Negara, Agama dan Theistik Demokrasi


Mukaddimah

Akhir-akhir ini, penomena ‘pencideraan’ Islam melalui pemikiran begitu nampak di permukaan. Ini dilakukan oleh tren fanatisme pemikiran yang menghasilkan sikap ekstrim dalam beragama. Ini, secara tidak langsung, telah menghambat simultansi dakwah untuk membangun peradaban Islam yang lebih kokoh dan bermartabat. Tren Fanatisme tersebut sekurang-kurangnya terbagi ke dalam dua model, rasionalis-liberal dan reformis-revivalis . Yang pertama melandaskan pemikirannya pada konsep keilmuan asing (baca: Barat) sehingga menghasilkan ide-ide rasionalisasi dan liberalisasi agama Islam. Pada gilirannya, Islam sepertinya mau dijadikan agama yang bernasib sama seperti di Barat pada abad pertengahan lalu. Alih-alih ingin melakukan intrepretasi Islam dalam rangka kontekstulisasi, justru, yang terjadi adalah, meminjam istilah M. Natsir, “likuidasi” Islam.

Sedangkan yang kedua, aktivismenya menyandarkan pada cara penafsiran teks-teks wahyu dan hadits dengan rigid dan ‘apa adanya’ serta kurang bijaksana membaca realitas sosial. Sikap yang terakhir ini setidaknya telah memperlebar kesenjangan antar umat Islam karena semangat puritanisme (pemurnian aqidah) yang, dalam metode dakwahnya, kaku dan “beringas” sehingga menimbulkan image keras serta kurang mampu berkomunikasi dengan modernitas. Bahkan pola takfir terhadap orang atau sekelompok orang yang berselisih faham menjadi ciri khasnya. Secara diametral, faham Rasionalis-liberal dan Reformis-revivalis memiliki arah yang bersinggungan. Masing-masing berada pada dua sisi kutub yang berlawanan dan berdampak pada kerancuan dan perselisihan serta disintegrasi dalam tubuh umat yang hampir sulit terelakkan.

Gambaran di atas menuntut para cendikiawan Muslim untuk segera mengambil sikap pro-aktif dan tegas terhadap kedua model fanatisme dan ekstrimisme tersebut. Adalah Mohammad Natsir, seorang cendikiawan Muslim yang masa hidupnya syarat aktivitas dakwah yang membawa umat pada keshalihan, tidak saja dalam bersikap, tapi yang tak kalah penting adalah dalam berpikir. Ketokohan sang pendiri DDII ini patut dijadikan role model dalam berdakwah dan berislam di kehidupan sosial. Sikapnya yang tegas dalam hal Aqidah dan santun dalam bermuammalah menjadikannya sebagai orang yang sangat diperhitungkan dalam sejarah keislaman dan kemerdekaan Indonesia. Makalah ini mencoba untuk menunjukkan bahwa solusi dari problematika umat Islam adalah melakukan reorientasi pemikiran Islam dengan mengacu kepada pemikiran keagamaan, kenegaraan, dan konsistensi Mohammad Natsir dalam berdakwah.

Karir Intelektual dan Pergerakan M. Natsir

Mohammad Natsir yang memiliki nama pena Muchlish lahir dari seorang ayah bernama Idris Sutan Saripado dan ibu Khadijah pada 17 Juli 1908 di Kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Solok, Sumatera Barat. Natsir memulai pendidikan dasarnya di Holland Inlandse School (HIS) pada tahun 1916-1923 dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) pada tahun 1923-1927 di Padang Sumatera Barat. Mulai mengenal dunia pemikiran dan pergerakan pada saat Natsir melanjutkan sekolahnya di Algemene Middelbare School (AMS setingkat SMA sekarang) di Bandung selama tiga tahun (1927-1930).

Pendidikan agamanya ia dapatkan dari luar lembaga-lembaga pendidikan formal. Paginya ia sekolah sedangkan pada sore dan malamnya ia gunakan untuk menimba ilmu agama. Semua ini ia lakukan semenjak sebelum kepindahannya ke tanah Sunda, kota Bandung. Di sana ia bertemu seorang tokoh pergerakan Persatuan Islam (PERSIS) Bandung, A. Hasan. Selanjutnya, tokoh PERSIS inilah yang memengaruhi pemikiran Natsir seputar keilmuan agama Islam. Kedekatan M. Natsir dengan A. Hasan dapat dicermati dari keikutsertaannya menjadi redaksi majalah Pembela Islam yang dikomandoi oleh A. Hasan sendiri. Keakraban Natsir dengan tokoh pembaharu ini telah membuatnya concern terhadap dunia Islam. Dari sinilah keinginan berjuang melalui jalur dakwah terus membara hingga pada perjalannya Natsir mendapati rintangan dan ujian yang tidak ringan. Dari sini pulalah Natsir memulai karir intelektual dan organisasinya dengan menjadi seorang negarawan, pendakwah, pendidik, pemikir, sekaligus politikus.

Aktivitas pergerakannya, selain ambil bagian di PERSIS, Natsir juga aktif di sebuah himpunan pemuda Muslim bernama Jong Islamieten Bond (JIB) cabang Bandung di bawah bimbingan Agus Salim. Di dalam organisasi ini, menurut Dadan WA, Natsir termasuk orang yang beruntung karena menjadi orang yang mendapatkan warisan kecendikiawanan Agus Salim. Sebelumnya Natsir juga mewarisi pemahaman agama Islam dari A. Hasan. Selain kedua tokoh tersebut, pemikiran Natsir terinspirasi pula dari beberapa gurunya seperti Syekh Ahmad Soorkati, HOS Cokroaminoto, dan AM. Sangaji. Mereka semua adalah para tokoh pembaharu Islam di tanah air yang mengikuti pemikiran Mohammad Abduh di Mesir.

Interakasi Natsir yang sangat intens dengan beberapa tokoh di atas membuktikan bahwa ada kombinasi yang spektakuler antara jiwa keberagamaan dan kenegaraan yang kuat dalam diri Natsir. Sikap kenegarawanannya yang baik, membuatnya mampu mempersatukan kembali wilayah NKRI dengan Mosi Integralnya. Ini semua ia landasi dengan kapasitasnya sebagai seorang ulama. Karakter seperti inilah yang dibutuhkan umat jaman sekarang, ia mampu menjadi seorang agamawan yang intelek yang mengerti dan memahami kebutuhan duniawi tanpa harus keluar dari pemahamannya yang komprehensif terhadap agama Islam. Bukan seorang intelek yang mengerti agama yang pada gilirannya agama hanya sebagai objek kajiannya sehingga berakhir pada sikap dualistis. Point penting dari karakteristik pemikiran tokoh yang bergelar Datok Sinaro Pandjang ini adalah, ia mampu mengamalkan sabda kanjeng Rasulullah Muhammad yang menyatakan bahwa umatnya lah yang lebih mengetahui urusan dunia tanpa harus merasa lebih tahu tentang urusan akhiratnya dari pada Rasulullah.

Karakter Pemikiran Keagamaan M. Natsir

Berpikir dalam Islam melibatkan potensi akal yang dengannya wahyu menjadi dasar aktivitasnya yang pada perjalannya melahirkan konsep berpikir Islami. Inilah yang menjadi archetype pemikiran dalam Islam, ia tidak bebas dari nilai (free-value). Pemikiran sejatinya merupakan asas dari segala bidang kehidupan, baik bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Perekonomian sebuah negara akan maju apabila pemikiran pemimpinnya, yang selanjutnya melahirkan kebijakan-kebijkan ekonomi, memiliki keberpihakan kepada sektor riil dan rakyat kecil. Begitupun dengan bidang politik, sosial, dan budaya, semuanya tergantung kepada tipe dasar pemikiran yang dianut. Fakta menyebutkan bahwa kondisi umat Islam saat ini cukup memprihatinkan, jauh dari pengalaman peradaban Islam masa lalu yang superioritasnya disegani peradaban lain. Ini menunjukan bahwa umat Islam harus segera melakukan pembenahan mendasar yakni pembenahan pemikiran.

Hal ini lah yang diwanti-wanti oleh seorang pakar peradaban dan pemikiran Islam, Hamid Fahmy Zarkasyi. Ia menyebutkan bahwa biang dari sekian banyak persoalan yang timbul dalam bidang-bidang tersebut ternyata bersumber pada problem pemikiran, baik datang dari eksternal maupun internal umat Islam. Menurutnya, problem eksternal berupa asupan pemikiran asing (baca: Barat) ke dalam wacana pemikiran keagamaan Islam yang pada perjalanannya menghasilkan konsep liberalisme, sekularisme, pluralisme agama dan lain sebagainya. Adapaun problem internal berupa kejumudan, fanatisme, taqlid, dan bid’ah khurafat yang pada gilirannya mengakibatkan “lemot” dan sembrono-nya proses ijtihad dalam merespon tantangan kontemporer dan tumbuh suburnya harokah-harokah (aktivisme) yang megatasnamakan madzhab tertentu.

Kedua problem tersebut dapat ditemukan jawabannya pada pemikiran keagamaan M. Natsir. Ia yang berlatarbelakang pendidikan agamanya di PERSIS dan pergerakan pemuda JIB mampu menghalau pemikiran-pemikiran dengan kecenderungan westomaniak yang rasionalis-liberal sekaligus fanatisme yang mengarah kepada ekstrimisme dalam beragama. Latarbelakang Natsir, sebagaimana dijelaskan di atas, setidaknya telah membawanya sebagai seorang tokoh yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam di segala lini kehidupan, termasuk politik dan penerimaannya terhadap negara demokrasi berdasarkan Islam. Suatu hal yang sangat tidak direstui oleh mereka yang anti-agama (sekular) begitupun oleh mereka yang anti-demokrasi yang diklaim sebagi produk kafir. Inilah salah satu bukti bahwa beliau berada pada sikap I’tidal (tengah) yang menurut Al-Qaradhawi sebagai ciri khas sikap Islam.

Bagi Natsir, Islam adalah agama yang telah jelas membagi wilayah mana yang boleh dan tidak boleh dipikirkan oleh umatnya. Natsir memanfaatkan akal merdekanya tapi tidak untuk mengakali (baca: rasionalisasi) agamanya, dan mematuhi wahyu ilahi tapi tidak sama sekali menafikan keberadaan akal. Dalam bukunya Islam dan Akal Merdeka, Natsir mengkritik cara berpikir Barat sekaligus cara berpikir fanatis dengan menyebutnya sebagai kuman-kuman yang harus dibersihkan dari dalam tubuh umat. Untuk merespon pola pikir tersebut, Natsir memegang prinsip (qaidah ushuliyah) yang mengatakan bahwa dalam urusan keduniaan semua boleh kecuali yang terlarang dan dalam urusan agama semua terlarang kecuali yang diperintahkan. Untuk masalah keduniaan, Natsir mengatakan:

“Dalam urusan keduniaan yang 100% ini yang mungkin sudah ada dan mungkin akan timbul belakangan, -semua itu boleh, kecuali yang sudan terlarang oleh agama. Yang terlarang itu amat sedikit, bila dibandingkan dengan yang boleh. Dengan demikian maka akal memiliki ruang gerak yang amat luas. Bukan saja ia dibolehkan, malah disuruh, … malah digemari oleh agama memegang inisiatif untuk kebaikan dan keselamatan kita”

Sedangkan masalah agama, ia mengatakan:

“Tak ada hak kita mengubah, menambah atau menguranginya, dengan akal kita sendiri. Di bidang ibadah ini, semua terlarang, kecuali yang sudah disuruh”


Dari pernyataan di atas, Natsir ingin menjelaskan bahwa ada batas embarkasi yang jelas yang harus ditaati oleh setiap intelektual muslim ketika bebicara masalah wacana pemikiran keagamaan. Ada hal-hal yang bersifat Tsawabit (tetap) dan Mutaghayyirot (berubah-ubah). AdaAda bidang Tauhid yang sudah jelas ketetapan perintah-perintahnya, ada pula bidang Mu’ammalah yang meniscayakan kreativitas dan inisiatif seorang muslim menuju kelebihbaikan.

Karakter pemikiran M. Natsir ini tidak terbatas pada retorika saja, melainkan terejawantahkan dalam kehidupan sosialnya dalam beragama, berpolitik, dan bernegara. Natsir tidak sungkan-sungkan duduk dan berdiri sejajar dengan tokoh-tokoh komunis sekalipun yang jelas tidak beragama (atheis).

a. Toleransi Beragama tidak harus jadi Pluralisme Agama

Bebicara masalah respon Islam terhadap fenomena heterogenitas agama telah menjadi ajang perdebatan yang hampir tak berujung, khususnya pasca keruntuhan menara kembar WTC 9/11 yang lalu. Banyak orang Barat, bahkan orang muslim sendiri, yang sekeptis terhadap Islam, dengan menyatakan dan mengakui bahwa Islam adalah agama ekstrim dan intoleran. Yang paling mencengangakan dari pemikiran-pemikiran mereka adalah ide liberalisasi Islam dengan mengusung konsep Pluralisme Agama. Yang diinginkan dari ajaran ini adalah mencoba mendudukkan konsep kebenaran dalam Islam sejajar dan bahkan sama dengan konsep kebenaran dalam agama-agama lain. Pluralisme Agama ini muncul dari cara berpikir relativisme, bahwa semua kebenaran adalah relatif termasuk kebenaran agama. Bahwa satu agama tidak berhak mengklaim kebenarannya secara sepihak (truth claims) yang, menurut faham ini, dapat mengakibatkan penindasan dan bahkan peperangan atas nama agama. Situasi seperti ini, menurut Hamid, merupakan proses peleburan nilai-nilai dan doktrin-doktrin keagamaan Islam ke dalam arus pemikiran Barat.

Menghadapi realitas keberagaman tersebut, Natsir punya pengalaman tersendiri berhadapan dengan orang yang melakukan kontekstualisasi Islam dengan melakukan interpretasi (penafsiran ulang–pen). Ia mengatakan bahwa tindakan tersebut tidak lebih dari upaya “likuiadasi” (peleburan–pen) agama Islam dengan agama lain. Ia dengan tegas menyatakan ketidaksepakatannya atas ide-ide penyamaan agama-agama hanya karena ingin mengedepankan sikap toleransi. Toleransi baginya tidak harus meleburkan diri ke dalam agama-agama yang berbeda seperti yang dilakukan oleh para penganut theosofie. Tapi tidak pula harus menjauh dan bersitegang dengan komunitas agama-agama lain (intoleransi), justru seorang muslim harus mampu berkomunikasi dengan mereka. Semua ini beliau buktikan, salahsatunya, ketika kedekatannya dengan seorang tokoh sekaligus ketua Partai Katolik, IJ. Kasimo, dalam urusan kenegaraan dan menghadapi prilaku opensif PKI di jaman Sukarno.

Pemikiran Natsir tentang toleransi dapat dilacak dalam beberapa tulisannya yang menyatakan bahwa toleransi dalam Islam bersumber dari Al-Qur’an. Ia menambahkan bahwa toleransi tersebut tidak bersifat pasif tapi aktif memperjuangkan kemerdekaan beragama, bukan bagi agama Islam saja, akan tetapi juga bagi agama-agama lain. Natsir menegaskan :
“Al-Qur’an dengan demikian mengajarkan kepada penganutnya agar menghargai dan menjunjung tinggi keyakinan dan pendirian sendiri dengan sungguh-sungguh, yang disertai menghargai hak pribadi orang lain untuk berbeda paham dengannya.”
kemudian, tambah Natsir:

“Ini adalah setinggi-tingginya bentuk toleransi, yang umat manusia kini masih dalam memperjuangkannya di dalam negara-negara modern sekarang ini.”

Makna lain dari “toleransi aktif” dalam pandangan Natsir, selain memperjuangkan kemerdekaan beragama, adalah dakwah ke jalan kebenaran Islam. Berangkat dari pedoman Al-Qur’an , “tiada paksaan dalam agama”, Natsir memaknai toleransi aktif dengan mengajak dan memanggil (dakwah) siapa saja yang berbeda faham atau agama untuk beriman kepada Allah SWT Yang tiada Tuhan selain-Nya dengan syarat bersih dari sifat memaksa. Dalam hal ini M. Natsir senantiasa mengutip beberapa ayat Al-Qur’an, salah satunya adalah tentang cara-cara berdakwah yang santun, sopan, dan teratur, yakni: “ad-da’wah bi Al-Mau’idhoh Al-Hasanah wa al-Mujadalah bi Al-Lati hiya ahsan” (berdakwah dengan kebijakasanaan dan berdebat dengan santun).

Dengan begini, menurut Natsir, Islam yang rahmatan lil-alamin dapat dirasakan pula oleh kelompok atau golongan lain di luar Islam. Untuk mendukung atas terwujudnya toleransi dalam Islam, Natsir memberikan langkah-langkah konstruktif sebagai berikut:
a. Memahami ajaran Islam bagi diri masing-masing dengan sungguh-sungguh
b. Menjadikan ajaran ini sebagai pakaian hidup: dalam berkata, bertindak, dan berlaku
terhadap masyarakat di kelilingnya, sesuai dengan ajaran tersebut.
c. Memancarkan pengertian ini di sekelilingnya dengan tidak membelakangkan agama dan
kepercayaan manapun jua, dengan lisan dan sikap perbuatan.

Sebagai bentuk kemantapan hati atas ajaran tasamuh (toleransi) dalam Islam dan sikap demokratis, Natsir seringkali, dalam tulisannya, menantang masyarakat untuk menunjukkan ideologi mana yang mampu melampaui ketegasan konsep toleransi Islam.

b. Demokrasi Teistis, bukan Teokrasi juga bukan Sekuler

Dalam konteks keindonesiaan, tantangan partai politk Islam berasal dari dua arah yang berlawan, eksternal dan internal sekaligus. Tantangan eksternal berupa gerakan sekularisasi yang menghajatkan keterpisahan antara urusan duniawi dan ukrawi. Sedangkan tantangan internal bergerak dalam bentuk penolakan terhadap sistem kekuasaan Demokrasi yang, menurutnya, partai-partai Islam terlahir dari rahimnya. Penomena di atas setidaknya telah menghambat agenda dakwah yang menjadi strategi partai-partai Islam dalam menghadapi realitas sistem demokrasi di Indonesia. Bermunculannya partai-partai Islam di tengah kancah perpolitikan tanah air, sejatinya merupakan solusi logis untuk membawa umat keluar dari perangkap keterpurukan. Paling tidak inilah gambaran singkat situasi perpolitikan di negara kita.

Sebagai tokoh negarawan yang mencintai tanah airnya, Natsir memiliki pandangan politik yang dikenal santun dan bermartabat. Karakter keberagamaannya tidak membuat Natsir memisahkan diri dari “taqdir demokrasi” sebagai realitas politik RI saat itu. Jihad politiknya mengangkat nilai-nilai Islam sebagai dasar negara ia lakukan melalui jalur-jalur demokratis. Menjadi seorang ketua partai Masyumi (1949-1958), akomodatif terhadap Pancasila, setia kepada Proklamasi, dan concern terhadap konstitusi negara adalah stategi dakwah Natsir di dunia Politik. Sikap politik Natsir tersebut, selain tidak membuatnya setuju dengan gagasan sekularisasi politik, juga tidak ada bertujuan untuk membangun negara dalam bentuk teokrasi (negara agama). Menurutnya, sekularisme merupakan “paham, tujuan dan sikap hanya dalam batas hidup keduniaan” , sedangkan teokrasi adalah “suatu sistem kenegaraan dimana pemerintahan dikuasai oleh satu priesthood (sistem kependetaan) yang mempunyai hirarki (tingkat bertingkat) dan menjalankan pemerintahan bagi wakil Tuhan di dunia.”

Prihal penolakannya terhadap negara sekuler (la ad-diniyyah), menurut penulis, justru lebih serius ketimbang ketidaksetujuannya mendirikan negara teokrasi yang, menurut Natsir, tidak dikenal dalam ajaran Islam. Seraya mengutip pendapat Rauschning, Natsir menjelaskan bahwa dampak dari sekularisme adalah munculnya sikap tidak peduli dan tidak menghormati tuntunan-tuntunan adab (nilai-nilai hidup) dan mengenyampingkan ajaran-ajaran agama.

Yang Natsir inginkan adalah sebuah negara demokrasi yang berlandaskan pada ajaran agama Islam seperti istilahnya yang terkenal Teistik Demokrasi. Istilah ini pertama kali ia sebutkan pada saat sidang Majelis Konstituante, 12 November 1957 . Ini menggambarkan, menurut Sarifuddin HA, bahwa gagasan-gagasan Natsir tentang Islam dalam bernegara dapat menerima kaidah-kaidah sekular (reason, institution, experience), lalu Islam melengkapinya dengan wahyu.

Tapi perlu dicatat, bahwa sikap yang ditampilkan Natsir tersebut bukan berarti berangkat dari ketidakpahamannya atas sejarah kemunculan slogan Demokrasi. Secara historis, demokrasi tetap identik dengan liberalisme Barat yang memosiskan suara rakyat tak ubahnya suara Tuhan (vox populi vox dei). Apa yang dilakukan Natsir, menurut Bustanudin Agus , adalah untuk memperjuangkan nilai-nilai dan ajaran Islam tersebut dalam kehidupan bernegara agar tidak terjerumus kepada krisis yang diderita oleh masyarakat sekuler.

Termasuk sikap akomodatifnya terhadap dasar negara Pancasila bukan tanpa catatan dan syarat-syarat. Dalam ceramahnya pada peringatan Nuzulul-Qur’an, Mei 1954, ia mengatakan: “Pancasila adalah suatu perumusan dari lima kebijakan, sebagai hasil permusyawaratan antara pemimpin-pemimpin kita… . Ia, sebagai perumusan, tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, kecuali kalau diisi dengan apa-apa yang memang bertentangan dengan Al-Qur’an”. Jadi, dukungannya terhadap Pancasila akan tetap dipertahankan apabila dalam proses perjalannya Pancasila tidak bertentangan dengan Al-Qur’an yang melahirkan gerakan sekularisasi politik.

Dalam rangka politik dakwah, Natsir telah mengerahkan segenap potensi pemikirannya untuk memberikan contoh konkrit kepada generasi penerusnya untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam dengan bijaksana dan bermartabat dalam konstalasi sosoal-politik. Natsir, sebagai idiolog sekaligus politikus muslim, tidak menceburkan diri terlalu dalam di dunia politik demokrasi tapi tidak pula menjauhkan diri terlalu jauh dari realitas kehidupannya, sebuah prinsip yang baginya sebagai point of no return. “Alam” inilah yang membuat Natsir dihargai dan disegani oleh lawan sekalipun.

Khatimah

Berdakwah dengan hikmah kebijaksanaan dan cara-cara yang baik (Al-Mau’idhoh Al-Hasanah) menjadi kata kunci kesuksesan dalam memenuhi tugas suci, amar makruf nahyu munkar. Sekalipun harus berdebat, berdebatlah dengan sebaik-baiknya perdebatan. Inilah yang dilakukan Mohammad Natsir dalam mengarungi aktivitasnya sebagai seorang agamawan sekaligus sebagai negarawan yang baik. Pemahamannya yang holistis terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam telah membuatnya terpanggil untuk ikut andil dan berperan mempersatukan kembali NKRI dari keterceceran yang mengancam keutuhannya. Tidak berhenti sampai di situ, karya-karya Natsir pun ternyata tidak saja dirasakan di dalam negeri, akan tetapi di dunia Islam internasional. Terbukti dari keterlibatannya dalam ormas-ormas Islam internasional.

Sikap M. Natsir yang tidak “kekiri-kirian” dan tidak “kekanan-kanakan” membuatnya dapat diterima oleh setiap kalangan. Kondisi seperti ini Natsir manfaatkan untuk melakukan infiltrasi dakwah dan menyatukan umat. Inilah cara Natsir membangun peradaban dengan ilmu pengetahuan tidak dengan emosional atau rasional saja, tapi memberdayakan setiap potensi yang dimilikinya. Wal-hasil, walaupun sampai sekarang cita-cita Natsir belum sempurna terwujud, adalah tugas generasi penerusnya untuk melanjutkan perjuangannya. Semoga, dengan adanya DDII yang telah didirikannya sejak 1967, perjuangan Natsir bisa rampung dengan sempurna. Amin.


Sumber :

Negara dan agama di mata m natsir, sulaimanism, http://sulaimanism.multiply.com/journal/item/47

Jumat, 09 Juli 2010

Jangan Hubbud-Dunya...! : Pesan Buya Mohammad Natsir

Antara tahun 1986-1987, sejumlah cendekiawan seperti Dr. M. Amien Rais, Dr. Kuntowijoyo, Dr. Yahya Muhaimin, Dr. A. Watik Pratiknya, dan Endang S. Anshari -- melakukan wawancara intensif dengan Dr. Mohammad Natsir. Mereka menggali pemikiran Natsir dengan sangat intensif. Berulang-kali wawancara dilakukan. Sayang, hasil rekaman wawancara itu kemudian tidak terselamatkan. Dokumen yang tersisa hanya sebuah buku setebal 143 halaman, berjudul Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak (1989).

Tentu saja, buku ini menjadi sangat penting, karena merekam pemikiran dan pesan-pesan perjuangan Dr. Mohammad Natsir kepada generasi pelanjutnya. Natsir memang dikenal sebagai seorang pejuang dan pemikir Islam, yang pada 7 November 2008 diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah RI. Kiprah M. Natsir dalam perjuangan Islam dikenal secara luas, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia Islam. Meskipun buku Percakapan Antar Generasi itu mengemukakan gagasan-gagasan singkat, tetapi banyak pemikiran penting yang bisa dipetik dari seorang M. Natsir, yang ketika itu sampai pada tahap-tahap kematangan pemikirannya.

Ketika ditanya oleh para kadernya tentang penyakit yang paling berbahaya bagi umat Islam dan bangsa Indonesia saat ini, Pak Natsir dengan tegas mengatakan: ”Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia.” Lalu, ditambahkannya: ”Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi, gejala yang ”baru” ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.”

Dan memang, penyakit cinta dunia (hubbud-dunya) itulah salah satu sumber kehancuran utama umat Islam. Rasulullah saw bersabda: “Apabila umatku sudah mengagungkan dunia maka akan dicabutlah kehebatan Islam; dan apabila mereka meninggalkan aktivitas amar ma'ruf nahi munkar, maka akan diharamkan keberkahan wahyu; dan apabila umatku saling mencaci, maka jatuhlah mereka dalam pandangan Allah.” (HR Hakim dan Tirmidzi).

Di tengah berbagai kesulitan dan tantangan dakwah yang berat saat ini, pesan Pak Natsir itu perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Jika penyakit ini sudah menggejala, maka pasti kehancuran menanti umat. Di bidang apa pun. Penyakit hubbud-dunya (gila dunia) berawal dari penyakit iman, yang berakar pada persepsi yang salah bahwa dunia ini adalah tujuan akhir kehidupan. Akhirat dilupakan. Akhirnya, jabatan dan harta dipandang sebagai tujuan; bukan sebagai alat untuk meraih keridhaan Allah.

Islam tidak memerintahkan umatnya meninggalkan dunia. Tapi, umat Islam diperintahkan untuk menaklukkan dunia, untuk meletakkan dunia dalam genggamannya, bukan dalam hatinya. Dunia dan seisinya adalah amanah Allah. Semua akan dipertang-gungjawabkan di hadapan Allah di akhirat. Semakin tinggi jabatan, kedudukan, dan semakin banyak nikmat yang diterima seseorang di dunia, maka semakin berat pula tanggung jawabnya di akhirat. Karena itu, sangatlah bodoh orang yang siang malam sibuk mengejar dunia demi tujuan-tujuan kepuasan dunia semata. Wallahu A'lam.

Sumber :
Jangan Hubbud Dunya...!, Ust. H Adian Husaini, http://www.dewandakwah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=252&Itemid=31

Rabu, 07 Juli 2010

Mohammad Natsir, Satu teladan yang jarang

Hidupnya tak terlalu berwarna. Apalagi penuh kejutan ala kisah Hollywood: perjuangan, petualangan, cinta, perselingkuhan, gaya yang flamboyan, dan akhir yang di luar dugaan, klimaks. Mohammad Natsir menarik karena ia santun, bersih, konsisten, toleran, tapi teguh berpendirian. Satu teladan yang jarang.

DIA, Mohammad Natsir (17 Juli 1908–6 Februari 1993), orang yang puritan. Tapi kadang kala orang yang lurus bukan tak menarik. Hidupnya tak berwarna-warni seperti cerita tonil, tapi keteladanan orang yang sanggup menyatukan kata-kata dan perbuatan ini punya daya tarik sendiri. Karena Indonesia sekarang seakan-akan hidup di sebuah lingkaran setan yang tak terputus: regenerasi kepemim­pinan terjadi, tapi birokrasi dan politik yang bersih, kesejahteraan sosial yang lebih baik, terlalu jauh dari jangkauan. Natsir seolah-olah wakil sosok yang berada di luar lingkaran itu. Ia bersih, tajam, konsisten dengan sikap yang diambil, bersahaja.

Dalam buku Natsir, 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, ­Ge­orge McTurnan Kahin, Indonesianis asal Amerika yang bersimpati pada perjuangan bangsa Indonesia pada saat itu, bercerita tentang pertemuan pertama yang mengejutkan. Natsir, waktu itu Menteri Penerangan, berbicara apa adanya tentang negeri ini. Tapi yang membuat Kahin betul-betul tak bisa lupa adalah penampilan sang menteri. ”Ia memakai kemeja bertambalan, sesuatu yang belum pernah saya lihat di antara para pegawai pemerintah mana pun,” kata Kahin.

Mungkin karena itulah sampai tahun ini—seratus tahun setelah kelahirannya, 15 tahun setelah ia mangkat—tidak sedikit orang menyimpan keyakinan bahwa Mohammad Natsir merupakan sebagian dunia kontempo­rer kita. Masing-masing memaklumkan keakraban dirinya dengan tokoh ini. Di kalangan Islam garis keras, misalnya, banyak yang berusaha melupakan kedekatan pikirannya dengan demokrasi Barat, seraya menunjukkan betapa gerahnya Natsir menyaksikan agresivitas ­misionaris Kristen di tanah air ini. Dan di kalangan Islam ­moderat, dengan politik lupa-ingat yang sama, tidak sedikit yang melupakan periode ketika bekas perdana menteri dari Partai Masyumi­ ini memimpin Dewan Dakwah­ Islamiyah; seraya mengenang masa tatkala perbedaan pendapat tak mampu memecah-belah bangsa ini. Pluralisme, waktu itu, sesuatu yang biasa.

Memang Mohammad Natsir hidup ketika persahabatan lintas ideologi bukan hal yang patut dicurigai, bukan suatu pengkhianatan. Natsir pada dasarnya antikomunis. Bahkan keterlibatannya kemudian dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), antara lain, disebabkan oleh kegusaran pada pemerintah Soekarno yang dinilainya semakin dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Masyumi dan PKI, dua yang tidak mungkin bertemu. Tapi Natsir tahu politik identitas tidak di atas segalanya. Ia biasa minum kopi bersama D.N. Aidit di kantin gedung parlemen, meskipun Aidit menjabat Ketua Central Committee PKI ketika itu.

Perbedaan pendapat pula yang mempertemukan Bung Karno dan Mohammad Natsir, dan mengantar ke pertemuan-pertemuan lain yang lebih berarti. Waktu itu, pe­ngujung 1930-an, Soekarno yang menjagokan nasionalis­me-sekularisme dan Natsir yang mendukung Islam sebagai bentuk dasar negara terlibat dalam polemik yang panjang di majalah Pembela Islam. Satu polemik yang tampaknya tak berakhir dengan kesepakatan, melainkan saling mengagumi lawannya.

Lebih dari satu dasawarsa berselang, keduanya ”bertemu” lagi dalam keadaan yang sama sekali berbeda. Natsir menjabat menteri penerangan dan Soekarno presiden dari negeri yang tengah dilanda pertikaian partai politik. Puncak kedekatan Soekarno-Natsir terjadi ketika Natsir sebagai Ketua Fraksi Masyumi menyodorkan jalan keluar buat negeri yang terbelah-belah oleh model federasi. Langkah yang kemudian populer dengan sebutan Mosi Integral, kembali ke bentuk negara kesatuan, itu berguna untuk menghadang politik pecah-belah Belanda.

Mohammad Natsir, sosok artikulatif yang selalu memelihara kehalusan tutur katanya dalam berpolitik, kita tahu, akhirnya tak bisa menghindar dari konflik keras dan berujung pada pembuktian tegas antara si pemenang dan si pecundang. Natsir bergabung dengan PRRI/Perjuang­an Rakyat Semesta, terkait dengan kekecewaannya terhadap Bung Karno yang terlalu memihak PKI dan kecenderungan kepemimpinan nasional yang semakin otoriter. Ia ditangkap, dijebloskan ke penjara bersama beberapa tokoh lain tanpa pengadilan.

Dunianya seakan-akan berubah total ketika Soekarno, yang memerintah enam tahun dengan demokrasi terpimpinnya yang gegap-gempita, akhirnya digantikan Soeharto. Para pencinta demokrasi memang terpikat, menggantungkan banyak harapan kepada perwira tinggi pendiam itu. Soeharto membebaskan tahanan politik, termasuk Natsir dan kawan-kawannya. Tapi tidak cukup lama Soeharto memikat para pendukung awalnya. Pada 1980 ia memperlihatkan watak aslinya, seorang pemimpin yang cenderung otoriter.

Dan Natsir yang konsisten itu tidak berubah, seperti di masa Soekarno dulu. Ia kembali menentang gelagat buruk Istana dan menandatangani Petisi 50 yang kemudian memberinya stempel ”musuh utama” pemerintah Soeharto. Para tokohnya menjalani hidup yang sulit. Bisnis keluarga mereka pun kocar-kacir karena tak bisa mendapatkan kredit bank. Bahkan beredar kabar Soeharto ingin mengirim mereka ke Pulau Buru—pulau di Maluku yang menjadi gulag tahanan politik peng­ikut PKI. Soeharto tak memenjarakan Natsir, tapi dunianya dibuat sempit. Para penanda tangan Petisi 50 dicekal.

Mohammad Natsir meninggalkan kita pada 1993. Dalam hidupnya yang cukup panjang, di balik kelemahlembut­annya, ada kegigihan seorang yang mempertahankan sikap. Ada keteladanan yang sampai sekarang membuat kita sadar bahwa bertahan dengan sikap yang bersih, konsisten, dan ber­sahaja itu bukan mustahil meskipun penuh tantang­an. Hari-hari belakangan ini kita merasa teladan hidup seperti itu begitu jauh, bahkan sangat jauh. Sebuah alasan yang pantas untuk menuliskan tokoh santun itu ke dalam banyak halaman laporan panjang edi­si ini.

Sumber :
"Sebuah Pemberontakan tanpa drama", Laporan Utama Majalah Tempo Edisi 21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008

Rabu, 30 Juni 2010

Memoar Aba Sebagai Cahaya Keluarga : Catatan 102 Tahun Mohammad Natsir

Demokratis dalam mendidik anak-anak, Natsir selalu menyampaikan pesan-pesannya dengan tersirat.

”Orang yang pakai jilbab itu adalah sebaik-baiknya muslimah. Tapi yang tidak pakai jilbab jangan dibilang enggak baik.”

Pernyataan itu datang dari Mohammad Natsir. Pejuang Islam yang gigih itu menyampaikan pandangannya tentang jilbab kepada sejumlah pelajar yang datang ke kantor Dewan Dakwah pada awal 1980-an. Ketika itu pemerintah melarang murid mengenakan jilbab di sekolah. Sejumlah pelajar menentang aturan itu dan berujung ke pengadilan. Yusril Ihza Mahendra, bekas Menteri Sekretariat Negara, yang dijuluki Natsir Muda, menjadi pembelanya.

”Mereka berkeras soal jilbab. Kalau tidak berjilbab dianggap tidak baik,” Yusril berkisah kepada Tempo. Natsir pun menegur para pelajar yang dinilainya cenderung meremehkan orang Islam tak berjilbab. ”Saya tidak melihat manusia dari jilbab,” kata Natsir seperti dituturkan Yusril.

Natsir, sang pejuang. Dia dikenal sebagai pendidik yang keras, tapi moderat dan demokratis dalam menerapkan ajaran Islam. Dia tidak mewajibkan jilbab kepada istri dan anak-anaknya. Nurnahar, istri Natsir, seperti laiknya orang Melayu dan umumnya warga Masyumi. Sehari-hari dia tampil berkebaya panjang atau baju kurung tanpa kerudung. Ketika menghadiri acara keluarga atau melayat, Natsir baru mengingatkan Nurnahar agar berkerudung.

Mengingatkan pun, menurut Sitti Muchliesah atau Lies, putri sulung Natsir, tidak dalam bentuk perintah. Aba, panggilan anak-anak kepada ayahnya, cukup berkata, ”Kamu kan mu­slimah.” Kalimat pendek ini langsung dipahami keempat anak perempuan Natsir.

Dalam berpakaian, Natsir­ hanya mengharuskan anak-anaknya berbusana santun. Itu artinya, tidak bercelana pendek dan berbaju you can see alias baju tak berlengan. Satu kali, Lies mengenakan blus pendek tanpa le­ngan. Aba tak menegur langsung. Dia hanya berpesan kepada Ummie, panggilan istrinya, ”Beri tahu Lies jangan pakai yang kependekan.”

Masih soal pakaian, ada ke­nangan yang berkesan bagi Anies, putri Lies, cucu pertama Natsir. Satu kali, sepulang kuliah, Anies mampir ke rumah kakeknya di Jalan Cokroaminoto. Dia datang mengenakan rok mini yang sedang jadi mode. Tatkala hendak pulang, Natsir memberinya uang sambil berkata, ”Ini untuk beli celana panjang.” Tegur­an halus.

Sekalipun keempat putrinya telah menunaikan ibadah haji, Natsir tak memaksa mereka mengenakan jilbab. ”Menurut Aba, berjilbab itu harus dari diri kita,” tutur Lies, yang kini berusia 72 tahun.

Natsir juga tidak melarang keluarganya bergaul dengan non-muslim. Bergaul dengan teman-teman lelaki pun diizinkan sang ayah. ”Kami boleh nonton bioskop asal rame-rame, paling telat pulang pukul 10 malam.”

Dalam salah satu surat kepada anak-istrinya, Natsir mendorong kelima anaknya aktif di organisasi kepemudaan. Misalnya Himpunan Muslim Indonesia atau Pandu Islam. Organisasi, menurut dia, dapat menjadi taman pendidikan yang meleng­kapi apa yang tidak didapat di sekolah. ”Aktif berorganisasi akan memberi bekal masa depan,” begitu pesan Aba dalam surat yang dia tulis tepat pada usianya yang ke-50, 17 Juli 1958.

Sikap demokratis Natsir tampak jelas di meja makan. Dia mengizinkan anak-anaknya berdebat apa saja, meskipun kadang Ummie tidak berkenan karena perdebatan mengganggu suasana makan. ”Aba suka tersenyum menyimak perdebatan kami,” kata Lies. Suasana seperti ini tanpa disadari telah membentuk dan mempengaruhi cara berpikir kelima anak Natsir. ”Khususnya menghadapi tantangan hidup,” Lies melanjutkan.

Pada masa penjajahan Jepang, sekolah Pendidikan Islam (Pendis) yang didirikan Natsir di Bandung ditutup. Dia lalu membentuk madrasah di rumah adik iparnya di Jakarta. Selain anak-anaknya, masyarakat di sekitar madrasah ikut serta menjadi murid. Natsir juga mengajak teman-temannya menjadi ustad dan ustadzah. ”Setiap sore kami mengaji dan belajar tentang Islam,” kata Lies, yang dikaruniai tiga putra-putri.

Bagi Natsir, pesantren atau madrasah bukanlah satu-satu­nya sistem pendidikan yang bisa menghasilkan orang ber­iman. Pesantren, menurut Natsir, dapat menelurkan orang ber­akhlak­ tetapi buta terhadap perkembangan dunia. Padahal, Islam mendorong umat mencapai kema­juan lahir batin, dunia dan akhirat.

Itu sebabnya dia tidak melarang anak-anaknya aktif berkesenian. Lies diizinkan mengikuti pementasan sandiwara di sekolahnya, SMA 1 Boedi Oetomo. Entah kenapa, ketika sandiwara yang disutradarai Koen­tjoroningrat itu hendak diper­tunjukkan untuk umum di Gedung Kesenian Jakarta, Aba melarang Lies ikut serta. ”Saya kecewa tapi berusaha memahami keputusan Aba,” tutur Lies, yang bersuamikan Agus Alwi yang juga berasal dari Minang, Sumatera Barat.

Di mata anak-anaknya, ia selalu menyampaikan pesan secara tersirat. Dia juga orang yang berpikiran jauh ke depan. Sewaktu tinggal di Jakarta, Aba melarang anak-anaknya belajar berenang. ”Kami memahami, pakaian renang selalu minim,” kata Lies. Tapi, ketika tinggal di Maninjau, Sumatera Barat, Aba menyuruh anak-anak belajar berenang di danau. ”Belakangan kami mengerti, di danau kami sekaligus belajar menghadapi bahaya yang tidak akan ditemui di kolam renang,” kata Aisyahtul Asriah, putri keempat Natsir.

Natsir, sang pendidik. Dia tak begitu setuju anak-anaknya bekerja di perusahaan milik negara maupun swasta. Natsir lebih suka anak-anaknya menggeluti dunia pendidikan. Toh, dia tak bisa berbuat banyak ketika Hasnah Faizah, putri ketiganya, berganti haluan dari asisten dosen di Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Indonesia, menjadi staf sebuah badan usaha milik negara.

Di kemudian hari, keluarga paham mengapa Natsir tak begitu suka anak-anaknya bekerja di perusahaan. ”Aba khawatir, sifat kami berubah karena bekerja di perusahaan yang mengutamakan keuntungan,” kata Aisyah. Menurut Aba, hal itu bisa mempengaruhi hubungan di rumah. Waktu bersama keluarga menjadi berkurang. Padahal, bagi Aba, Aisyah mengenang, makan sebaiknya bersama keluarga setidaknya sekali dalam sehari.

Sebagai Vice President World Muslim Congress, yang bermarkas di Karachi, Pakistan, dan anggota Majelis Ta’sisi Rabithah Alam Islami, yang berpusat di Mekkah, Natsir bisa berangkat haji setiap tahun. Tapi tak sekali pun dia memanfaatkan fasilitas tersebut untuk memberangkatkan anak-anaknya berhaji. ”Fasilitas itu hanya untuk meng­ajak Ummie sekali,” papar Abi—sebutan akrab Aisyah. Walhasil, kelima anaknya berhaji dengan biaya sendiri.

Selama menjadi pejabat pemerintah, hampir tak ada kemewahan yang dinikmati anak dan istrinya. Rumah pribadi pun baru dimiliki setelah Natsir bebas dari penjara pada 1967, jauh setelah penggemar biola ini tak lagi berpangkat.

Suatu ketika Fauzi, anak bungsu Natsir, meminta dibe­likan sepeda motor kepada Aba. Sang ayah menolak dengan berkata, ”Memangnya tidak ada bus atau kereta api?” Natsir amat mempedulikan pendidikan. Beberapa kali Lies meminta bantuan ayahnya untuk membayar biaya kuliah anak-anaknya. ”Tanpa ragu Aba turun tangan,” tutur Lies.

Natsir juga membebaskan putra-putrinya memilih jurusan sekolah dan tempat bekerja. Lies, misalnya, memasuki Jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia. Karena banyak faktor, termasuk biaya dan kondisi politik yang belum aman, Lies harus meninggalkan bangku kuliah di semester kedua.

Natsir memutuskan, Lies dan adiknya, Asma Faridah, sebaiknya konsentrasi saja pada urusan rumah tangga. Tapi adik-adik Lies, yakni Aisyah, Hasnah, dan si bungsu Ahmad Fauzi Natsir, menyelesaikan kuliah.

Selain Fauzi, ada lagi satu anak lelaki Natsir, yakni Abu Hanifah, yang meninggal pada usia 13 tahun karena tenggelam di kolam renang. ”Aba menangis sendirian ketika Hanif wafat. Sebelum pergi, almarhum sempat memijat-mijat kaki Aba,” kata Lies. Sebuah buku memoar berjudul Aba Sebagai Cahaya Keluarga kini sedang disiapkan Lies.

Tangisan itu berulang ketika Natsir kehilangan sang istri. Nurnahar meninggal pada Juli 1991, dalam usia 86. Lima puluh tujuh tahun, Ummie mendampingi Aba dengan setia.

Dalam salah satu suratnya, Natsir menulis: Ummie sadar jalan hidup yang Aba tempuh sama sekali tidak memberi jaminan hasil yang tetap. Tapi Ummie rela dan berani naik perahu Aba yang oleng itu, sama-sama menempuh samudera hidup yang penuh risiko. Tak terlukiskan betapa bersyukurnya Aba kepada Allah SWT dan terima kasih kepada Ummie atas kebahagiaan hidup yang Aba rasakan.”

Sebelum jenazah sang istri diberangkatkan ke makam, Natsir sendiri yang menyampaikan pidato pelepasan. Dua tahun kemudian, Natsir dimakamkan di samping makam Nurnahar. Kata Lies, ”Seperti keinginan Aba.”

Sumber :
"Aba, cahaya keluarga", Laporan Utama Majalah Tempo Edisi 21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008

Minggu, 27 Juni 2010

Mohammad Natsir Generator Lapangan Dakwah

Setelah Soekarno melarang Masyumi dan Soeharto menolak memulihkannya, Natsir mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Giat bersuara antisekularisasi.

Azan magrib bersenandung di ujung hi­ruk-pikuk Tanah Abang, Jakarta. Kios dan toko di jan­tung dagang itu baru saja me­ngunci pintu. Seruan muazin tersiar dari pengeras suara Masjid Al-Munawwarah, Jalan Kampung Bali I, Rabu dua pekan lalu. Masjid 20 x 15 meter ini berjarak seratus meter dari pusat niaga. Likuran pria segera membangun dua saf salat.

Pada gang empat meter, masjid dua lantai itu menyimpan titik penting perjalanan sejarah Mohammad Natsir. Di sini, 41 tahun lalu, persisnya 27 Februari 1967, Natsir mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Lembaga penyeru akidah dan nilai Islam ini tercatat dalam Akta Notaris Syahrim Abdul Manan Nomor 4, tanggal 9 Mei 1967. Sejumlah tokoh Masyumi punya andil.

Mereka bekas Menteri Agama H M. Rasjidi, bekas Menteri Luar Negeri Mohammad Roem, dan bekas Presiden Pemerintah­an Darurat Republik Indonesia-Gubernur Bank Sentral Sjafroe­din Prawiranegara. Ada bekas perdana menteri Burhanuddin Ha­rahap; Kasman Singodime­djo; Osman Raliby; Yunan Nasution; dan bekas Duta Besar untuk Irak, Datuk Palimo Kayo. ”Di Dewan Dakwah Pak Natsir berpolitik melalui dakwah,” kata Ketua Umum Dewan Dakwah Syuhada Bahri, 54 tahun.

Sebelumnya, kata Syuhada, sa­at memimpin Masyumi, Natsir berdakwah di medan politik. Dewan Dakwah lahir tujuh bulan setelah Natsir keluar dari penjara di Jalan Keagungan, Jakarta, akibat Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta. Keterlibatan Natsir dalam ”pemberontakan” ini mendorong Presiden Soekarno memberangus Masyumi pada 1960. Januari 1967, bekas petinggi Masyumi meminta Orde Baru merehabilitasi partai ber­asas Islam ini. Tapi Soeharto menolak.

Menurut Yusril Ihza Mahen­dra, penulis disertasi yang membandingkan Masyumi dengan Jamaat al-Islami Pakistan, Dewan Dakwah lahir untuk melanjutkan napas hidup dakwah. Saat mendirikan Masyumi pada 1945, Natsir memang mendedikasikan partai untuk Islam. Jadi, kata dia, meski Masyumi tidak lagi ada, Natsir tetap berdakwah.

Ada pendapat yang menyebut Dewan Dakwah lahir karena Nat­sir ingin membendung giatnya penyebaran agama selain Islam, ter­utama Kristen. Yusril menye­but, saat itu, organisasi Islam yang lahir lebih dulu kurang peduli terhadap soal ini. Tapi Amien Rais, bekas Ketua Umum Peng­urus Pusat Muhammadiyah yang dekat ­de­ngan Natsir, menyatakan tak setuju atas persepsi ini. ”Saya ki­ra bukan karena Kristen,” katanya.

Bagi Amien, dakwah sudah mendarah daging dalam tubuh Natsir. Penyebaran Kristen tak men­jadi faktor penting, meski sikap keras Natsir terhadap Gereja tampak menjelang kedatang­an Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia Pada 1989. Ia bersama Ra­sjidi, KH Masjkur, dan KH Rusli Abdul Wahid mengirim surat ke Vatikan. Isinya, meminta Paus tidak menyalahgunakan diakonia, pelayanan masyarakat, untuk mengkristenkan orang. Pada 1976 pemimpin Islam, Katolik, dan Kristen dalam konferensi internasional tentang misi Kristen serta dakwah Islam di Chambessy, Swiss, sepakat untuk tidak saling memurtadkan.

Di Munawwarah, tokoh Ma­s­yumi itu membuat daftar masalah dakwah Islam. Salah satunya, perlu membangun sistem, mutu, dan teknik dakwah Islam. Mereka merumuskan program kerja melatih mubalig (penceramah agama) dan calon mubalig. Dewan Dakwah juga membuat riset penyokong dakwah. Aneka buku, majalah, dan brosur dicetak untuk membekali juru dakwah ilmu keagamaan serta ilmu pengetahuan umum.

Dewan Dakwah membangun strategi dakwah di semua lini, termasuk sekolah, kampus, pesantren, dan daerah terpencil di Indonesia. Natsir ingin Dewan Dakwah menggarap lapangan dakwah yang tidak dikerjakan Nah­dlatul Ulama, Muhammadi­yah, dan Persatuan Islam. Menu­rut­ ­Sy­uhada, Dewan Dakwah jus­tru untuk mendukung organisasi Islam itu. ”Kami ibarat generator di belakang rumah, tapi cahayanya menerangi semua ­ruang,” katanya.

Natsir melihat, Indonesia awal Orde Baru masuk fase dijauhkannya masyarakat dari urusan ideologi dan politik. Natsir dan kalangan Dewan Dakwah cemas akan sekularisasi yang menggila. Ini merujuk pada Nurcholish Madjid, yang mengusung pembaruan Islam berkredo ”Islam yes, partai politik Islam no”. Buku Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, dan buku tulisan bekas Rektor Institut Agama Islam Negeri Jakarta Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, dianggap turut menyuburkan sekularisasi.

Di panggung dunia, Natsir bukan orang kemarin sore. Pada 1957 ia pernah memimpin sidang Muktamar Alam Islami atau Kongres Islam Dunia di Damaskus, Suriah. Nama Natsir kian moncer di forum dunia Islam setelah mendirikan Dewan Dakwah. Pada 1967 ia wakil Presiden Muktamar Alam Islami yang bermarkas di Karachi, Pakistan. Pada 1969 Natsir menjadi anggota World Muslim League, Mekkah, Arab Saudi.

Tiga tahun kemudian Natsir menjadi anggota Majlis A’la al-Alam lil Masajid (Dewan Masjid Sedunia), berpusat di Mekkah. Pada 1980 dia menerima penghargaan dari Raja Faisal dari Arab Saudi karena berjasa pada Islam. Pada 1985 menjadi anggota Dewan Pendiri The International Islamic Charitable Foundation, Kuwait. Setahun berikutnya Natsir menjadi anggota Dewan Pendiri The Oxford Centre for Islamic Studies, London, Inggris, dan anggota majelis Umana’ International Islamic, University, Islamabad, Pakistan.

Natsir berkantor di Dewan Dakwah, yang semula ruang bersekat kayu lapis lantai dua Munawwarah. Pada 1973, kata ­Syuhada, Dewan Dakwah pindah ke Jalan Kramat Raya 45, Jakarta. Setahun kemudian pindah ke Jalan Diponegoro 42, rumah Rasjidi. Saat itu, Rasjidi Direktur Kantor Rabithah Alam Islami di Jakarta. Satu setengah tahun kemudian, Natsir memindahkan Dewan Dakwah kembali ke Kramat Raya. Di sana, kini berdiri gedung Dewan Dakwah berlantai delapan dan Masjid Al-Furqon.

Anwar Ibrahim, saat mendu­duki posisi Menteri Pertanian dan Menteri Pendidikan Malaysia pada 1980-an, kerap bertandang ke rumah Natsir di Jalan Cokroaminoto 45, Jakarta, tanpa protokoler. Tapi Yusril Ihza Mahendra, saat masih mahasiswa Hukum Universitas Indonesia, ada­lah orang yang dididik lang­sung oleh Natsir. Mereka aktif di Lem­baga Islam untuk Penelitian dan Pengembangan Masyarakat di Cikini.

Di kantornya di Kramat Raya, tamu Natsir tak berhenti meng­alir. Syuhada, yang lima tahun seruangan dengan Natsir ­sejak 1976, mengisahkan tamu datang dari berbagai penjuru Indonesia, mulai pagi hingga petang. Ke­pentingannya, mulai urusan sekolah, dakwah, permohonan ­bantuan, hingga konsultasi masalah perkawinan. ”Tak sedikit orang dari jauh bertamu sekadar minta nama untuk anaknya,” ujar Syu­hada.

Sumber : Laporan Utama Majalah Tempo Edisi 21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008

Jumat, 25 Juni 2010

Aktivitas M Natsir di Petisi 50 menunjukkan beliau sang demokrat sejati : Catatan 102 Mohammad Natsir

Suara kritis Natsir tak lekang oleh usia tua. Aktivitasnya di Petisi 50 menunjukkan ia demokrat sejati.

UDARA sejuk Turki di akhir April 1980 tak sanggup mendi­nginkan pikiran Mohammad Natsir. Presiden Liga Musim Sedunia yang sedang memimpin sidang membahas konflik etnis Yunani dan Turki di Siprus ini mendadak jatuh sakit. Dokter tak menemukan gejala mencurigakan di tubuh laki-laki 72 tahun itu.

Rupanya Natsir memikirkan politik di dalam negeri. ”Pikiran saya terganggu oleh pidato Soeharto,” kata Natsir setiba di Jakarta, seperti diceritakan Andi Mappatehang Fatwa kepada Tempo akhir Juni lalu.

Pidato yang merisaukan Natsir adalah ceramah tambahan Pre­siden Soeharto tanpa teks di muka Rapat Pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di Pekanbaru, Riau, 27 Maret 1980. Soe­harto berbicara tentang asas tung­gal Pancasila yang, menurut dia, di masa lalu dirongrong oleh ideologi-ideologi lain dan partai politik.

Soeharto meminta ABRI mendukung Golkar dalam pemilihan umum. Tahun 1980 adalah puncak perseteruan dua faksi di tubuh ABRI. Satu kelompok—yang menikmati kekuasaan dengan memangku pelbagai jabatan publik—mendukung Soeharto, kelompok lain menentang gagasan ini dan menginginkan ABRI netral.

Tiga pekan kemudian, 16 April 1980, Soeharto menegaskan kembali seruannya di Markas ABRI Cijantung, Jakarta Timur. Ucapan Soeharto yang terkenal: ”Lebih baik kami culik satu dari dua pertiga anggota MPR yang akan melakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 agar tidak terjadi kuorum.” Satu kalimat lain yang menunjukkan sikapnya sebagai otokrat: ”Yang mengkritik saya berarti mengkritik Pancasila.”

Selain itu, sekelompok jenderal purnawirawan gundah. Bekas pemimpin ABRI yang tergabung dalam Forum Studi dan Komunikasi Angkatan Darat lalu berkumpul di gedung Grahadi di kawasan Semanggi. Mereka mengundang tokoh dan aktivis sipil untuk membahas pidato itu. A.M. Fatwa ikut hadir. Ketika itu dia pegawai kantor pemerintah daerah Jakarta yang dipecat karena sering berdakwah mengkritik pemerintah.

Pertemuan 5 Mei 1980 itu menyimpulkan: Soeharto perlu di­tanya soal isi pidatonya. A.M. Fatwa bersama aktivis muda lain lalu bergerilya mengumpulkan tanda tangan sejumlah tokoh untuk mendukung enam butir ”Pernyataan Keprihatinan”. Yang menyusun adalah Slamet Bratana­-ta, Menteri Pertambangan kabinet pertama Orde Baru.

Pucuk dicita ulam tiba, Natsir langsung teken ketika disodori pernyataan itu. Fatwa berhasil mengumpulkan 50 tanda tangan tokoh tentara, polisi, anggota parlemen, dosen, birokrat, bekas pejabat, pengusaha, dan aktivis. Supaya konstitusional, yang bertanya kepada Soeharto semestinya Dewan Perwakilan Rakyat. Media massa waktu itu dilarang menyiarkan suara kelompok oposisi. Maka berduyunlah 30 dari 50 orang penanda tangan itu ke Senayan, 13 Mei 1980.

Natsir didaulat menyampaikan maksud mereka menyambangi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daryatmo. Chris Siner Key Timu, bekas Pembantu Rektor III Universitas Atma Jaya, Jakarta, mengisahkan kembali pidato mantan perdana menteri Natsir yang dianggapnya sangat bijak. ”Bagi seorang presiden, pidato lisan atau tertulis sama nilainya di mata masyarakat. Kami ingin bertanya apa maksud pidato itu.”

Pernyataan itu menuai reaksi keras pemerintah. Soeharto menjawabnya lewat surat ke Dewan tanggal 1 Juni. Ali Moertopo, Komandan Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, menganggap pernyataan itu menyinggung pemerintah karena menyi­ratkan usul pergantian pemimpin nasional.

Dari Ali Moertopo jugalah nama ”Petisi 50” berasal. Padahal para tokoh yang prihatin itu membuat pernyataan atas nama Lembaga Kesadaran Berkonstitusi—sebuah forum yang didirikan pada 1978 oleh A.H. Nasution dan Muhammad Hatta. Barangkali karena lebih singkat dan gampang diingat, nama Petisi 50 lebih dikenal publik sampai sekarang.

Petisi 50 dianggap ”musuh utama” pemerintah Soeharto. Para tokohnya menjalani hidup yang sulit. Bisnis keluarga mereka kocar-kacir karena tak bisa mendapatkan kredit bank. Bahkan beredar kabar Soeharto ingin mengirim mereka ke Pulau Buru—pulau di Maluku yang menjadi gulag tahanan politik pengikut Partai Komunis Indonesia. Namun rencana itu konon digagalkan Jenderal M. Jusuf, Panglima ABRI yang menentang tentara berpolitik. ”Sewaktu dimintai konfirmasi, Pak Jusuf tak menyangkal,” kata Chris Siner, laki-laki asal Flores kelahiran 1939.

Karena dianggap menyeret-nyeret Natsir dalam Petisi, A.M. Fatwa dikecam aktivis Himpunan Mahasiswa Islam dan pengikut Masyumi—partai Natsir yang dibubarkan Soekarno. ”Aktivis HMI sudah banyak yang menjadi pejabat. Mereka merasa terancam dengan Petisi itu,” kata Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat yang kini 69 tahun itu.

Penanda tangan Petisi 50 juga terkena cekal. Natsir, pemimpin sejumlah organisasi muslim dunia, batal menghadiri pelbagai konferensi di negara-negara lain. Ia sudah biasa dengan perlakuan buruk pemerintah. Ia pernah bentrok dengan Soekarno soal ga­gasan Nasakom. Sewaktu pengumuman cekal pemerintah Soeharto diumumkan, Natsir hanya berujar, ”Mungkin karena sudah tua, mereka takut saya nyasar.”

Sikap Natsir yang sebenarnya ia tuliskan dalam buku Indonesia di Persimpangan Jalan (1984). Tindakan itu, tulisnya: suatu kebiasaan yang kita temui dalam sistem diktator atau feodal abad pertengahan. Itu puncak kegusaran Natsir yang dikenal lemah lembut. Semua orang dekatnya bersaksi Natsir tak pernah menggunjing atau memaki orang lain.

Meski dicekal dan rumah-rumah mereka diawasi intel, anggota Petisi 50 tak surut. Mereka rutin bertemu setiap Selasa sore di rumah Ali Sadikin, bekas Gubernur Jakarta yang menjadi motor kelompok ini. ”Meski tak rutin, Pak Natsir sering datang,” kata Fatwa. ”Dia juga menjadi donatur Petisi.”

Pertemuan rutin itu berlangsung lebih dari 20 tahun. Setiap Selasa mereka berdiskusi dan bertukar gagasan tentang soal-soal kenegaraan atau membahas situasi politik. Setiap 17 Agustus pada peringatan kemerdekaan, Petisi mengeluarkan maklumat atau memorandum yang isinya mengkritik kebijakan-kebijakan ekonomi-politik Orde Baru.

Petisi, menurut Chris, menjadi tempat pertemuan kembali para tokoh pendiri bangsa. Padahal sekali waktu Ali Sadikin pernah marah besar kepada Natsir karena menentang kebijakannya melegalkan judi dan melokalisasi pelacur di Kramat Tunggak. ”Kalau Pak Natsir ke luar rumah harus pakai helikopter, karena jalan Jakarta saya bangun dari uang judi,” ujar Ali Sadikin. Natsir tak bereaksi.

Chris dan Fatwa mengenang, Natsir adalah seorang demokrat sampai ke tulang sumsum. Suatu kali dalam diskusi, Sjafroeddin Prawiranegara berkata, dalam de­mokrasi, paham komunis se­kalipun tak bisa dilarang. Reaksi Natsir, diceritakan Chris Siner, ”Kalau komunisme tidak baik, kita hadang paham itu lewat pemilu.”

Meski ia ulama zuhud, pendiri partai Islam terbesar pada 1950, Chris tak pernah mendengar Natsir mendesakkan pandangannya tentang Islam. Sekali Natsir berkata kepada Chris yang Katolik, ”Bagi saya nilai-nilai Islam itu inspirasi. Akan saya perjuangkan nilai-nilai itu secara demokratis.”

Satu warisan Natsir yang terkenal, yang lahir manakala diskusi Petisi 50 berlangsung panas dan runcing: kita sepakat untuk tidak sepakat.

Sumber :
"Berpetisi tanpa caci maki" , Laporan Utama Majalah Tempo Edisi 21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008

Iklan dari, oleh dan untuk Blogger