Tanggal 17 Juli 2008 nanti akan ada Peringatan Seratus Tahun Mohammad Natsir di Jakarta. Berbagai acara telah dan akan diselenggarakan dalam peringatan ini, mulai dari diskusi, seminar, penulisan buku dan penerbitan kembali buku-buku karya Almarhum Mohammad Natsir. Keluarga Pak Natsir meminta saya untuk menulis kata pengantar atas diterbitkannya kembali Capita Selecta Jilid I karya almarhum yang pernah diterbitkan tahun 1954. Oleh karena buku itu dicetak terbatas, maka kata pengantar yang saya tulis itu saya hidangkan di blog ini, agar dapat dibaca oleh kalangan yang tidak sempat memiliki buku karya Mohammad Natsir yang diterbitkan kembali itu. Apa yang saya tulis dalam kata pengantar itu, sesungguhnya lebih dari sekedar mengantarkan pembaca untuk memahami buku yang diterbitkan, namun memberikan gambaran umum tentang sosok Mohammad Natsir, agar kehidupan dan sumbangannya bagi bangsa, negara dan agama dapat diingat kembali dan dikenang oleh generasi yang hidup di masa sekarang.
Pak Natsir (1908-1993) adalah tokoh intelektual, pejuang, politikus, ulama dan sekaligus salah seorang negarawan yang dimiliki bangsa kita. Sejak usia muda, beliau menaruh minat yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuan, falsafah dan kajian keislaman. Di zaman ketika beliau masih muda, untuk mendapatkan informasi dan bahan-bahan untuk mendalami bidang-bidang itu tidaklah mudah. Perpustakaan tidaklah sebanyak zaman sekarang. Mesin fotocopy belum ada. Internet yang dapat membantu seseorang menelusuri berbagai bahan yang diperlukan, juga belum ada. Namun Pak Natsir bagai orang yang tak pernah putus asa untuk mencari. Meskipun beliau sepenuhnya menempuh pendidikan Barat di sekolah-sekolah Belanda, namun minatnya untuk menelaah khazanah ilmu pengetahuan keislaman bagai tak pernah padam. Beliau pergi ke sana ke mari untuk mencari buku, meminjam dengan orang-orang, atau meminjam buku di berbagai perpustakaan. Beruntung beliau, karena memahami bahasa Belanda, Arab, Inggris dan Perancis, sehingga berbagai buku yang diperlukan, yang ditulis dalam bahasa-bahasa itu dapat beliau baca. Bahkan, beliau tidak saja menulis dalam Bahasa Indonesia, namun juga menulis dalam Bahasa Belanda, Perancis dan Bahasa Inggris.
Kebiasaan Pak Natsir memburu buku itu, bukan hanya terjadi ketika beliau masih muda. Ketika usia beliau makin senja, saya adalah salah seorang yang selalu beliau suruh untuk mencari berbagai buku yang ingin beliau baca. Saya bukan saja harus mencari buku-buku itu di berbagai toko buku atau di perpustakaan, tetapi bukan sekali dua harus datang ke rumah beberapa tokoh untuk mendapatkan buku itu. Pernah beliau menyuruh saya datang ke rumah Prof. Osman Raliby, ke rumah Prof. Zakiah Darajat, Prof. Deliar Noer, M.Yunan Nasution, Zainal Abidin Ahmad, dan bahkan saya di suruh pergi ke Bandung, karena buku yang beliau cari ada di rumah Endang Saifuddin Anshary. Pak Natsir membaca buku-buku itu dengan penuh minat. Saya menyadari bahwa Pak Natsir tidak ingin sembarangan bicara atau sembarangan menulis. Beliau ingin mendalami segala sesuatu sebelum menyampaikan pendapat atau menentukan sikap terhadap sesuatu masalah.
Sikap yang ditunjukkan Pak Natsir seperti saya gambarkan di atas sangatlah baik untuk diteladani. Seorang cendekiawan dan seorang pemimpin, sebaiknyalah mendalami segala sesuatu sebelum menyampaikan pendapat dan menentukan sikap. Karena itulah, kalau kita menelaah tulisan-tulisan Pak Natsir, baik tulisan lepas maupun sebuah polemik, beliau mengemukakan pandangan berdasarkan data, analisa dan argumentasi yang kokoh. Karena itu pula pandangan-pandangan beliau mempunyai bobot yang tinggi dan juga mempunyai pengaruh yang luas kepada publik. Tulisan-tulisan itu, bahkan melampaui zaman. Apa yang beliau kemukakan ketika beliau masih muda – di zaman kita masih dijajah – maupun setelah kita merdeka, tetap mempunyai nuansa yang relevan dengan zaman ketika kita hidup di masa sekarang. Masalah-masalah memang datang silih berganti sesuai tantangan zaman. Namun esensi persoalannya tidaklah bergeser terlalu jauh. Karena itu, dalam membaca tulisan-tulisan beliau yang dihimpun dalam buku ini, kita harus mampu menangkap esensinya, bukan menangkap peristiwa-peristiwanya saja, yang kini telah menjadi bagian dari sejarah bangsa kita.
Membaca tulisan-tulisan Pak Natsir yang dihimpun dalam buku ini, saya berani mengatakan bahwa Pak Natsir bukanlah seorang yang murni intelektual, kalau kita menggunakan ukuran-ukuran sebagaimana dikemukakan Julien Benda. Bagi Benda, intelektual adalah manusia yang menghabiskan waktu sepanjang hidupnya untuk bergelut dengan dunia pemikiran. Mereka menjauhi dunia praktis dan tidak menaruh minat kepada dunia politik. Bagi Benda, intelektual nampaknya seperti seorang yang berdiri di menara gading. Kepalanya tidak menyentuh langit dan kakinya tidak menginjak bumi. Mereka berumah di atas angin, berada di awang-awang nun jauh di sana di atas tanah tempat kita berpijak. Pak Natsir pada dasarnya adalah seorang aktivis. Beliau terlibat dalam berbagai pergerakan, baik kepemudaan, keagamaan, sosial dan politik. Beliau menulis dalam rangka pergerakan itu dengan bertitik tolak pada kenyataan-kenyataan sosial yang dihadapinya. Beliau tidak menulis untuk melontarkan gagasan di ruang hampa. Sebab itulah, kita jarang menemukan sebuah buku yang benar-benar buku yang pernah beliau tulis untuk membahas sesuatu masalah. Beliau lebih banyak menulis essay, atau risalah pendek, yang kemudian dihimpun dan dibukukan.
Menghadapi kenyataan di atas, suatu ketika saya pernah berbicara berdua dengan Pak Natsir mengenai kontribusi beliau dalam dunia intelektual. Saya katakan kepada beliau, andaikata Pak Natsir mencurahkan sepenuh waktu dalam hidup beliau untuk melakukan studi dan menulis, mungkin beliau akan melampaui karya-karya Allama Mohammad Iqbal atau Fazlur Rahman, dua filsuf dan intelektual dari Pakistan. Mendengar komentar saya itu, Pak Natsir hanya tertawa. Beliau mengatakan bahwa jalan hidup seseorang tidaklah ditentukan oleh kemauannya sendiri, karena segala sesuatu berjalan seakan terjadi begitu saja. Saya mengerti bahwa Pak Natsir lebih tertarik untuk menjadi aktivis daripada menjadi intelektual murni. Kalau beliau memang menginginkan menjadi intelektual murni, saya yakin beliau takkan menolak tawaran beasiswa untuk melanjutkan studi ke Rechts Hoogeschool di Batavia atau sekalian saja meneruskan pendidikan ke Universitas Leiden di Negeri Belanda. Saya yakin, dengan bakat intelektual yang beliau miliki, dengan mudah beliau mendapatkan gelar PhD di bidang filsafat, hukum atau kajian keislaman dari universitas tersebut. Namun sejarah telah menunjukkan, Pak Natsir lebih senang bekerja secara independen setelah menamatkan AMS di Bandung. Beliau memilih menjadi guru dan mendirikan sekolah sendiri, sambil terus aktif di dalam pergerakan.
Prestasi Pak Natsir di bidang politik, nampaknya telah melampaui apa yang dicapai oleh guru-guru beliau. Salah seorang guru Pak Natsir yang hidup sampai ke zaman kita merdeka, ialah Haji Agus Salim. HOS Tjokroaminoto yang juga memberikan banyak ilham kepada Pak Natsir, telah wafat sebelum kita merdeka. Haji Agus Salim sama-sama aktif dalam Masyumi setelah partai itu terbentuk di awal kemerdekaan. Haji Agus Salim dan Pak Natsir sama-sama menjadi menteri di awal kemerdekaan. Agus Salim menjadi Menteri Luar Negeri dan Pak Natsir menjadi Menteri Penerangan. Faktor usia jugalah yang mendorong Haji Agus Salim untuk memberikan kesempatan kepada tokoh-tokoh yang berusia muda, antara lain kepada Pak Natsir, Pak Mohamad Roem, Pak Kasman Singodimedjo dan Pak Jusuf Wibisono yang kesemuanya adalah murid-murid Haji Agus Salim ketika mereka aktif di dalam Jong Islamieten Bond. Pak Natsir pernah menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia, sebuah jabatan yang merupakan karier puncak seorang politikus dalam sistem pemerintahan parlementer. Nama beliau bukan saja dikenal di di tanah air, tetapi juga di seluruh pelosok dunia Islam, jauh melampaui guru-gurunya dan tokoh-tokoh lain seangkatannya.
Dengan uraian di atas, kita akan dapat memahami tulisan-tulisan Pak Natsir, yang seluruhnya ditulis sebagai respons intelektual terhadap perkembangan zaman, yang menjadi keprihatinan beliau. Tulisan-tulisan itu dibuat untuk memberikan percerahan dalam rangka membangun kesadaran baru terhadap dua hal pokok, pertama keprihatinan terhadap Islam dan umatnya, dan kedua keprihatinan terhadap situasi yang dihadapi bangsa kita, baik di masa penjajahan maupun setelah kemerdekaan. Keprihatinan terhadap Islam dan umatnya memang telah menjadi fokus perhatian Pak Natsir sejak awal. Beliau lahir dan dibesarkan dalam lingkungan masyarakat Minangkabau, ketika Adat dan Islam menjadi bahan polemik berkepanjangan dalam masyaratnya. Memasuki awal abad ke dua puluh, gerakan pembaharuan Islam semakin menguat di Minangkabau, dan hal ini menjadi sumber polemik pula. Pak Natsir – karena latar belakang keluarganya – memilih Islam sebagai jalan hidup. Pengaruh Adat Minangkabau dalam kehidupan pribadi Pak Natsir hampir tidak terasa, walau secara formal beliau diangkat menjadi Datuk oleh kaum kerabatnya dan bergelar Datuk Sinaro Panjang. Keterlibatan beliau dalam mengurusi adat, sepanjang pengamatan saya, tidak begitu nampak. Bahkan dalam keseluruhan tulisan-tulisan beliau – ini agak beda dengan Buya Hamka dan Agus Salim – hampir tak pernah Pak Natsir membicarakan masalah adat.
Dengan memilih Islam, Pak Natsir ingin memberikan kerangka pemahaman baru terhadap Islam, sehingga Islam benar-benar menjadi pedoman hidup dan jalan hidup yang bersifat abadi dan universal. Dalam konteks ini Pak Natsir memberikan kontribusi yang signifikan, yang menempatkan diri beliau sebagai seorang pembaharu, bukan saja di bidang pemikiran, tetapi juga di dalam gerakan Islam. Dalam konteks pembaharuan ini, para akademisi umumnya menyimpulkan bahwa gerakan pembaharuan Islam di Indonesia karena pengaruh dari berbagai gerakan pembaharu di Timur Tengah atau Asia Selatan. Buya Hamka dalam orasi penerimaan gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar di tahun 1962, menyebutkan pengaruh yang sangat besar dari Syekh Muhammad Abduh kepada gerakan pembaharuan di tanah air. Buya Hamka menyebutkan hampir semua tokoh-tokoh pembaharu itu mendapat pengaruh dari Mohammad Abduh. Dari berbagai dialog saya dengan Pak Natsir, saya berkesimpulan bahwa Pak Natsir sampai kepada cita pembaharuan Islam itu, bukanlah karena pengaruh pemikiran dari Timur Tengah, melainkan berngkat dari keprihatiannya sendiri. Beliau kemudian menggunakan metode berpikir yang didapatnya di pendidikan Barat yang ditempuhnya untuk menelaah berbagai literatur dengan kritis. Pak Natsir mengatakan kepada saya, baru di masa belakangan beliau membaca Tafsir Al-Manar dan karya-karya Mohammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridla, serta pembaharu lainnya dari Timur Tengah. Namun beliau mengakui telah membaca berulangkali karya Ali Abdurraziq yang kontroversial, Al-Islam wa Uhulul Hukm, ketika berpolemik dengan Sukarno. Sebelumnya – seperti telah saya katakan — beliau banyak berdiskusi dengan A Hassan (gurunya di Persatuan Islam Bandung dan Pak Natsir sendiri kemudian pernah menjadi ketua organisasi ini), Agus Salim dan Tjokroaminoto. Pak Natsir, pada dasarnya adalah seorang otodidak dalam mengembangkan pemikiran tentang Islam.
Pak Natsir berkeyakinan bahwa ajaran Islam adalah adalah abadi dan bersifat universal. Islam menekankan tauhid dan menentang kemusyrikan, agar manusia mempunyai orientasi yang benar dalam hidupnya. Etika pribadi dan sosial ditegakkan atas dasar iman kepada Allah Yang Maha Melihat lagi Mengetahui. Iman kepada hari akhir akan mendorong ketaatan setiap insan kepada kaidah-kaidah etika, karena Allah akan mengadili setiap perbuatan manusia dengan seadil-adilnya. Ibadat harus dilaksanakan dengan konsisten. Itulah sebabnya Pak Natsir menulis buku tentang pelajaran shalat yang sengaja ditulisnya di dalam Bahasa Belanda, yang ditujukan kepada orang-orang berpendidikan Barat agar memahami dan melaksanakannya. Mengenai soal hukum, Pak Natsir berpendapat syari’at Islam sangatlah luas dan mempunyai fleksibelitas untuk ditafsirkan ulang guna memenuhi kebutuhan zaman. Namun manusia, katanya, tidak dapat melampaui batas-batas atau hudud yang telah ditetapkan Allah dan Rasulnya. Untuk itulah diperlukan iman, mengingat keterbatasan pengetahuan manusia dan relativitas temuan ilmu-pengetahuan. Nuansa pemikiran seperti ini terlihat dalam jawaban Pak Natsir atas tulisan-tulisan Ir. Soekarno menjelang tahun 1940.
Tentu sumbangan besar Pak Natsir dalam pemikiran Islam ialah gagasannya tentang Islam sebagai Ideologi. Apa yang dimaksud Pak Natsir tentulah bukan wahyu Allah di dalam al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah adalah sebuah ideologi. Namun ajaran-ajaran Islam yang terkandung di dalam kedua sumber ajaran itu dapat ditransformasikan dan diformulasikan ke dalam sebuah rumusan untuk dijadikan sebagai landasan bagi sebuah gerakan politik. Rumusan itu bersifat eksplisit, tegas dan sekaligus menyebutkan cara-cara untuk mencapainya. Rumusan seperti itulah yang disebut sebagai ideologi. Pak Natsir sendiri adalah konseptor Tafsir Asas Masyumi, yang setelah disempurnakan oleh muktamar partai itu, disahkan sebagai “ideologi” Masyumi. Islam adalah asas Masyumi. Tafsir Asas memberikan tafsiran terhadap Islam yang dijadikan sebagai asas partai itu, untuk dijadikan sebagai pedoman berpikir, bertindak dan sekaligus landasan Masyumi dalam derap langkah dan perjuangannya. Tulisan Pak Natsir tentang Islam sebagai ideologi yang paling berkesan ialah pidato beliau di Majelis Konstituante, ketika Masyumi membela Islam untuk dijadikan sebagai dasar negara berhadapan dengan dasar Pancasila dan Sosial Ekonomi. Pak Natsir menegaskan bahwa menghadapi dasar negara itu, pilihan kita hanya dua: agama atau sekularisme. Sayang, tulisan tentang dasar negara itu belum dimuat di dalam Capita Selecta Jilid I ini.
Dalam pidato tentang dasar negara di Konstituante itu, Pak Natsir menggolongkan Pancasila sebagai sekularisme. Penggolongan itu didasarkan beliau atas uraian-uraian dari para pendukung dasar negara Pancasila itu sendiri. Kalau tafsiran terhadap Pancasila itu memang bercorak sekuler – seperti dikemukakan oleh para pendukungnya — dan tidak berhubungan dengan ajaran agama, maka Pak Natsir menolak Pancasila sebagai dasar negara. Namun sikap Pak Natsir mengenai Pancasila itu sendiri, tidaklah demikian. Beliau dapat menerima Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara, sepanjang Pancasila itu ditafsirkan dalam premis-premis Islam. Hal itu ditegaskan Pak Natsir dalam pidatonya di hadapan Pakistan’s Institute of World Affairs tahun 1952. Jadi, soal Pancasila adalah soal tafsir belaka. Indonesia, kata Pak Natsir, dapat disebut sebagai Negara Islam karena kenyataan bahwa bagian terbesar penduduknya beragama Islam. Meskipun Islam tidak dinyatakan secara tegas sebagai dasar negara sebagaimana halnya Pakistan, namun Pancasila, yakni lima asas yang dijadikan sebagai dasar negara Republik Indonesia adalah sesuatu yang sejalan dengan ajaran-ajaran Islam.
Tentang konsep sebuah negara, Pak Natsir menganut pandangan bahwa ajaran-ajaran Islam mengenai negara, hanyalah terbatas kepada asas-asasnya saja. Asas-asas itu dapat ditransformasikan ke dalam sebuah rumusan yang bersifat konsepsional tentang negara, sesuai dengan keadaan ruang dan waktu. Umat Islam yang hidup pada suatu tempat dan zaman tertentu dapat memikirkan rumusan sebuah negara yang paling sesuai dengan keadaan dan kebutuhan mereka. Untuk itu, menurut Pak Natsir, Islam memberikan kesempatan kepada umatnya untuk mengadopsi berbagai sistem yang berkembang di berbagai negara, untuk diintegrasikan ke dalam sistem yang mereka bangun dengan mengaju kepada asas-asas yang diajarkan Islam. Islam tidaklah seratus persen demokrasi, dan tidak pula seratus persen autokrasi. Islam adalah Islam, demikian kata Pak Natsir sebelum kita merdeka. Namun setelah kita merdeka, dan telah beberapa tahun berpengalaman memiliki negara, Pak Natsir sampai pada kesimpulan bahwa meskipun demokrasi itu mempunyai banyak kekurangan dan kesulitan dalam melaksanakannya, namun sampai dewasa ini umat manusia belum menemukan sistem lain yang lebih baik dari demokrasi. Namun Pak Natsir kembali menegaskan bahwa demokrasi yang harus dilaksanakan ialah “theistic democracy”, yakni demokrasi yang didasarkan kepada nilai-nilai ketuhanan.
Selain di bidang pemikiran politik Islam, Pak Natsir memberikan sumbangan pemikiran yang sangat penting untuk membangun kesadaran umat Islam dalam melaksanakan ajaran agama dan mempertahankan eksistensi dirinya. Di zaman Belanda, beliau sangat prihatin dengan ketimpangan kebijakan Pemerintah kolonial Belanda dalam mendukung kegiatan-kegiatan dakwah dan pendidikan Islam, dibandingkan dengan dukungannya kepada missi dan penyelenggaraan pendidikan Kristen di tanah air. Keprihatinan Pak Natsir terhadap kegiatan missi Kristen terus berlanjut sampai usia beliau menjelang senja. Perhatian beliau kepada soal dakwah di daerah-daerah terpencil dan daerah transmigrasi tak pernah padam. Namun beliau mempunyai perhatian yang besar pula dalam mendukung kegiatan-kegiatan dakwah di berbagai kampus di seluruh tanah air. Perhatian beliau kepada pendidikan, telah muncul sejak usia muda. Pak Natsir terlibat dalam mendirikan berbagai perguruan tinggi Islam di tanah air. Beliau melihat jauh ke depan. Nasib umat Islam akan menjadi lebih baik, jika pendidikan dibenahi. Pak Natsir juga mengirim banyak generasi muda untuk menuntut ilmu ke berbagai negara.
Bagi Pak Natsir hidup adalah perjuangan dan pengabdian tanpa akhir. Beliau berbuat sesuatu untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, baik berada di luar panggung kekuasaan maupun berada di luarnya. Karier Pak Natsir di panggung kekuasaan tidak berlangsung lama. Menjadi Menteri Penerangan di dalam Kabinet Sjahrir hanya beberapa bulan saja. Menjadi Perdana Menteri hanya sekitar enam bulan saja. Selebihnya menjadi anggota parlemen dan konstituante. Namun pengabdian beliau tak pernah padam, walau terkadang terlihat kontroversial seperti ketika beliau melibatkan diri ke dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Pak Natsir sangat prihatian melihat negara yang semakin bergerak ke arah kiri dan prihatin pula akan munculnya kediktatoran di bawah Presiden Soekarno. Keprihatinan itu makin bertambah ketika Presiden Soekarno membentuk Kabinet Darurat Ekstra Parlementer di bawah pimpinan Ir. Djuanda. Beliau melihat semua ini sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap konstitusi dan demokrasi. Sementara di daerah-daerah terus-menerus terjadi berbagai pergolakan yang berpotensi pecahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada awal Pebruari 1958, Pak Natsir memutuskan untuk bergabung dengan tokoh-tokoh di daerah yang menentang pemerintah pusat yang mereka yakini bersifat inkonstitusional itu. Dari pertemuan Sungai Dareh lahirlah ultimatum untuk membubarkan pemerintah Djuanda dan membentuk pemerintahan baru yang dipimpin Mohammad Hatta. Kalau lima kali dua puluh empat jam ultimatum tidak dipenuhi, maka mereka akan menempuh jalan sendiri dan tidak mengakui keberadaan dan keabsahan pemerintah pusat. Inilah awal lahirnya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Tengah, sebagai pemerintahan tandingan. Pak Natsir ingin agar persoalan ketidaksahan pemerintah pusat itu segera diakhiri, dan dengan begitu setiap saat mereka dengan sukarela akan mengakhiri keberadaan PRRI.
Namun konflik politik terus berlanjut dan konflik bersenjata tidak dapat dihindari lagi. TNI membom Lapangan Terbang Tabing di Padang dan mendaratkan pasukan di sana. Perang saudara tak terhindarkan lagi. Tetapi suatu hal yang harus dicatat dari peristiwa ini, Pak Natsir tetap menginginkan konflik ini adalah konflik internal bangsa kita sendiri. PRRI tidak boleh mengarah kepada separatisme. Sebagai penggagas “mosi integral” yang melebur negara-negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) ke dalam Republik Indonesia, Pak Natsir tetap menginginkan bangsa dan negara kita bersatu. “Ibarat rumah tangga, periuk belanga boleh beterbangan” kata Pak Natsir kepada saya. “Tetapi rumah kita jangan kita rubuhkan”.Jadi, PRRI haruslah dilihat sebagai konflik internal antar sesama bangsa kita sendiri, antara mereka yang menganggap pemerintah pusat sah dan tidak sah, dan konflik antara daerah dengan pusat yang memerlukan penyelesaian yang bijaksana. Karena itu, sungguh keliru menganggap PRRI sebagai gerakan separatis.
Meskipun Pak Natsir dan seluruh mereka yang terlibat dalam PRRI memenuhi panggilan amnesti umum yang disampaikan Presiden Soekarno, namun beliau tetap saja ditahan oleh Pemerintah Soekarno tanpa tuduhan yang jelas. Penahanan terhadap Pak Natsir itu tidak pernah dilanjutkan dengan proses hukum, Ini terang-terangan merupakan suatu bentuk pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dilakukan Pemerintah Presiden Soekarno. Pak Natsir baru dibebaskan setelah Presiden Soekarno jatuh dari panggung kekuasaan. Ketika memasuki alam bebas, Pak Natsir terus melanjutkan pengabdiannya kepada bangsa dan negara. Masyumi telah dipaksa membubarkan diri oleh Presiden Ketika pada akhir tahun 1960, ketika Pak Natsir masih berada di hutan-hutan. Usaha merehabilitasi Masyumi mengalami kegagalan karena sikap keras pemerintahan militer di bawah Jenderal Soeharto. Ketika pintu untuk kembali terlibat dalam pergerakan politik menjadi tertutup bagi beliau, Pak Natsir mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dan mulai aktif dalam Muktamar al-Alam al-Islami dan Rabithah al-Alam al-Islami. Dengan begitu, beliau diakui bukan saja tokoh Islam di tanah air, tetapi juga tokoh dunia Islam.
Selama pemerintahan Orde Baru, Pak Natsir tetap dianggap sebagai pemimpin yang disegani dan sekaligus juga “dikhawatirkan” pengaruhnya oleh Pemerintah Orde Baru. Namun berbagai keterbatasan yang beliau hadapi – apalagi setelah beliau ikut menandatangani Petisi 50 beliau dilarang ke luar negeri – kegiatan dakwah Pak Natsir tak pernah berhenti. Beliau juga menulis dan memberikan masukan sekaligus kritik terhadap berbagai kebijakan Pemerintah. Namun, gaya Pak Natsir menulis dan berpidato tetaplah halus, tenang dan tidak berapi-api sebagaimana kebanyakan pemimpin yang menghadapi banyak tekanan dan hambatan. Namun dibalik ketenangan dan kehalusaannya itu, terdapat kekuatan semangat dan keteguhan pendirian. Mengenai hal ini, saya sungguh banyak belajar dari Pak Natsir. Keteguhan hati seorang pemimpin bukanlah tercermin dari kerasnya kata-kata yang dia ucapkan, melainkan dari sikap dan prilakunya yang tidak berubah ketika dia menghadapi tekanan dan tantangan, bahkan bujukan dan rayuan.
Sepanjang saya mengenal Pak Natsir dan bergaul erat dengan beliau, kesan saya, Pak Natsir adalah pribadi yang amat jujur dan bersahaja. Beliau sering mengenakan baju putih yang ada bekas tinta di kantongnya, atau mengenakan baju batik berwarna biru tua. Peci dan sehelai syal selalu dipakainya ke mana saja beliau pergi. Kalau di rumah beliau memakai kain sarung dan baju “potong Cina”, sejenis baju khas orang Melayu. Dengan saya, Pak Natsir seringkali bersenda gurau dan berbicara hal yang lucu-lucu, yang mungkin jarang diucapkannya kepada orang lain. Pribadi beliau sangat menarik dan nampak mudah sekali merasa kasihan dengan orang lain. Ketika saya mula-mula bergaul dengan Pak Natsir, saya masih mahasiswa dan tinggal di Asrama UI di Rawamangun. Setiap Pak Natsir menyuruh saya mengerjakan sesuatu, saya kerjakan dengan sungguh-sungguh. Kalau apa yang dikerjakan sudah selesai saya mengantarkannya ke rumah beliau di Jalan Cokroaminoto No 46 Menteng. Saya ngobrol-ngobrol ke sana ke mari sebentar dengan beliau, dan setelah itu mohon pamit.
Ketika saya sudah di pintu pagar rumah beliau, tiba-tiba Pak Natsir memanggil saya dan mengatakan “Saudara Yusril. Tunggu sebentar”. Entah mengapa beliau selalu memanggil saya dengan sebutan “saudara” itu. Saya tunggu sebentar dan Pak Natsir keluar dari dalam rumah lalu memasukkan tangannya ke kantong baju saya. Sambil tertawa beliau mengatakan “Ini ongkos becaknya”. Sayapun tertawa, saya katakan “Pak, sekarang tidak ada becak lagi di Jakarta”. Pak Natsirpun tertawa dan mengatakan “Saudara kan mahasiswa dan tinggal di asrama. Ini untuk naik bis dan untuk ongkos makan”.Saya sungguh terharu dengan sikap Pak Natsir itu. Kalau saya teringat dengan beliau, hati saya merasa sedih. Saya merasa seperti kehilangan orang tua saya sendiri.
Pak Natsir pernah pula mencari saya ke Asrama UI Daksinapati Rawamangun, Jakarta. Saya terkejut bukan kepalang karena teman-teman seasrama memberitahu saya “ada Pak Natsir datang ke asrama mencari anda”, demikian kata mereka. Saya setengah berlari menghampiri Pak Natsir yang menunggu saya di lobby arsama itu. Dengan perasaan malu, saya katakan kepada beliau, biarlah saya yang datang ke rumah Pak Natsir, kalau ada tugas-tugas yang beliau berikan. Kalau beliau datang ke asrama mencari saya, saya merasa saya seperti orang penting, padahal saya hanya mahasiswa yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kebesaran beliau. Mendengar apa yang saya katakan itu, sambil tertawa Pak Natsir berkata “Ya, kalau Saudara yang perlu dengan saya, Saudara yang datang ke rumah saya. Tapi kalau saya yang perlu dengan Saudara, saya yang datang ke tempat Saudara”. Beliau mengucapkan kata-kata itu tanpa beban. Saya sungguh tertegun dengan ucapan beliau itu. Saya pikir ketika itu, alangkah demokratis dan rendah hati beliau yang bernama Mohammad Natsir ini, sampai saya sendiri tak dapat menutupi rasa malu kepada diri sendiri di hati saya.
Demikianlah sekelumit kata pengantar saya atas diterbitkannya kembali Capita Selecta Jilid I buah tangan Pak Natsir ini. Saya sungguh merasa mendapat kehormatan yang amat besar, dimintakan untuk menulis kata pengantar ini. Semoga kata pengantar saya ini berguna bagi siapa saja yang membaca buku Capita Selecta Jilid I ini. Akhirnya, kepada Allah SWT jua saya mengambalikan segala persoalan.
Wallahu ‘alam bissawwab