Kamis, 17 Juli 2008

MENGENANG SERATUS TAHUN MOHAMMAD NATSIR : CATATAN YUSRIL IHZA MAHENDRA

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim

Tanggal 17 Juli 2008 nanti akan ada Peringatan Seratus Tahun Mohammad Natsir di Jakarta. Berbagai acara telah dan akan diselenggarakan dalam peringatan ini, mulai dari diskusi, seminar, penulisan buku dan penerbitan kembali buku-buku karya Almarhum Mohammad Natsir. Keluarga Pak Natsir meminta saya untuk menulis kata pengantar atas diterbitkannya kembali Capita Selecta Jilid I karya almarhum yang pernah diterbitkan tahun 1954. Oleh karena buku itu dicetak terbatas, maka kata pengantar yang saya tulis itu saya hidangkan di blog ini, agar dapat dibaca oleh kalangan yang tidak sempat memiliki buku karya Mohammad Natsir yang diterbitkan kembali itu. Apa yang saya tulis dalam kata pengantar itu, sesungguhnya lebih dari sekedar mengantarkan pembaca untuk memahami buku yang diterbitkan, namun memberikan gambaran umum tentang sosok Mohammad Natsir, agar kehidupan dan sumbangannya bagi bangsa, negara dan agama dapat diingat kembali dan dikenang oleh generasi yang hidup di masa sekarang.

Pak Natsir (1908-1993) adalah tokoh intelektual, pejuang, politikus, ulama dan sekaligus salah seorang negarawan yang dimiliki bangsa kita. Sejak usia muda, beliau menaruh minat yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuan, falsafah dan kajian keislaman. Di zaman ketika beliau masih muda, untuk mendapatkan informasi dan bahan-bahan untuk mendalami bidang-bidang itu tidaklah mudah. Perpustakaan tidaklah sebanyak zaman sekarang. Mesin fotocopy belum ada. Internet yang dapat membantu seseorang menelusuri berbagai bahan yang diperlukan, juga belum ada. Namun Pak Natsir bagai orang yang tak pernah putus asa untuk mencari. Meskipun beliau sepenuhnya menempuh pendidikan Barat di sekolah-sekolah Belanda, namun minatnya untuk menelaah khazanah ilmu pengetahuan keislaman bagai tak pernah padam. Beliau pergi ke sana ke mari untuk mencari buku, meminjam dengan orang-orang, atau meminjam buku di berbagai perpustakaan. Beruntung beliau, karena memahami bahasa Belanda, Arab, Inggris dan Perancis, sehingga berbagai buku yang diperlukan, yang ditulis dalam bahasa-bahasa itu dapat beliau baca. Bahkan, beliau tidak saja menulis dalam Bahasa Indonesia, namun juga menulis dalam Bahasa Belanda, Perancis dan Bahasa Inggris.

Kebiasaan Pak Natsir memburu buku itu, bukan hanya terjadi ketika beliau masih muda. Ketika usia beliau makin senja, saya adalah salah seorang yang selalu beliau suruh untuk mencari berbagai buku yang ingin beliau baca. Saya bukan saja harus mencari buku-buku itu di berbagai toko buku atau di perpustakaan, tetapi bukan sekali dua harus datang ke rumah beberapa tokoh untuk mendapatkan buku itu. Pernah beliau menyuruh saya datang ke rumah Prof. Osman Raliby, ke rumah Prof. Zakiah Darajat, Prof. Deliar Noer, M.Yunan Nasution, Zainal Abidin Ahmad, dan bahkan saya di suruh pergi ke Bandung, karena buku yang beliau cari ada di rumah Endang Saifuddin Anshary. Pak Natsir membaca buku-buku itu dengan penuh minat. Saya menyadari bahwa Pak Natsir tidak ingin sembarangan bicara atau sembarangan menulis. Beliau ingin mendalami segala sesuatu sebelum menyampaikan pendapat atau menentukan sikap terhadap sesuatu masalah.

Sikap yang ditunjukkan Pak Natsir seperti saya gambarkan di atas sangatlah baik untuk diteladani. Seorang cendekiawan dan seorang pemimpin, sebaiknyalah mendalami segala sesuatu sebelum menyampaikan pendapat dan menentukan sikap. Karena itulah, kalau kita menelaah tulisan-tulisan Pak Natsir, baik tulisan lepas maupun sebuah polemik, beliau mengemukakan pandangan berdasarkan data, analisa dan argumentasi yang kokoh. Karena itu pula pandangan-pandangan beliau mempunyai bobot yang tinggi dan juga mempunyai pengaruh yang luas kepada publik. Tulisan-tulisan itu, bahkan melampaui zaman. Apa yang beliau kemukakan ketika beliau masih muda – di zaman kita masih dijajah – maupun setelah kita merdeka, tetap mempunyai nuansa yang relevan dengan zaman ketika kita hidup di masa sekarang. Masalah-masalah memang datang silih berganti sesuai tantangan zaman. Namun esensi persoalannya tidaklah bergeser terlalu jauh. Karena itu, dalam membaca tulisan-tulisan beliau yang dihimpun dalam buku ini, kita harus mampu menangkap esensinya, bukan menangkap peristiwa-peristiwanya saja, yang kini telah menjadi bagian dari sejarah bangsa kita.

Membaca tulisan-tulisan Pak Natsir yang dihimpun dalam buku ini, saya berani mengatakan bahwa Pak Natsir bukanlah seorang yang murni intelektual, kalau kita menggunakan ukuran-ukuran sebagaimana dikemukakan Julien Benda. Bagi Benda, intelektual adalah manusia yang menghabiskan waktu sepanjang hidupnya untuk bergelut dengan dunia pemikiran. Mereka menjauhi dunia praktis dan tidak menaruh minat kepada dunia politik. Bagi Benda, intelektual nampaknya seperti seorang yang berdiri di menara gading. Kepalanya tidak menyentuh langit dan kakinya tidak menginjak bumi. Mereka berumah di atas angin, berada di awang-awang nun jauh di sana di atas tanah tempat kita berpijak. Pak Natsir pada dasarnya adalah seorang aktivis. Beliau terlibat dalam berbagai pergerakan, baik kepemudaan, keagamaan, sosial dan politik. Beliau menulis dalam rangka pergerakan itu dengan bertitik tolak pada kenyataan-kenyataan sosial yang dihadapinya. Beliau tidak menulis untuk melontarkan gagasan di ruang hampa. Sebab itulah, kita jarang menemukan sebuah buku yang benar-benar buku yang pernah beliau tulis untuk membahas sesuatu masalah. Beliau lebih banyak menulis essay, atau risalah pendek, yang kemudian dihimpun dan dibukukan.

Menghadapi kenyataan di atas, suatu ketika saya pernah berbicara berdua dengan Pak Natsir mengenai kontribusi beliau dalam dunia intelektual. Saya katakan kepada beliau, andaikata Pak Natsir mencurahkan sepenuh waktu dalam hidup beliau untuk melakukan studi dan menulis, mungkin beliau akan melampaui karya-karya Allama Mohammad Iqbal atau Fazlur Rahman, dua filsuf dan intelektual dari Pakistan. Mendengar komentar saya itu, Pak Natsir hanya tertawa. Beliau mengatakan bahwa jalan hidup seseorang tidaklah ditentukan oleh kemauannya sendiri, karena segala sesuatu berjalan seakan terjadi begitu saja. Saya mengerti bahwa Pak Natsir lebih tertarik untuk menjadi aktivis daripada menjadi intelektual murni. Kalau beliau memang menginginkan menjadi intelektual murni, saya yakin beliau takkan menolak tawaran beasiswa untuk melanjutkan studi ke Rechts Hoogeschool di Batavia atau sekalian saja meneruskan pendidikan ke Universitas Leiden di Negeri Belanda. Saya yakin, dengan bakat intelektual yang beliau miliki, dengan mudah beliau mendapatkan gelar PhD di bidang filsafat, hukum atau kajian keislaman dari universitas tersebut. Namun sejarah telah menunjukkan, Pak Natsir lebih senang bekerja secara independen setelah menamatkan AMS di Bandung. Beliau memilih menjadi guru dan mendirikan sekolah sendiri, sambil terus aktif di dalam pergerakan.

Prestasi Pak Natsir di bidang politik, nampaknya telah melampaui apa yang dicapai oleh guru-guru beliau. Salah seorang guru Pak Natsir yang hidup sampai ke zaman kita merdeka, ialah Haji Agus Salim. HOS Tjokroaminoto yang juga memberikan banyak ilham kepada Pak Natsir, telah wafat sebelum kita merdeka. Haji Agus Salim sama-sama aktif dalam Masyumi setelah partai itu terbentuk di awal kemerdekaan. Haji Agus Salim dan Pak Natsir sama-sama menjadi menteri di awal kemerdekaan. Agus Salim menjadi Menteri Luar Negeri dan Pak Natsir menjadi Menteri Penerangan. Faktor usia jugalah yang mendorong Haji Agus Salim untuk memberikan kesempatan kepada tokoh-tokoh yang berusia muda, antara lain kepada Pak Natsir, Pak Mohamad Roem, Pak Kasman Singodimedjo dan Pak Jusuf Wibisono yang kesemuanya adalah murid-murid Haji Agus Salim ketika mereka aktif di dalam Jong Islamieten Bond. Pak Natsir pernah menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia, sebuah jabatan yang merupakan karier puncak seorang politikus dalam sistem pemerintahan parlementer. Nama beliau bukan saja dikenal di di tanah air, tetapi juga di seluruh pelosok dunia Islam, jauh melampaui guru-gurunya dan tokoh-tokoh lain seangkatannya.

Dengan uraian di atas, kita akan dapat memahami tulisan-tulisan Pak Natsir, yang seluruhnya ditulis sebagai respons intelektual terhadap perkembangan zaman, yang menjadi keprihatinan beliau. Tulisan-tulisan itu dibuat untuk memberikan percerahan dalam rangka membangun kesadaran baru terhadap dua hal pokok, pertama keprihatinan terhadap Islam dan umatnya, dan kedua keprihatinan terhadap situasi yang dihadapi bangsa kita, baik di masa penjajahan maupun setelah kemerdekaan. Keprihatinan terhadap Islam dan umatnya memang telah menjadi fokus perhatian Pak Natsir sejak awal. Beliau lahir dan dibesarkan dalam lingkungan masyarakat Minangkabau, ketika Adat dan Islam menjadi bahan polemik berkepanjangan dalam masyaratnya. Memasuki awal abad ke dua puluh, gerakan pembaharuan Islam semakin menguat di Minangkabau, dan hal ini menjadi sumber polemik pula. Pak Natsir – karena latar belakang keluarganya – memilih Islam sebagai jalan hidup. Pengaruh Adat Minangkabau dalam kehidupan pribadi Pak Natsir hampir tidak terasa, walau secara formal beliau diangkat menjadi Datuk oleh kaum kerabatnya dan bergelar Datuk Sinaro Panjang. Keterlibatan beliau dalam mengurusi adat, sepanjang pengamatan saya, tidak begitu nampak. Bahkan dalam keseluruhan tulisan-tulisan beliau – ini agak beda dengan Buya Hamka dan Agus Salim – hampir tak pernah Pak Natsir membicarakan masalah adat.

Dengan memilih Islam, Pak Natsir ingin memberikan kerangka pemahaman baru terhadap Islam, sehingga Islam benar-benar menjadi pedoman hidup dan jalan hidup yang bersifat abadi dan universal. Dalam konteks ini Pak Natsir memberikan kontribusi yang signifikan, yang menempatkan diri beliau sebagai seorang pembaharu, bukan saja di bidang pemikiran, tetapi juga di dalam gerakan Islam. Dalam konteks pembaharuan ini, para akademisi umumnya menyimpulkan bahwa gerakan pembaharuan Islam di Indonesia karena pengaruh dari berbagai gerakan pembaharu di Timur Tengah atau Asia Selatan. Buya Hamka dalam orasi penerimaan gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar di tahun 1962, menyebutkan pengaruh yang sangat besar dari Syekh Muhammad Abduh kepada gerakan pembaharuan di tanah air. Buya Hamka menyebutkan hampir semua tokoh-tokoh pembaharu itu mendapat pengaruh dari Mohammad Abduh. Dari berbagai dialog saya dengan Pak Natsir, saya berkesimpulan bahwa Pak Natsir sampai kepada cita pembaharuan Islam itu, bukanlah karena pengaruh pemikiran dari Timur Tengah, melainkan berngkat dari keprihatiannya sendiri. Beliau kemudian menggunakan metode berpikir yang didapatnya di pendidikan Barat yang ditempuhnya untuk menelaah berbagai literatur dengan kritis. Pak Natsir mengatakan kepada saya, baru di masa belakangan beliau membaca Tafsir Al-Manar dan karya-karya Mohammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridla, serta pembaharu lainnya dari Timur Tengah. Namun beliau mengakui telah membaca berulangkali karya Ali Abdurraziq yang kontroversial, Al-Islam wa Uhulul Hukm, ketika berpolemik dengan Sukarno. Sebelumnya – seperti telah saya katakan — beliau banyak berdiskusi dengan A Hassan (gurunya di Persatuan Islam Bandung dan Pak Natsir sendiri kemudian pernah menjadi ketua organisasi ini), Agus Salim dan Tjokroaminoto. Pak Natsir, pada dasarnya adalah seorang otodidak dalam mengembangkan pemikiran tentang Islam.

Pak Natsir berkeyakinan bahwa ajaran Islam adalah adalah abadi dan bersifat universal. Islam menekankan tauhid dan menentang kemusyrikan, agar manusia mempunyai orientasi yang benar dalam hidupnya. Etika pribadi dan sosial ditegakkan atas dasar iman kepada Allah Yang Maha Melihat lagi Mengetahui. Iman kepada hari akhir akan mendorong ketaatan setiap insan kepada kaidah-kaidah etika, karena Allah akan mengadili setiap perbuatan manusia dengan seadil-adilnya. Ibadat harus dilaksanakan dengan konsisten. Itulah sebabnya Pak Natsir menulis buku tentang pelajaran shalat yang sengaja ditulisnya di dalam Bahasa Belanda, yang ditujukan kepada orang-orang berpendidikan Barat agar memahami dan melaksanakannya. Mengenai soal hukum, Pak Natsir berpendapat syari’at Islam sangatlah luas dan mempunyai fleksibelitas untuk ditafsirkan ulang guna memenuhi kebutuhan zaman. Namun manusia, katanya, tidak dapat melampaui batas-batas atau hudud yang telah ditetapkan Allah dan Rasulnya. Untuk itulah diperlukan iman, mengingat keterbatasan pengetahuan manusia dan relativitas temuan ilmu-pengetahuan. Nuansa pemikiran seperti ini terlihat dalam jawaban Pak Natsir atas tulisan-tulisan Ir. Soekarno menjelang tahun 1940.

Tentu sumbangan besar Pak Natsir dalam pemikiran Islam ialah gagasannya tentang Islam sebagai Ideologi. Apa yang dimaksud Pak Natsir tentulah bukan wahyu Allah di dalam al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah adalah sebuah ideologi. Namun ajaran-ajaran Islam yang terkandung di dalam kedua sumber ajaran itu dapat ditransformasikan dan diformulasikan ke dalam sebuah rumusan untuk dijadikan sebagai landasan bagi sebuah gerakan politik. Rumusan itu bersifat eksplisit, tegas dan sekaligus menyebutkan cara-cara untuk mencapainya. Rumusan seperti itulah yang disebut sebagai ideologi. Pak Natsir sendiri adalah konseptor Tafsir Asas Masyumi, yang setelah disempurnakan oleh muktamar partai itu, disahkan sebagai “ideologi” Masyumi. Islam adalah asas Masyumi. Tafsir Asas memberikan tafsiran terhadap Islam yang dijadikan sebagai asas partai itu, untuk dijadikan sebagai pedoman berpikir, bertindak dan sekaligus landasan Masyumi dalam derap langkah dan perjuangannya. Tulisan Pak Natsir tentang Islam sebagai ideologi yang paling berkesan ialah pidato beliau di Majelis Konstituante, ketika Masyumi membela Islam untuk dijadikan sebagai dasar negara berhadapan dengan dasar Pancasila dan Sosial Ekonomi. Pak Natsir menegaskan bahwa menghadapi dasar negara itu, pilihan kita hanya dua: agama atau sekularisme. Sayang, tulisan tentang dasar negara itu belum dimuat di dalam Capita Selecta Jilid I ini.

Dalam pidato tentang dasar negara di Konstituante itu, Pak Natsir menggolongkan Pancasila sebagai sekularisme. Penggolongan itu didasarkan beliau atas uraian-uraian dari para pendukung dasar negara Pancasila itu sendiri. Kalau tafsiran terhadap Pancasila itu memang bercorak sekuler – seperti dikemukakan oleh para pendukungnya — dan tidak berhubungan dengan ajaran agama, maka Pak Natsir menolak Pancasila sebagai dasar negara. Namun sikap Pak Natsir mengenai Pancasila itu sendiri, tidaklah demikian. Beliau dapat menerima Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara, sepanjang Pancasila itu ditafsirkan dalam premis-premis Islam. Hal itu ditegaskan Pak Natsir dalam pidatonya di hadapan Pakistan’s Institute of World Affairs tahun 1952. Jadi, soal Pancasila adalah soal tafsir belaka. Indonesia, kata Pak Natsir, dapat disebut sebagai Negara Islam karena kenyataan bahwa bagian terbesar penduduknya beragama Islam. Meskipun Islam tidak dinyatakan secara tegas sebagai dasar negara sebagaimana halnya Pakistan, namun Pancasila, yakni lima asas yang dijadikan sebagai dasar negara Republik Indonesia adalah sesuatu yang sejalan dengan ajaran-ajaran Islam.

Tentang konsep sebuah negara, Pak Natsir menganut pandangan bahwa ajaran-ajaran Islam mengenai negara, hanyalah terbatas kepada asas-asasnya saja. Asas-asas itu dapat ditransformasikan ke dalam sebuah rumusan yang bersifat konsepsional tentang negara, sesuai dengan keadaan ruang dan waktu. Umat Islam yang hidup pada suatu tempat dan zaman tertentu dapat memikirkan rumusan sebuah negara yang paling sesuai dengan keadaan dan kebutuhan mereka. Untuk itu, menurut Pak Natsir, Islam memberikan kesempatan kepada umatnya untuk mengadopsi berbagai sistem yang berkembang di berbagai negara, untuk diintegrasikan ke dalam sistem yang mereka bangun dengan mengaju kepada asas-asas yang diajarkan Islam. Islam tidaklah seratus persen demokrasi, dan tidak pula seratus persen autokrasi. Islam adalah Islam, demikian kata Pak Natsir sebelum kita merdeka. Namun setelah kita merdeka, dan telah beberapa tahun berpengalaman memiliki negara, Pak Natsir sampai pada kesimpulan bahwa meskipun demokrasi itu mempunyai banyak kekurangan dan kesulitan dalam melaksanakannya, namun sampai dewasa ini umat manusia belum menemukan sistem lain yang lebih baik dari demokrasi. Namun Pak Natsir kembali menegaskan bahwa demokrasi yang harus dilaksanakan ialah “theistic democracy”, yakni demokrasi yang didasarkan kepada nilai-nilai ketuhanan.

Selain di bidang pemikiran politik Islam, Pak Natsir memberikan sumbangan pemikiran yang sangat penting untuk membangun kesadaran umat Islam dalam melaksanakan ajaran agama dan mempertahankan eksistensi dirinya. Di zaman Belanda, beliau sangat prihatin dengan ketimpangan kebijakan Pemerintah kolonial Belanda dalam mendukung kegiatan-kegiatan dakwah dan pendidikan Islam, dibandingkan dengan dukungannya kepada missi dan penyelenggaraan pendidikan Kristen di tanah air. Keprihatinan Pak Natsir terhadap kegiatan missi Kristen terus berlanjut sampai usia beliau menjelang senja. Perhatian beliau kepada soal dakwah di daerah-daerah terpencil dan daerah transmigrasi tak pernah padam. Namun beliau mempunyai perhatian yang besar pula dalam mendukung kegiatan-kegiatan dakwah di berbagai kampus di seluruh tanah air. Perhatian beliau kepada pendidikan, telah muncul sejak usia muda. Pak Natsir terlibat dalam mendirikan berbagai perguruan tinggi Islam di tanah air. Beliau melihat jauh ke depan. Nasib umat Islam akan menjadi lebih baik, jika pendidikan dibenahi. Pak Natsir juga mengirim banyak generasi muda untuk menuntut ilmu ke berbagai negara.

Bagi Pak Natsir hidup adalah perjuangan dan pengabdian tanpa akhir. Beliau berbuat sesuatu untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, baik berada di luar panggung kekuasaan maupun berada di luarnya. Karier Pak Natsir di panggung kekuasaan tidak berlangsung lama. Menjadi Menteri Penerangan di dalam Kabinet Sjahrir hanya beberapa bulan saja. Menjadi Perdana Menteri hanya sekitar enam bulan saja. Selebihnya menjadi anggota parlemen dan konstituante. Namun pengabdian beliau tak pernah padam, walau terkadang terlihat kontroversial seperti ketika beliau melibatkan diri ke dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Pak Natsir sangat prihatian melihat negara yang semakin bergerak ke arah kiri dan prihatin pula akan munculnya kediktatoran di bawah Presiden Soekarno. Keprihatinan itu makin bertambah ketika Presiden Soekarno membentuk Kabinet Darurat Ekstra Parlementer di bawah pimpinan Ir. Djuanda. Beliau melihat semua ini sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap konstitusi dan demokrasi. Sementara di daerah-daerah terus-menerus terjadi berbagai pergolakan yang berpotensi pecahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada awal Pebruari 1958, Pak Natsir memutuskan untuk bergabung dengan tokoh-tokoh di daerah yang menentang pemerintah pusat yang mereka yakini bersifat inkonstitusional itu. Dari pertemuan Sungai Dareh lahirlah ultimatum untuk membubarkan pemerintah Djuanda dan membentuk pemerintahan baru yang dipimpin Mohammad Hatta. Kalau lima kali dua puluh empat jam ultimatum tidak dipenuhi, maka mereka akan menempuh jalan sendiri dan tidak mengakui keberadaan dan keabsahan pemerintah pusat. Inilah awal lahirnya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Tengah, sebagai pemerintahan tandingan. Pak Natsir ingin agar persoalan ketidaksahan pemerintah pusat itu segera diakhiri, dan dengan begitu setiap saat mereka dengan sukarela akan mengakhiri keberadaan PRRI.

Namun konflik politik terus berlanjut dan konflik bersenjata tidak dapat dihindari lagi. TNI membom Lapangan Terbang Tabing di Padang dan mendaratkan pasukan di sana. Perang saudara tak terhindarkan lagi. Tetapi suatu hal yang harus dicatat dari peristiwa ini, Pak Natsir tetap menginginkan konflik ini adalah konflik internal bangsa kita sendiri. PRRI tidak boleh mengarah kepada separatisme. Sebagai penggagas “mosi integral” yang melebur negara-negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) ke dalam Republik Indonesia, Pak Natsir tetap menginginkan bangsa dan negara kita bersatu. “Ibarat rumah tangga, periuk belanga boleh beterbangan” kata Pak Natsir kepada saya. “Tetapi rumah kita jangan kita rubuhkan”.Jadi, PRRI haruslah dilihat sebagai konflik internal antar sesama bangsa kita sendiri, antara mereka yang menganggap pemerintah pusat sah dan tidak sah, dan konflik antara daerah dengan pusat yang memerlukan penyelesaian yang bijaksana. Karena itu, sungguh keliru menganggap PRRI sebagai gerakan separatis.

Meskipun Pak Natsir dan seluruh mereka yang terlibat dalam PRRI memenuhi panggilan amnesti umum yang disampaikan Presiden Soekarno, namun beliau tetap saja ditahan oleh Pemerintah Soekarno tanpa tuduhan yang jelas. Penahanan terhadap Pak Natsir itu tidak pernah dilanjutkan dengan proses hukum, Ini terang-terangan merupakan suatu bentuk pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dilakukan Pemerintah Presiden Soekarno. Pak Natsir baru dibebaskan setelah Presiden Soekarno jatuh dari panggung kekuasaan. Ketika memasuki alam bebas, Pak Natsir terus melanjutkan pengabdiannya kepada bangsa dan negara. Masyumi telah dipaksa membubarkan diri oleh Presiden Ketika pada akhir tahun 1960, ketika Pak Natsir masih berada di hutan-hutan. Usaha merehabilitasi Masyumi mengalami kegagalan karena sikap keras pemerintahan militer di bawah Jenderal Soeharto. Ketika pintu untuk kembali terlibat dalam pergerakan politik menjadi tertutup bagi beliau, Pak Natsir mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dan mulai aktif dalam Muktamar al-Alam al-Islami dan Rabithah al-Alam al-Islami. Dengan begitu, beliau diakui bukan saja tokoh Islam di tanah air, tetapi juga tokoh dunia Islam.

Selama pemerintahan Orde Baru, Pak Natsir tetap dianggap sebagai pemimpin yang disegani dan sekaligus juga “dikhawatirkan” pengaruhnya oleh Pemerintah Orde Baru. Namun berbagai keterbatasan yang beliau hadapi – apalagi setelah beliau ikut menandatangani Petisi 50 beliau dilarang ke luar negeri – kegiatan dakwah Pak Natsir tak pernah berhenti. Beliau juga menulis dan memberikan masukan sekaligus kritik terhadap berbagai kebijakan Pemerintah. Namun, gaya Pak Natsir menulis dan berpidato tetaplah halus, tenang dan tidak berapi-api sebagaimana kebanyakan pemimpin yang menghadapi banyak tekanan dan hambatan. Namun dibalik ketenangan dan kehalusaannya itu, terdapat kekuatan semangat dan keteguhan pendirian. Mengenai hal ini, saya sungguh banyak belajar dari Pak Natsir. Keteguhan hati seorang pemimpin bukanlah tercermin dari kerasnya kata-kata yang dia ucapkan, melainkan dari sikap dan prilakunya yang tidak berubah ketika dia menghadapi tekanan dan tantangan, bahkan bujukan dan rayuan.

Sepanjang saya mengenal Pak Natsir dan bergaul erat dengan beliau, kesan saya, Pak Natsir adalah pribadi yang amat jujur dan bersahaja. Beliau sering mengenakan baju putih yang ada bekas tinta di kantongnya, atau mengenakan baju batik berwarna biru tua. Peci dan sehelai syal selalu dipakainya ke mana saja beliau pergi. Kalau di rumah beliau memakai kain sarung dan baju “potong Cina”, sejenis baju khas orang Melayu. Dengan saya, Pak Natsir seringkali bersenda gurau dan berbicara hal yang lucu-lucu, yang mungkin jarang diucapkannya kepada orang lain. Pribadi beliau sangat menarik dan nampak mudah sekali merasa kasihan dengan orang lain. Ketika saya mula-mula bergaul dengan Pak Natsir, saya masih mahasiswa dan tinggal di Asrama UI di Rawamangun. Setiap Pak Natsir menyuruh saya mengerjakan sesuatu, saya kerjakan dengan sungguh-sungguh. Kalau apa yang dikerjakan sudah selesai saya mengantarkannya ke rumah beliau di Jalan Cokroaminoto No 46 Menteng. Saya ngobrol-ngobrol ke sana ke mari sebentar dengan beliau, dan setelah itu mohon pamit.

Ketika saya sudah di pintu pagar rumah beliau, tiba-tiba Pak Natsir memanggil saya dan mengatakan “Saudara Yusril. Tunggu sebentar”. Entah mengapa beliau selalu memanggil saya dengan sebutan “saudara” itu. Saya tunggu sebentar dan Pak Natsir keluar dari dalam rumah lalu memasukkan tangannya ke kantong baju saya. Sambil tertawa beliau mengatakan “Ini ongkos becaknya”. Sayapun tertawa, saya katakan “Pak, sekarang tidak ada becak lagi di Jakarta”. Pak Natsirpun tertawa dan mengatakan “Saudara kan mahasiswa dan tinggal di asrama. Ini untuk naik bis dan untuk ongkos makan”.Saya sungguh terharu dengan sikap Pak Natsir itu. Kalau saya teringat dengan beliau, hati saya merasa sedih. Saya merasa seperti kehilangan orang tua saya sendiri.

Pak Natsir pernah pula mencari saya ke Asrama UI Daksinapati Rawamangun, Jakarta. Saya terkejut bukan kepalang karena teman-teman seasrama memberitahu saya “ada Pak Natsir datang ke asrama mencari anda”, demikian kata mereka. Saya setengah berlari menghampiri Pak Natsir yang menunggu saya di lobby arsama itu. Dengan perasaan malu, saya katakan kepada beliau, biarlah saya yang datang ke rumah Pak Natsir, kalau ada tugas-tugas yang beliau berikan. Kalau beliau datang ke asrama mencari saya, saya merasa saya seperti orang penting, padahal saya hanya mahasiswa yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kebesaran beliau. Mendengar apa yang saya katakan itu, sambil tertawa Pak Natsir berkata “Ya, kalau Saudara yang perlu dengan saya, Saudara yang datang ke rumah saya. Tapi kalau saya yang perlu dengan Saudara, saya yang datang ke tempat Saudara”. Beliau mengucapkan kata-kata itu tanpa beban. Saya sungguh tertegun dengan ucapan beliau itu. Saya pikir ketika itu, alangkah demokratis dan rendah hati beliau yang bernama Mohammad Natsir ini, sampai saya sendiri tak dapat menutupi rasa malu kepada diri sendiri di hati saya.

Demikianlah sekelumit kata pengantar saya atas diterbitkannya kembali Capita Selecta Jilid I buah tangan Pak Natsir ini. Saya sungguh merasa mendapat kehormatan yang amat besar, dimintakan untuk menulis kata pengantar ini. Semoga kata pengantar saya ini berguna bagi siapa saja yang membaca buku Capita Selecta Jilid I ini. Akhirnya, kepada Allah SWT jua saya mengambalikan segala persoalan.

Wallahu ‘alam bissawwab

Rabu, 16 Juli 2008

Menyusuri Jejak Masa Kecil Mohammad Natsir, Bapak Pergerakan Islam Modern

NATSIR menatap selembar foto hitam-putih itu lekat-lekat dan lama, selembar foto yang menggambarkan sebuah rumah beratap limas dengan halaman yang luas, dengan sungai yang jernih mengalir di sampingnya dan jembatan kayu jati yang berukir di atasnya.

Seolah ingin mengenang masa kecil dalam foto itu nun jauh di Lembah Gumanti yang permai di Alahan Panjang, Kabupaten Solok, dari atas tempat tidurnya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo di Jakarta, Natsir lama menatap foto itu.

Ini diceritakan Hamdi El Gumanti, 60 tahun, salah seorang pengurus Dewan Dakwah Islamiyah di Jakarta semasa itu. Hamdi juga cucu Sutan Rajo Ameh di Alahan Panjang, pemilik rumah tempat Natsir dilahirkan.

"Seminggu sebelum wafat Pak Natsir memaggil saya dan meminta saya tolong carikan foto rumah masa kecilnya di Alahan Panjang, saya kaget, sebelumnya Pak Natsir tidak pernah seperti itu," kata Hamdi.

Hamdi bergegas berangkat dari Jakarta ke Alahan Panjang dan membongkar album yang ada di rumah Jembatan Berukuir. Foto yang diinginkan Natsir ketemu dan ia segera terbang ke Jakarta memberikan foto itu pada Natsir. Tiga hari kemudian, 6 Februari 1993, Natsir meninggal.

Di masa tuanya, Natsir memang beberapa kali pernah ingin bernostalgia masa kecilnya di Sumatera Barat, tetapi tidak pernah kesampaian.

Menurut Hamdi, di Jakarta pada tahun 70-an, Natsir pernah dekat dengan pamannya Hamdi yang bernama Syahrul Kamal. Mereka bersepakat akan akan pulang kampung ke Alahan Panjang, tapi batal karena Syahrul Kamal keburu meninggal.

Pada 1991, saat berkunjung ke Padang dan Bukittinggi Natsir juga sempat ingin bernostalgia mengunjungi tempat-tempat masa kecilnya seperti di Alahan Panjang, Solok, dan Maninjau, namun itu juga batal. Hal ini diceritakan Aisyah Rahim Natsir, putri Natsir yang kelima.

"Saat itu saking bersemangatnya Bapak meresmikan Islamic Center di Padang, naik tangga sampai ke lantai 4, lalu jantungan, akhirnya nggak jadi, padahal Bapak sepertinya ingin bernostalgia, ia mengatakan pada kakak saya ingin ke Alahan Panjang, Solok dan ke Danau Maninjau, ke Maninjau saja tidak sempat, Bbapak hanya sempat lewat di Solok, dan Bapak menunjuk di dekat jembatan Solok itu dulu sekolah," kata Aisyah.

Natsir dilahirkan di Jembatan Berukir, Alahan Panjang. Daerah yang dikenal dengan Lembah Gumanti itu adalah dataran tinggi yang subur dengan kebun-kebun kopi dan kebun sayur, serta sawah yang luas. Berhawa dingin dan kerap hujan karena berada di Gunung Talang.

Di Alahan Panjang ini pemandangan alam amat indah, selain perkebunan yang subur, juga dilingkupi dua danau yang dijuluki Danau Kembar yaitu Danau Diatas dan Danau Dibawah.

Tak Banyak yang Tahu
M.Natsir kecil dulunya lahir di sebuah rumah yang besar yang terletak di dekat Jembatan Berukir, Alahan Panjang 17 Juli 1908. Saat menetap di Alahan Panjang karena menjadi pegawai Belanda di pemerintahan setingkat kecamatan di Alahan Panjang, Ayah M. Natsir, Mohamad Idris Sutan Saripado tinggal di rumah seorang saudagar kopi kaya di Alahan Panjang, Sutan Rajo Ameh.

"Mungkin kakek saya Sutan Rajo Ameh bersahabat dengan Mohamad Idris Sutan Saripad, Bapaknya Pak Natsir sehingga mereka diajak tinggal di rumah itu," kata Hamdi, cucu Sutan Rajo Ameh yang juga lahir di rumah itu.

Di rumah besar itu, Keluarga Sutan Rajo Ameh bersama istrinya Siti Zahara dan anak-anaknya tinggal di bagian kiri rumah. Sementara ayah Mohammad Idrus Saripado dan Istrinya Khadijah bersama anaknya menempati rumah bagian kanan.

Menurut Hamdi, rumah itu berhalaman luas, di sisi kirinya mengalir Batang Hiliran Gumanti (batang artnya sungai) yang berair jernih. Airnya berasal dari Danau Diatas dan mengalir terus ke hilir. Di atas sungai itu ada jembatan dari kayu jati yang penuh ukiran yang dibangun Belanda.

"Ketika itu tempat paling indah di Alahan Panjang mungkin di rumah kakek saya, di sampingnya ada sungai dengan jembatan yang berukir dan di depannya ada lapangan yang hijau ditumbuhi rumput dan dipagari pohon pinang," kata Hamdi.

Di belakang rumah kelahiran Natsir saat ada kolam ikan dan taman kecil yang tetata apik, karena Sutan Rajo Ameh amat suka menata taman dan duduk di kursi malas menghadap ke kolam ikan.

Di sebelah kolam ikan ada sungai Batang Hiliran Gumanti yang sebagian kecil airnya dialirkan ke kincir air untuk menumbuk padi. Itu adalah satu-satunya kincir air penumbuk padi yang ada di Alahan Panjang semasa itu. Sayangnya rumah kelahiran Natsir terbakar saat agresi Belanda pada 1947 tinggal di Indonesia. Rumah besar itu terbakar kena bom.

"Kata almarhum nenek saya Siti Zahara, waktu kecil ini Pak Natsir orangnya lugu, jujur dan punya sifat yang sejak kecil sudah kelihatan akan jadi pemimpin, selain itu Natsir juga suka dengan segala hal yang rapi, merapikan kamar tidurnya, dan suka membantu mencuci piring," kata Hamdi.

Seperti umumnya anak lelaki Minang pada masa itu, Natsir kecil juga ke surau, belajar mengaji. urau itu tidak jauh dari rumahnya, di depan lapangan. Namanya Surau Dagang yang didirikan oleh pedagang dari nagari-nagari di sekitar Alahan Panjang. Pedagang ini berjualan tiap pekan di Pasar Perserikatan Alahan Panjang tak jauh dari surau itu.
Menurut Hamdi, surau itu dulunya dari kayu, lantainya bambu dan atapnya dari daun rumbia, kini sudah berubah menjadi Masjid Al Wusta.

Dijaga Penjaga Buta
Tidak banyak yang tahu tentang masa kecil Natsir di Alahan Panjang, karena orang-orang segenerasi dengan Natsir apalagi generasi di atas Natsir sudah tidak ada lagi. Apalagi Natsir di Alahan Panjang hanya pada masa sebelum masuk Sekolah Rakyat (SR) di Kota Solok.

Kini Alahan Panjang tidak banyak berubah. Lembah Gumanti berhawa dingin. Ladang sayuran dan kebun kopi masih terhampar luas, karena Alahan Panjnag termasuk sentra pemasok sayuran untuk Sumatera Barat dan Riau.

Namun tempat kelahiran Natsir agak berubah. Rumah kelahiran Natsir yang terbakar telah dibangun lagi pada 1957. Walaupun cukup besar tapi kalah luas dibandingkan rumah yang pernah ditempati Natsir.

Di samping kiri rumah masih mengalir Batang Hiliran Gumanti dengan airnya yang masih jernih, di atasnya ada jembatan namun tidak lagi jembatan kayu jati yang berukir, telah diganti jembatan beton, walaupun nama jalan di depan rumah itu tetap Jembatan Berukir.

Di dalam rumah masih ada satu set kursi rotan milik Sutan Rajo Ameh, semasa ayah Natsir tinggal di rumah itu, juga ada kursi malas dari kayu jati, serta lemari yang penuh peralatan dari kuningan, peninggalan zaman Natsir saat di rumah itu.

Kolam ikan di belakang rumah sudah tidak ada lagi, kincir air dibelakang rumah dekat rumpun bambu masih ada, namun tidak lagi digunakan. Di seberang jembatan berukir tidak ada lagi lapangan hijau yang luas yang dinaungi barisan pohon pinang. Lapangan itu telah berubah menjadi terminal bus dan angkutan umum, letaknya bersebelahan dengan pasar Alahan Panjang.

Rumah itu dijaga seorang penjaga buta, Zulfikar. Ia adalah kerabat si pemilik rumah Hamdi El Gumanti yang mewarisi rumah itu dari ibunya. Hamdi sendiri tinggal di Jakarta.

"Saya dititipi rumah ini karena ini rumah kelahiran Pak Natsir, karena yang punya merantau semua ke Jakarta, tetapi saya tidak banyak tahu tentang beliau," kata Zulfikar.

Ia sehari-hari bertugas memelihara rumah, menyapu, membersihkan halaman.

"Sudah banyak yang datang ke rumah ini, karena mereka ingin melihat rumahnya pak Natsir, pernah bupati, gubernur, beberapa menteri dan pernah pula orang dari Arab yang datang dan numpang sholat di rumah ini karena tahu tempat ini rumah kelahiran Pak Natsir," kata Zul.

Hamdi El Gumanti sang pemilik rumah mengatakan, tidak banyak lagi orang yang tahu tentang masa kecil Natsir di Alahan Panjang.

"Yang tahu itu seangkatan nenek saya,dan itu tentu sudah meninggal semua, saya saja tahu cerita Natsir pernah di sana dari nenek , karena nenek saya umurnya sampai 103 tahun jadi saat saya SMA dan nenek tinggal di Jakarta bersama kami, di situlah beliau sering bercerita," kata Hamdi El Gumanti.

Masa kecil Natsir dihabiskan di berbagai tempat mengikuti ayahnya yang bekerja sebagai pegawai Kolonial Belanda. Setelah dari Alahan Panjang, Natsir sempat tinggal di Maninjau dan bersekolah hingga kelas dua. Kemudian pindah ke Padang, untuk bersekolah di HIS Adabiyah.

Tak lama berselang, dia pindah ke Solok. Dan ketika sang ayah pindah ke Makassar, Natsir kembali ke Padang tinggal bersama kakaknya. Di sana dia menamatkan pendidikan dasarnya sebelum akhirnya melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onder­wijs (MULO) di Bandung.

Orang Maninjau
Di Danau Maninjua, jejak masa kecil Natsir juga kabur, orang lebih banyak mengenalnya sebagai sosok Natsir yang ikut memimpin perjuangan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia).

Kedua orang tua Muhammad Natsir berasal dari Maninjau, Kabupaten Agam. Namun tidak diketahui apakah Natsir kecil pernah ke Maninjau. Turunan pihak ibu Natsir memiliki ‘rumah gadang' di Maninjau. Letaknya di Kelok Satu, sekitar 200 meter dari tepian Danau Maninjau. Dari tempat itu, Danau Maninjau terlihat jelas.

Di jalan Kelok Satu itu beberapa rumah tua dari kayu masih berdiri salah satunya rumah Roslinar, 64 tahun, kemenakan jauh Natsir dari keturunan kakak dari ibu Natsir.

Rumah yang ditempati Roslinar bersebelahan dengan rumah yang disebut-sebut rumah Natsir.

Sebenarnya rumah Natsir itu adalah ‘rumah gadang' milik suku dari pihak perempuan keluarga ibu Natsir. Dulunya rumah itu rumah kayu, namun pada 1990 dibangun menjadi rumah beton dengan atap seng model bagonjong. Di halaman rumah ditutupi paving blok dan dipagar besi. Rumah bercat kuning itu disewakan untuk kost siswa.

"Saya tidak tahu persis apakah saat kecil Pak Natsir pernah singgah ke rumah ini, karena ayah dan ibu Pak Natsir kan memang tidak pernah tinggal di Maninjau, yang jelas itu adalah rumah keluarga ibunya Pak Natsir," kata Roslinar.

Di dalam rumah itu tidak ada selembar pun foto Nastir. Menurut Roslinar, karena pada masa PRRI semua foto Natsir dan keluarganya disembunyikan dalam plastik sehingga rusak.

"Saat PRRI dulu banyak tentara yang setiap hari ke rumah ini dengan senjata terkokang menanyakan Pak Natsir, jadi seluruh foto-fotonya dan keluarganya kami simpan jauh-jauh di dalam plastik disembunyikan, akhirnya rusak," kata Roslinar.

Roslinar mengatakan Natsir pernah dua kali berkunjung ke rumah itu. Pertama semasa PRRI dan kedua pada 1980-an.

"Saat masa PRRI saya tidak terlalu ingat, karena masih kanak-kanak, tetapi saat 80-an lalu saya yang sibuk memasak dan jadi tuan rumah karena Pak Natsir datang dan berkumpul di rumah itu bersama sanak dan kemenakannya," kata Roslinar.

Ia ingat, Natsir banyak bercerita ringan dengan sanak keluarganya, juga nasehat agar bila ingin maju harus mengutamakan pendidikan.

"Pak Natsir tidak menginap, beliau pulang ke Padang, saat pulang saya ditinggali uang Rp150 ribu, katanya untuk belanja di rumah, itulah terakhir kalinya Pak Natsir berkunjung ke rumah ini," kata Roslinar.

Roslinar mengatakan, tidak tahu banyak tentang masa kecil Natsir. Ia adalah satu-satunya keluarga dari pihak ibu Natsir yang tinggal di Maninjau.
Sekitar 500 meter dari rumah Natsir kini berdiri sebuah perpustakaan yang dinamakan Perpustakaan Mohamad Natsir.

Perpustakaan ini didirikan 2005 lalu oleh Ikatan Perantau Maninjau di Jabodetabek.

Di dalam pustaka dengan luas 180 meter persegi itu cukup banyak koleksi buku. Di salah satu lemari terdapat 20-an buku karangam Natsir dan buku tentang Natsir yang disumbang keluarga M. Natsir untuk perpustakaan.

Selain itu juga ada buku-buku fiksi, sastra, buku anak-anak, dan majalah.
"Perpustakaan ini untuk semua umur, setiap hari paling sedikit 10 orang yang membaca di sini," kata Santi, salah seorang penjaga pustaka.

Ia mengatakan, perpustakaan ini memakai nama M. Natsir karena untuk mengenang tokoh asal Maninjau itu.

"Ini kan daerah asalnya Pak Natsir, walaupun beliau tidak lahir di sini, tetapi beliau orang sini," kata Santi.

Ia mengatakan, beberapa perantau asal Inggris tahun lalu pernah mengirimkan sumbangan buku-buku anak-anak satu kardus besar langsung dari Inggris. Selain itu mereka juga menyumbang satu perangkat komputer untuk perpustakaan itu.**

Sumber :
Mozaik Minang, "Jejak Masa Kecil M Natsir", http://www.padangkini.com/mozaik/single.php?id=3807

Minggu, 06 Juli 2008

E-BOOK INSPIRASI : Jalan Istiqomah Sang Legenda BUYA HAMKA


KLIK DOWNLOAD untuk mengunduh
Ebook "Jalan Istiqomah Sang Legenda" (715,91 KB)


BUYA HAMKA adalah potret ulama kharismatik, politisi sejati dan pujangga terkemuka yang memilih berkiprah dalam perjuangan pembentukan karakter ummat dan bangsa.
Rata Penuh
Buya Hamka bukan sosok ulama istana, beliau adalah ulama pejuang yang berhasil menjadi peletak dasar kebangkitan komunitas islam modern atau kaum gedongan di Ibukota lewat icon al azhar yang pada akhirnya berhasil pula melebarkan sayap sebagai lembaga pendidikan modernis dan agamis.

Sebagai politisi buya hamka patut menjadi teladan, Pandangan dan keyakinannya senantiasa lurus - lurus saja memperjuangkan aspirasi ummat, beliau bersama tokoh-tokoh Masyumi lainnya adalah para pejuang Islam yang gigih dalam mengajukan konsep-konsep Islam, secara ilmiah dan argumentatif. Tetapi, juga konsisten dalam memegang teguh aturan main secara konstitusional. Ketika perjuangan melalui jalur partai politik terganjal, buya hamka dan para tokoh Masyumi memilih hijrah dengan menempuh jalur dakwah di masyarakat, masjid, pesantren, dan perguruan tinggi. Karena sesungguhnya dakwah adalah laksana air yang mengalir, tidak boleh berhenti, dan tidak bisa dibendung.

Sikap Istiqomah menjadi garda terdepan walau harus menghadapi tangan - tangan besi kekuasaan yang terbukti berhasil menjebloskannya ke penjara.

Penjara badaniah tak sekalipun kuasa memenjarakan kebesaran jiwa seorang hamka yang tetap merdeka, sejarah pula yang akhirnya mencatat bahwa dari dalam penjara lahir karya terbesar buya hamka yang membuatnya dikenal hingga ke mancanegara, Tafsir Al Azhar adalah satu - satunya Tafsir Al Qur’an yang ditulis oleh ulama melayu dengan gaya bahasa yang khas dan mudah dicerna.

Bukan Sekedar itu karya sastra buah penanya tak kalah hebatnya, beberapa novelnya seperti Dibawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wickj , Merantau ke Deli dan banyak karya - karya beliau ternyata tidak hanya dipublikasikan oleh penerbit nasional sekelas Balai Pustaka dan Pustaka Bulan Bintang melainkan juga diterbitkan di beberapa negara asia tenggara bahkan di release juga diberbagai situs, blog dan media informasi lainnya.

Pendek kata karya besar buya hamka saat ini telah mendunia meski ironisnya di negeri sendiri sudah jarang generasi muda yang mengenal sosoknya yang fenomenal.

Sikap Istiqomah yang dicontohkan buya hamka bisa menjadi inspirasi bagi kita, beliau bukan alumni perguruan tinggi manapun namun banyak sekali kalangan yang menuliskan di depan namanya gelar atau title Prof Dr, siapa yang bakal menyangka jika seorang yang pada awalnya belajar secara otodidak belakangan justru banyak di berikan gelar doctor honoris causa oleh banyak universitas terkemuka.

Karya - karya buya hamka terutama di bidang sastra memang telah melambungkan nama bangsa, mengharumkan nusantara hingga ke manca negara.

Simaklah petikan puisi yang dituliskannya secara khusus untuk Pak Natsir, Puisi yang ditulis Buya Hamka pada tanggal 13 November 1957 setelah mendengar uraian Pidato Natsir yang dengan tegas menawarkan kepada Sidang Konstituante agar menjadikan Islam sebagai dasar negara RI.

Kepada Saudaraku M. Natsir

Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar
Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada nusa
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapiSuaramu wahai Natsir, suara kaum-mu
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridha IlahiDan aku pun masukkan
Dalam daftarmu …….!

Jalan Istiqomah yang dilalui dalam setiap jejak pergerakan dan perjuangan buya hamka untuk memajukan kaumnya merupakan rintisan yang seharusnya bisa diteruskan dari generasi ke genarasi. Benarkah ?!?!

Sumber :
Jalan Istiqomah Sang Legenda Buya Hamka, Review & ebook badrut tamam gaffas, http://badruttamamgaffas.multiply.com/reviews/item/2

Iklan dari, oleh dan untuk Blogger