Jumat, 27 November 2009

Mengenang Tokoh Diplomasi RI Mr. Mohammad Roem (Bagian II)

Dalam catatan sejarah nasional, nama tokoh ini sangat mencuat di akhir tahun 1940-an. Waktu itu Mr Mohammad Roem diamanahi oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai ketua tim juru runding RI dalam perundingan dengan Belanda. Tim juru runding dari Belanda diketuai Van Royen. Akhirnya perundingan yang berlangsung pada tanggal 14 April 1949 itu diberi nama “Perundingan Roem-Royen”.

Mohammad Roem lahir di Desa Klewongan, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah pada tanggal 16 Mei 1908. Ia lahir sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Djulkarnaen Jayasasmito, ibunya bernama Siti Tarbiyah.

Pendidikannya dimulai di Volkschool (Sekolah Rakyat, sekolah dasar di masa Belanda) di desa kelahirannya. Ia kemudian melanjutkan ke HIS (Holland Inlandsche School) Temanggung sampai kelas III, dan diteruskan ke HIS Pekalongan. Dan tamat dari HIS Pekalongan pada tahun 1924.

Semangat perjuangannya mulai bersemi sejak di HIS. Kisahnya bermula tatkala seorang gurunya yang berkebangsaan Belanda menghardik Roem, “Zeg, Inlander!”. Dasar pribumi, begitu kira-kira artinya.

Roem sangat tersinggung dihardik demikian. Sebagai orang pribumi ia merasa dirinya dihina dan dilecehkan. Ia kemudian teringat sejumlah papan larangan di gedung-gedung bioskop, di rumah makan, dan lain-lain tempat yang mengharamkan orang pribumi masuk.

Penghinaan itu belum selesai. Diwaktu istirahat ada seorang murid Belanda yang mendorong-dorong tubuh Roem sambil mengolok-olok, “Inlander! Inlander!” Akibat dorongan itu Roem jatuh terjerembab. Tapi ia segera bangkit lalu dikejarnya anak Belanda itu. Setelah tertangkap ditinjunya perut si anak bule itu hingga muntah-muntah.

Peristiwa itu sangat membekas pada diri Roem. Ia kemudian bertekad untuk memerdekakan bangsanya agar tak lagi dihina bangsa asing. Untuk mewujudkan niatnya itu sambil bersekolah Roem kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).

Mula-mula Roem bersemangat di kelompok pemuda itu. Namun belakangan ia tidak betah berada di lingkungan Jong Java, karena aspirasi Islam tidak tertampung di situ, ia bersama Syamsuridjal dan beberapa tokoh lainnya memilih keluar, lalu pada tahun 1925 mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB) atau Himpunan Pemuda Islam.

Dalam JIB ini Roem dipercaya menjadi salah seorang anggota pimpinan pusatnya. Kemudian pada tahun 1930 ia menjadi ketua Panitia Kongres JIB di Jakarta. Ketika JIB membentuk kepanduan (Natipij) ia menjadi ketua umumnya.

Pada tahun 1930 Roem tamat dari Algemene Middlebare School (AMS) atau sekolah menengah atas. Ia kemudian melanjutkan sekolah ke Rechts Hoge School (RHS) atau Sekolah Tinggi Hukum. Dari perguruan tinggi tersebut ia berhasil meraih gelar Mester in de Rechten (Mr) atau Sarjana Hukum pada tahun 1939. Skripsinya tentang Hukum Adat Minangkabau.

Sambil kuliah dan mengurus JIB, Roem aktif di Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Pada tahun 1932 ia menjadi ketua Panitia Kongres PSII di Jakarta. Ketika terjadi kemelut di PSII, ia bersama-sama Haji Agus Salim keluar dari partai tersebut dan mendirikan PSII-Penyadar. Dalam partai baru tersebut ia menjadi Ketua Komite Centraal Executif (Lajnah Tanfidziyah).

Kemelut itu terjadi karena PSII dalam pandangan Roem lebih menekankan pada aspek politik sementara tujuan dasar SI, yaitu memajukan perekonomian bumiputera, tidak diperhatikan lagi. Syarikat Islam juga tidak memperhatikan lagi masalah pendidikan agama Islam atau pengkaderan.

Untuk mengamalkan ilmu hukumnya, Roem membuka kantor pengacara (advokat) di Jakarta. Sebagian di antara organisasi yang mempercayakan jasa kepengacaraannya adalah Rumah Piatu Muslim di Jakarta dan Perhimpunan Dagang Indonesia (Perdi) di Purwokerto.

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Roem dipercaya sebagai Ketua Muda “Barisan Hizbullah” di Jakarta. Barisan Hizbullah adalah organisasi semi-militer di bawah naungan Masyumi.

Dalam Muktamar Masyumi tahun 1947 diputuskan bahwa ummat Islam harus ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Negara Islam Indonesia tidak akan tegak kalau Indonesia belum merdeka, itulah alasannya. Oleh karena itulah para pimpinan dan anggota Masyumi berjuang mati-matian mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Apalagi setelah ada fatwa wajib jihad kepada seluruh umat Islam dari Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama yang juga salah seorang pendiri Masyumi.

Mohammad Roem-pun berjihad mati-matian mempertahankan kemerdekaan Indonesia, utamanya melalui jalur perundingan/diplomasi. Sikapnya untuk selalu menghargai pendapat orang lain meski berbeda dengan pendapatnya, menunjang keberhasilannya sebagai diplomat.

Oleh Pemerintahan Soekarno ia mendapat amanah menjadi angota tim juru runding RI dalam perundingan Renville 17 Januari 1948. Kemudian, seperti telah disinggung di atas, Roem diangkat sebagai ketua juru runding RI dalam perundingan Roem-Royen pada tanggal 14 April 1949.

Perundingan tersebut dinilai berhasil karena telah mendorong segera terselenggaranya Konferensi Meja Bundar dan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda tahun 1949.

Di masa berikutnya Roem pernah menjabat sebagai menteri dalam negeri dalam kabinet Natsir (1950-1953) serta pernah juga menjadi wakil perdana menteri dalam kabinet Ali Sastroamijoyo (1956-1957).

Pada masa Demokrasi Terpimpin, terjadi konflik antara Masyumi dengan Presiden Soekarno. Apalagi kemudian beberapa pemimpin Partai Masyumi, seperti Natsir bergabung dalam pemberontak PRRI.

Sejak Partai Masyumi membubarkan diri, karena dipaksa Soekarno, pada tanggal 17 Agustus 1960, Roem tidak lagi memegang jabatan di pemerintahan. Ia kemudian memusatkan perhatian pada penulisan buku dan penelitian sejarah perpolitikan di Indonesia serta bidang ilmiah lainnya.

Kegiatan ini tidak berjalan lancar, karena pada tanggal 16 Januari 1962, ia bersama-sama dengan beberapa tokoh Masyumi dan PSI ditahan pemerintah tanpa pengadilan. Mereka dituduh oleh Pemerintahan Presiden Soekarno terlibat peristiwa Cendrawasih, yakni peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di Makassar.

Roem dan kawan-kawan bisa keluar dari tahanan pada tahun 1966 setelah pemerintahan Soekarno goyang usai pemberontakan PKI tahun 1965. Selepas dari penjara kegiatan menulis buku dan penelitian diteruskan kembali. Salah satu kesibukannya antara lain menjadi Wakil Ketua Dewan Kurator Sekolah Tinggi Kedokteran Islam Jakarta pada tahun 1971.

Pada tahun 1969 Roem sempat hampir kembali ke kancah politik setelah terpilih sebagai ketua Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Ini adalah partai ‘jelmaan’ Masyumi yang didirikan oleh para mantan kader Masyumi.

Sayangnya Soeharto, presiden waktu itu, tidak menyetujui. Soeharto khawatir, jika dipimpin Roem, Parmusi bisa menjadi partai besar seperti Masyumi dulu, hingga menyaingi Golkar. Atas desakan pemerintah, terpaksa Roem batal jadi Ketua Parmusi, digantikan oleh Djarnawi Hadikusumo.

Sejak itu Roem betul-betul undur diri dari dunia politik praktis. Kemudian bersama-sama M Natsir dan kawan-kawan mantan kader Masyumi lainnya mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di tahun 1970-an. Di tempat inilah kakek dari Adi Sasono ini berkhidmat bersama para warga Bulan Bintang.

Sejak itu Roem aktif dalam berbagai fora Islam internasional, antara lain menjadi anggota Dewan Eksekutif Muktamar Alam Islami (1975), Member of Board Asian Conference of Religion for Peace di Singapura (1977) serta menjadi anggota Konferensi Menteri-Menteri Luar Negeri Islam di Tripoli (1977).

Meski begitu perhatiannya pada perkembangan Islam di tanah air tidak juga berkurang. Suat ketika Amien Rais dalam wawancaranya dengan majalah Panji Masyarakat (no 379/1982) menyatakan tidak ada negara Islam dalam Al-Quran dan As-Sunnah, “Oleh karena itu tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam,” kata Amien Rais.

Atas pandangan Amien itu kemudian Roem mengirimkan tanggapan ke majalah yang sama. Roem membenarkan, bahwa memang tidak ada negara Islam dalam nama, namun secara substansial ada. “…Pada akhir hayat Nabi, pada saat Surat Al-Maidah ayat 3 diwahyukan, maka sudah tumbuh sebuah masyarakat yang dibangun oleh dan di bawah kepemimpinan Nabi sendiri, yang tidak diberi nama khusu oleh Nabi, akan tetapi sudah mempunyai ciri-ciri sebagai negara, sedang hukumnya oleh Tuhan sudah dinamakan sempurna… Saya rasa selama tidak lebih dari tiga bulan itu di dunia pernah ada ‘Negara Islam’ atau Islamic State, tidak dalam nama, melainkan dalam substance, dalam hakikatnya.”

Sesudah itu Nurcholish Madjid yang sedang berada di Chicago menyuratinya, sehingga berlangsung korespondensi antara mereka berdua selama beberapa bulan. Setelah korespondensi berakhir, Mohammad Roem dipanggil ke hadhirat Allah pada tanggal 24 September 1983.

Pada tahun 1997 kumpulan korespondensi itu plus wawancara Amien Rais dengan majalah Panji Masyarakat serta tanggapan Roem dibukukan dan diterbitkan oleh Adi Sasono, lalu diberi judul “Tidak Ada Negara Islam; Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohammad Roem”.

Judul buku itu jelas menyesatkan, seolah-olah Roem menafikan keberadaan negara Islam. Padahal sesungguhnya, sebagaimana kutipan di atas, Roem mengakui pernah ada negara Islam, meski tidak dinamakan Negara Islam, yakni pemerintahan yang dipimpin oleh Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. (Sumber Hidayatulah Edisi 12/XV 2003 – Sejarah )

Minggu, 15 November 2009

Mengenang Tokoh Diplomasi RI Mr. Mohammad Roem (Bagian I)

Mohammad Roem menjabat Menteri Luar Negeri Indonesia dalam kabinet Natsir. Ia tidak pernah menyimpan dendam kepada Soekarno yang telah memenjarakannya di Madiun. Ia memang menyebut Soekarno oligarkis dan feodal.

Hal itu terungkap dalam pembukaan Annual Lecture bertajuk ”Mengenang Tokoh Diplomasi Mohammad Roem”, Selasa (16/6) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan, dalam pertemuannya dengan Mohammad Roem, Hassan sempat menanyakan apakah Roem sakit hati saat dipenjarakan Soekarno. Jawaban Roem kala itu, dalam politik, menang atau kalah merupakan hal biasa. Perbedaan tajam tidak pernah menghalangi hubungan baik antarpribadi.

Sebagai diplomat, kala itu, Mohammad Roem memang tidak semenonjol Sutan Sjahrir. Ia bukanlah pemikir seperti Sjahrir. Namun, perannya dalam kemerdekaan Indonesia tidak kecil.

Perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Belanda yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Roem-Roijen adalah sebagian kecil dari kiprahnya di dunia diplomasi. Perjanjian tersebut menjadi tapak penting bagi lahirnya perjanjian Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Perjanjian tersebut telah mengantarkan lahirnya pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia.

Upaya kerasnya dalam berdiplomasi mengantarkan Indonesia dalam ruang kemerdekaan. Meski pada satu masa Soekarno memenjarakannya, tidak pernah sedetik pun ia menyimpan dendam kepada proklamator itu. Ia berani mengambil risiko dan tetap berjiwa besar, ciri yang selayaknya dimiliki para pemimpin Indonesia saat ini jika mereka ingin menjadi negarawan. (B Josie Susilo)

Komentar Pak Rushdy Hoesein Tentang Mohammad Roem (dari milis Historia-Indonesia)

Roem memang tidak mendendam, tapi dia tidak pernah melupakan peristiwa ketika Roem dan teman-temanya (termasuk Sjahrir, Natsir, Sjafrudin dan lain-lain) tahun 1962 dipenjarakan Soekarno di Madiun. Tidak terlepas dari itu, masih selalu muncul pertanyaan, kenapa mereka tidak diadili.

Soal Diplomasi, mungkin benar Roem tidak sekaliber Sjahrir, tapi dia tidak berada dibawah Sjahrir. Roem orang hebat karena diplomat tulen. Karirnya dimulai sejak diangkat sebagai ketua KNI daerah Jakarta Serptember 1945, dia bersama Soewirjo berunding dengan Kempetai agar pemerintah pendudukan mengizinkan dilanjutkannya “Rapat Raksasa Ikada 19 September 1945″. Dan Jepang terpaksa menyetujuinya karena olehnya dijelaskan hanya Soekarno yang bisa membubarkan rakyat yang sudah berkumpul sejak subuh di lapang Ikada yang sebanyak 200.000 orang itu.

Dirinya pernah ditembak Belanda di rumahnya di Kwitang sehingga cacat sampai akhir hayatnya. Dirinya terpilih menjadi Menteri dalam kabinet Sjahrir ke III tahun 1946 dan diangkat menjadi delegasi Indonesia dalam perundingan Linggajati. Dalam perundingan sebagaimana tertulis dalam notulen, dirinya ikut berdebat secara sengit. Pasal-pasal yang menyangkut hukum tatanegara bersama Soesanto Tirtoprodjo dan Amir Sjarifudin secara cermat diperhatikan agar jangan lolos menguntungkan Belanda. Namun demikian sungguh berat baginya karena harus membela Linggajati dari serangan partainya sendiri, Masyumi yang anti Linggarjati.

Dirinyalah satu-satunya anggota delegasi yang langsung protes karena pada tanggal 12 November 1946 malam dalam kunjungan delegasi Belanda yang dipimpin Prof. Schermerhorn guna menghadap Soekarno, tiba-tiba Soekarno menyetujui naskah Linggarjati padahal masih perlu dirundingkan lebih lanjut. Roem juga terpilh sebagai diplomat dalam perundingan Renville, pernyataan bersama (bukan perundingan) antara Mohammad Roem dan Van Roijen serta Roem adalah anggota delegasi utama yang dipimpin Hatta dalam Konperensi Meja Bundar. Setelah itu Roem adalah ketua Komite pembentukan pemerintahan RIS dan yang paling bergengsi, sesuai hasil KMB, Roemlah yang diangkat sebagai Komisaris Agung pertama di Den Haag Belanda.

Dalam zaman Soeharto, mungkin yang tidak juga dilupakannya adalah saat musyawarah Parmusi di Malang tahun 1968, dimana pemerintah Orde Baru tidak sudi kalau Partai itu dipimpin Roem dan SekJen Lukman Harun. Perjalanan sejarah akhirnya menempatkan tokoh diplomat tua ini benar-benar istirahat di bidang politik sampai akhir hayatnya. Beliau wafat tanggal 24 September 1983 dalam usia 75 tahun.

Dirinya adalah salah seorang murid dari H.Agus Salim. Sebagai jebolan Jong Islammieten Bond, sumpah setianya pada Partai Masjumi tanpa akhir.

Sumber :
Hidayatulah Edisi 12/XV 2003 – Sejarah

Selasa, 10 November 2009

Mengenang Kembali Mr. Mohammad Roem (Bagian Kedua : Roem Seorang Diplomat)

Posisi Roem sebagai seorang menteri luar negeri dalam pemerintahan Syahrir ke III membuatnya banyak terlibat dalam perundingan Linggarjati. Roem terkenal rewel dan alot dalam perundingan Linggarjati ini. Sikapnya itu sangat menjengkelkan ketua delegasi Belanda yaitu Prof. Schemerhorn. Dalam bukunya Schemerhorn banyak melayangkan pujian kepada Syahrir atas sikapnya yang tidak banyak menuntut tetapi tiada pujian bagi Roem. Schemerhorn menamakan sikap Roem itu sebagai “Roem begon hiertegen te steigeren” (Roem mulai meronta-kuda). Bahkan sampai menjelang berakhirnya proses perjanjian Linggarjati Roem masih tetap saja rewel dan menjengkelkan pihak Belanda. Ada satu kejadian yang di kemudian hari membuat Schemerhorn merasa malu, yaitu insiden kertas merah jambu.

Ketika suatu sidang akan ditutup dan kedua delegasi sudah payah, Roem masih berbicara dan mengajukan usul terhadap rumusan mengenai pasal 1 Persetujuan Linggarjati. Roem menuliskan usulan tersebut dalam kertas warna merah jambu. Karena Schemerhorn sudah berdiri dan hendak meninggalkan sidang maka jawabnya tukas saja: “Berikan saja pada Tuan Samkalden, kedengarannya menarik juga, nanti kita bicarakan lebih lanjut”.

Pada pertemuan selanjutnya yang dijadwalkan akan berlangsung pendek saja, ternyata berlangsung seret dengan tuntutan Roem tentang isi kertas merah jambu yang ia serahkan pada pertemuan sebelumnya. Samkalden menyatakan tidak menerima kertas itu dan tidak ingat tentangnya. Tetapi belakangan hari Schemerhorn tahu bahwa kertas itu disimpan oleh Samkalden dengan baik di lemari-lemari surat. Kebohongan Samkalden inilah yang membuat hati nurani Schemerhorn berasa tidak enak.

Peran Roem dalam berbagai perundingan tidak berhenti disini, setelah kejatuhan kabinet Syahrir dan diikuti juga kejatuhan kabinet Amir Syarifudin. Pucuk pemerintahan dipegang oleh Hatta. Atas usul PBB dimulailah kembali perundingan dengan Belanda pada pertengahan bulan Maret 1948. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Roem dan sebagai wakilnya ditunjuk Mr. Ali Sastroamidjojo. Tetapi perundingan ini banyak menemui kebuntuan sehingga tidak menghasilkan suatu keputusan penting.

Puncak dari semuanya adalah agresi militer Belanda II yang terjadi tanggal 19 Desember 1948. Belanda menduduki pusat pemerintahan Republik yaitu kota Yogyakarta dan menawan para pemimpin Republik. Tidak terkecuali Roem juga ikut ditawan.

Mr. Ali Sastroamidjojo melukiskan dalam memoirnya : “Kurang lebih seminggu sesudah kami ditawan di gedung negara, suasana menjadi hangat. Sebab sampai jauh malam pejuang-pejuang kita melepaskan tembakan-tembakan ke arah gedung itu. Terang tembakan-tembakan itu dimaksudkan sebagai siasat untuk membebaskan kami, terutama presiden dan wakil presiden. Komandan pasukan penjagaan tempat tawanan menjadi gelisah. Pada kira-kira pukul 2 pagi menjelang tanggal 30 Desember 1948 kami dibangunkan dan dikumpulkan dalam kamar tamu dibagian depan sebelah kanan yang semua lampu-lampunya dinyalakan. Di kamar itu kami dikepung oleh beberapa serdadu Belanda yang menodongkan karabijn mereka ke arah kami. Oleh karena lampu terang benderang tentulah dari tempat-tempat pejuang kita bersembunyi yaitu di gedung Bank Indonesia dan Kantor Pos yang letaknya 200-300 m dari tempat kami ditawan, terlihat dengan jelas apa yang akan terjadi dengan kami, apabila sebutir peluru saja dari para pejuang itu mengenai salah satu serdadu Belanda. Maka tembakan-tembakan mereka berhenti tiba-tiba. Baru kira-kira pukul 5 pagi kami diperbolehkan kembali ke kamar kami masing-masing."

"Pada tanggal 31 Desember 1948 kira-kira pukul 06.30 pagi, kami sudah berkumpul di ruangan makan untuk bersarapan. Tetapi tahu-tahu kami harus menyaksikan keberangkatan Bung Karno, Bung Hatta, Saudara-saudara Mr. Assaat, Komodor Suryadarma, Mr. Pringgodigdo, Sutan Syahrir dan Haji Agus Salim diangkut menggunakan 3 buah jeep dan dikawal oleh serdadu-serdadu Belanda bersenjatakan lengkap….”

“Dua hari kemudian Mr. Mohammad Roem dan saya mendapat giliran. Pagi-pagi benar kami disuruh untuk turut dengan seorang perwira Belanda naik Jeep dan dibawanya ke jurusan Maguwo. Hendak dibawanya kemana kami tidak diberitahu..”, begitu sekilas kisah yang diutarakan oleh Mr. Ali Sastroamidjojo.

Roem ditawan bersama dengan Hatta, Ali Sastroamidjojo, Mr. Assaat, Mr. Pringgodigdo dan Komodor Suryadarma di Menumbing, Bangka dalam dua ruangan berukuran 6x6 meter dan 4x10 meter. Mereka inilah yang disebut kelompok Menumbing. Roem melukiskan bahwa keadaan para pemimpin Republik yang menjadi tawanan di Menumbing cukup terkendali berkat wibawa dan kebijaksanaan Hatta. Ini tentu berlainan dengan keadaan di kelompok Prapat dimana Sukarno dan Syahrir berseteru.

Atas usaha keras diplomasi para wakil Indonesia di luar negeri dan desakan dunia internasional maka dibukalah kembali rencana-rencana perundingan Indonesia-Belanda. Tercatat bahwa Sukarno-Hatta menolak undangan Dr. Beel, wakil Belanda, untuk mengadakan suatu Konferensi Meja Bundar di Belanda yang sedianya akan dilangsungkan tanggal 12 Maret 1949. Para pemimpin Republik mengharapkan bahwa kedaulatan pemerintahan Republik di Yogyakarta harus dikembalikan secara penuh terlebih dahulu baru dirintis ke arah Konferensi Meja Bundar.

Untuk menuju kearah sana maka ditunjuklah Roem sebagai ketua delegasi dari Indonesia, lihat juga sebelum terjadi aksi Agresi Militer II Belanda Roem telah ditunjuk sebagai ketua delegasi perundingan. Ada usulan awal untuk menjadikan Syahrir sebagai ketua delegasi karena ditakutkan Roem tidak akan sanggup menghadapi kekuatan delegasi dari Belanda. Tapi usulan ini juga ditolak karena Syahrir sendiri semenjak perundingan Renville tidak pernah mau duduk sebagai anggota delegasi. Akhirnya Syahrir ditetapkan sebagai penasihat. Penunjukan Syahrir sebagai penasihat disarankan untuk dibuatkan satu surat pengesahan dari pemimpin Republik untuk memperkuat kedudukan Syahrir, dengan alasan terdapat beberapa anggota yang tidak terlalu simpatik dengan Syahrir.

Surat pengesahan inilah yang kemudian menimbulkan konflik baru antara Sukarno dengan Syahrir. Ketika Surat Pengesahan sudah ditandatangani oleh Sukarno, kemudian dibawa ke Jakarta oleh Roem untuk diberikan kepada Syahrir, berkata Syahrir dengan sengit, “Apa dia (Sukarno) itu. Mengapa dia yang harus mengangkat saya. Yang seharusnya mengangkat saya adalah Syafruddin (Kepala PDRI di Sumatra)”, Roem pun kesal dibuatnya, terlebih-lebih Sukarno setelah mendengar berita itu. Semua itu terjadi menjelang perundingan Roem-Roijen. Bahkan pada saat perundingan berlangsung setiap kali diadakan rapat Syahrir tidak pernah datang, walaupun sudah diundang oleh ketua delegasi.

Perundingan Roem-Roijen dimulai pada tanggal 14 April 1949 atas prakarsa Komisi Tiga Negara PBB. Delegasi Indonesia diwakili oleh Mohammad Roem dan delegasi Belanda diwakili oleh Dr. J.H. Van Roijen dan ketua KTN adalah Cochran. Pidato yang disampaikan Roijen lemah lembut, sedangkan pidato yang disampaikan Roem tegas dan keras. Ali Sastroamidjojo melukiskannya dengan kata “agak seram”.

Perundingan yang berlangsung di Hotel Des Indes ini berakhir secara resmi pada tanggal 7 Mei 1949 pukul 17.00. Isi perundingan itu sebagai berikut :

Delegasi Indonesia menyatakan kesediaan Pemerintah RI untuk:

  1. Mengeluarkan perintah kepada pengikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya.
  2. Bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
  3. Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sunguh dan lengkap kepada negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.


Pernyataan Belanda pada pokoknya berisi:

  1. Menyetujui kembalinya pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
  2. Membebaskan semua tahanan politik dan menjamin penghentian gerakan militer.
  3. Tidak akan mendirikan negara-negara yang ada di daerah Republik dan dikuasainya dan tidak akan meluaskan daerah dengan merugikan Republik.
  4. Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari negara Indonesia Serikat.
  5. Berusaha dengan sungguh-sungguh supaya KMB segera diadakan setelah pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.


Hasil perundingan ini menimbulkan pro dan kontra. Terutama dari pihak TNI yang tidak setuju dengan istilah “Pengikut republik yang bersenjata” (lihat kembali hasil perundingan Roem-Roijn). Panglima Sudirman langsung melontarkan protes keras kepada Roem. Para pemimpin PDRI pun ikut menyatakan kekecewaannya karena perundingan-perundingan yang dilakukan oleh para pemimpin di Bangka tidak didiskusikan terlebih dahulu dengan para pemimpin PDRI. Mereka khawatir sebuah perundingan yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin yang ditawan dengan pihak musuh akan banyak mengundang kerugian.

Terlepas dari kekurangan maupun kelemahan hasil perundingan itu akhirnya semua harapan para pemimpin Republik dapat berjalan lancar. Tanggal 6 Juli 1949 para Pemimpin Republik yang dibuang ke Bangka kembali ke Yogyakarta yang artinya kedaulatan Republik sudah dikembalikan seperti sebelum agresi mliter II. Roem tidak ikut serta dalam rombongan dari Bangka karena ia harus tinggal di Jakarta untuk mempersiapkan penyerahan kekuasaan Belanda kepada Indonesia dalam waktu dekat.

Pada tanggal 24 Juli 1949 terbentuklah susunan delegasi RI ke Konferensi Meja Bundar dengan ketua Mohammad Hatta dan Roem bertindak sebagai wakil ketua. KMB berlangsung di Den Haag dari tanggal 23 Agustus 1949 dan berakhir tanggal 2 November 1949. Pada tanggal itu juga Roem dan T.B. Simatupang segera dikirim kembali ke Indonesia untuk segera melaporkan hasil konferensi kepada Presiden Sukarno.

Penyerahan kedaulatan secara De Jure sendiri secara resmi dilakukan tanggal 27 Desember 1949 baik di Belanda, diwakili Mohammad Hatta, maupun di Indonesia, diwakili oleh Sri Sultan Hamengkubowono IX.

sumber :

http://www.askarlo.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=66:mengenang-kembali-mohamad-roem-bagian-i&catid=45:edukasi&Itemid=82

Senin, 09 November 2009

Mengenang Kembali Mr. Mohammad Roem (Bagian Pertama : Roem Sang Pejuang)

Roem dilahirkan pada tanggal 16 Mei 1908 di Parakan, Kab. Temanggung, Jawa Tengah dari pasangan Dulkarnaen Djojosasmito (seorang Lurah) dan Siti Tarbijah. Pada tahun 1920 Roem sempat dipindahkan ke kota Pekalongan karena wabah penyakit yang menyerang desanya. Di kota Pekalongan inilah Roem berhasil menyelesaikan sekolahnya di H.I.S.

Tahun 1924 Roem lulus dalam ujian masuk sekolah STOVIA. Di tahun yang sama Roem bergabung menjadi anggota organisasi Jong Java. Tahun 1925 bergabung dengan JIB (Jong Islmieten Bond). Di dalam JIB inilah Roem mulai mengenal tokoh-tokoh besar seperti Agus Salim dan HOS Cokroaminoto.

Tahun 1927 Roem berhasil menamatkan pendidikan pada bagian Persiapan di Stovia, tetapi kemudian pindah ke AMS (Algemene Middelbare School – Sekolah Menengah Umum tingkat atas). Lulus dari AMS tahun 1930 kemudian meneruskan ke sekolah tinggi kedokteran GHS (Geneeskundige Hoge School) di Salemba, Jakarta.

Di GHS Roem gagal dalam menyelesaikan ujiannya, karena itu lalu ia berhenti menjadi mahasiswa GHS dan beristirahat selama 2 tahun. Dalam masa-masa inilah ia mulai aktif dalam Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Roem juga menempuh pendidikan di RHS (Rechts Hoge School) mulai tahun 1932 dan selesai tahun 1939. Roem juga terhitung sebagai aktivitis dan pengurus Partai “Penyadar” yang didirikan oleh Agus Salim tahun 1937.

Roem tercatat tidak pernah bekerja untuk pemerintahan kolonial baik Belanda maupun Jepang. Ia mendirikan kantor pengacara sendiri yaitu “Mr. Mohamad Roem” di Jakarta.

Setelah Proklamasi kemerdekaan Roem menjabat sebagai ketua Komite Nasional (KNI) Jakarta Raya, mirip suatu ketua DPR-darurat di waktu itu.

Pada peristiwa Ikada September 1945 Roem turut mengambil peran. Walikota Jakarta yang pertama, Suwirjo, berkantor berdekatan dengan lapangan Ikada. Ketika ia melihat semakin banyak massa yang menumpuk di lapangan Ikada ia pun melaporkannya kepada pemerintah RI yang saat itu sedang bersidang. Suwirjo kemudian diinstruksikan untuk membicarakan keadaan tersebut dengan pembesar-pembesar Jepang.

Sebagai ketua KNI Jakarta raya maka diajak-sertalah Roem oleh Suwirjo. Dalam pembicaraan dengan pihak Jepang, tampak jika Jepang tidak akan mengizinkan rapat itu. Tetapi massa telah banyak berkumpul dan hanya Soekarno-Hatta lah yang akan didengar oleh rakyat. Awalnya juga Jepang tidak mengizinkan Soekarno-Hatta untuk hadir. Setelah berunding sebentar Jepang kemudian mengizinkan Soekarno-Hatta untuk hadir di rapat itu dan dengan syarat rapat tidak boleh berlangsung lebih dari 15 menit.

Setelah menyampaikan hasil pembicaraan kepada pemerintah RI, maka dengan berkendara beberapa mobil berangkatlah jajaran pemerintah RI menuju Ikada. Roem dan Suwirjo ikut serta dalam rombongan mobil paling belakang. Rapat akbar bersejarah itu akhirnya berjalan dengan damai dan tertib tanpa pertumpahan darah.

Ada satu peristiwa tragis yang dialami Roem ketika Belanda yang membonceng tentara Inggris mulai masuk ke Jakarta. Roem waktu itu tinggal dan berkantor di jl. Kwitang no. 10. Tanggal 21 November 1945, beberapa hari setelah Roem menghadiri pemakaman jenazah 13 polisi korban serbuan NICA, tiba-tiba saja kediamannya diserbu oleh tentara NICA. Waktu itu di rumah Roem terdapat bebarapa orang antara lain Pirngadi (kelak brigjen TNI), Adik dan Islam Salim (putra Agus Salim), Sayoga, dan beberapa orang lagi.

Mendengar kedatangan NICA semuanya pun melarikan diri meloncati tembok belakang rumah. Roem, Ibu Roem, dan Sayoga tetap berada di rumah bersembunyi di kamar tidur. Ketika Belanda mulai mengobrak-abrik rumah dengan alasan mencari orang dan senjata, Roem memberanikan diri membuka pintu kamar, pada saat itulah Belanda melepaskan tembakan ke arah Roem. Roem terkapar berlumuran darah tak sadar diri. Sayoga dibawa paksa Belanda dan setelah itu kabarnya tak terdengar lagi, kelihatannya sudah dieksekusi oleh Belanda.

Semua orang mengira Roem sudah meninggal, para wanita yang ada disitu disuruh pergi oleh Belanda, Ibu Roem mengungsi ke kediaman Agus Salim, jadi Roem ditinggal sendiri saja waktu itu. Sore hari ketika keadaan reda baru datanglah para pemuda sekitar menolong Roem.

Keadaan Roem sangat gawat, Roem harus menjalani perawatan dan terapi berbulan-bulan lamanya sampai ia diajak kembali oleh Kasman Singodimedjo ke Yogyakarta, waktu itu Kasman menjabat sebagai Kepala Kehakiman Kementerian Pertahanan. Dari situlah Roem mulai duduk dan aktif sebagai Ketua Bagian Politik Partai Masyumi. Tiga bulan kemudian Roem bergabung sebagai Menteri Dalam Negeri dalam kabinet Syahrir ke III.

Sumber :

http://www.askarlo.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=65:mengenang-kembali-mohamad-roem-bagian-i&catid=45:edukasi&Itemid=82

Sabtu, 29 Agustus 2009

KH Mas Mansur Mutiara Dakwah Dari Surabaya

Bismillahirrahmanirrahiim,

KH Mas Mansur merupakan pribadi teladan yang istimewa, sejak kecil saya sudah terbiasa mendengar kisah-kisah heroik dan perjuangan dakwah Kiai sederhana asal Surabaya ini, almarhumah Ibu saya seringkali dengan bersemangat menceritakan penggalan – penggalan riwayat KH Mas Mansur. sampai-sampai sewaktu kecil saya lebih suka dipanggil ‘mansur’ dan justru marah manakala dipanggil nama saya yang sebenarnya, entahlah mengapa bisa demikian yang pasti sosok KH Mas Mansur telah membuka jalan ketertarikan bagi saya untuk mempelajari jalan panjang pergerakan bangsa beserta tokoh – tokohnya.
Cerita yang menarik adalah tentang semangat belajar KH Mas Mansur yang tinggi, Beliau begitu haus akan ilmu sehingga dengan rajin dan tekun menuntut ilmu hingga sukses merampungkan M3 (Madura, Makkah dan Mesir), beliau juga harus berkali-kali hijrah (Surabaya, Yogyakarta dan Jakarta) sebagai konsekuensi dari jalur pergerakan yang ditempuhnya.

Beliau, KH Mas Mansur termasuk dalam Keluarga Besar Sagipodin (Bani Gipo) yang dikenal memiliki akar yang kuat di kalangan Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama, Kedua Cucu Sagipodin yakni KH Mas Mansur dan KH. Hasan Basri (Hasan Gipo) merupakan dua tokoh penting dalam pertumbuhan Muhammadiyah dan NU, yang seorang dipercaya sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah sementara yang seorang lagi mendapat amanat sebagai Ketua Tanfidziyah NU Pertama.
Satu lagi catatan penting yang jarang diungkapkan oleh media adalah ihwal wafatnya KH Mas Mansur dalam tahanan NICA pada tahun 1946, ternyata KH Mas Mansur tidak mengalami penahanan biasa melainkan di eksekusi mati dengan disuntik darah kera sehingga akhirnya wafat pada tanggal 25 April 1946.

Jejak Jejak Dakwah KH Mas Mansur di Pulau Madura
Sebagai ulama muda yang kharismatik Kyai Haji Mas Mansur berhasil membawakan kehalusan dakwah yang menyentuh sehingga memberi pengaruh yang luar biasa kepada pribadi Raden Musaid, beliau memilih jalan yang tidak biasa ditempuh oleh kebanyakan budayawan dan kaum adat yang mengambil jarak atas gerakan dakwah, semangatnya justru meluap – luap untuk mengikuti cara beragama yang diajarkan oleh mas mansur yang berusaha menempatkan agama dan budaya secara proporsional tanpa mengesampingkan adat / budaya yang bersendi syara’ dan berpilar kitabullah. Raden Musaid menjadi meresapi benar ajaran KH Mas Mansur, beliau secara tegas menolak dikotomi NU-Muhammadiyah, menurutnya NU-Muhammadiyah atau Ormas keagamaan lainnya sama – sama bisa menjadi jembatan pergerakan berbasis keagamaan yang bisa mengantarkan ummat menggapai pencerahan spiritual.

Demikianlah, Siapapun yang mengalami perjumpaan dengan KH Mas Mansur Insyaallah akan menanggalkan fanatisme golongan dan keormasan karena beliau yang pernah menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah (1937 – 1943) senantiasa mengajak kepada jalan-jalan persatuan menuju kebulatan tekad dan cita – cita menggapai Indonesia Merdeka.

Rintisan Gerakan Kebangsaan KH Mas Mansur

Nasionalisme KH Mas Mansur dapat dibuktikan dari berbagai organisasi yang dipelopori dan dibinanya yang kebanyakan menggunakan nama belakang Wathan (Tanah Air) diantaranya Lembaga Pendidikan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air), Khitab al-Wathan (Mimbar Tanah Air), Madrasah Ahl al-Wathan (Keluarga Tanah Air) di Wonokromo, Far’u al-Wathan (Cabang Tanah Air) di Gresik dan Hidayah al-Wathan (Petunjuk Tanah Air) di Jombang.

KH Mas Mansur sangat dekat dengan KH Abdul Wahab Hasbullah (Ulama kharismatik NU), keduanya sama-sama pernah belajar di Makkah pada Kiai Mahfudz yang berasal dari Pondok Pesantren Termas Jawa Tengah, Beliau berdua membentuk majelis diskusi yang diberi nama Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya pada 1914. Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk mendebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting. Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasionalis sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Dari posnya di Surabaya, kelompok ini menjalar hampir ke seluruh kota di Jawa Timur. Bahkan gaungnya sampai ke daerah-daerah lain di seluruh Jawa hingga makin kuatlah semangat dan cita – cita membebaskan tanah air dari belenggu penjajah.

Gelora Pergerakan Politik menuju Indonesia Merdeka

Dalam gelora pergerakan dan perpolitikan ummat Islam, Mas Mansur mengawali bergabung dalam Syarikat Islam (SI) yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto bahkan beliau dipercaya sebagai Penasehat Pengurus Besar SI. Kedekatan dengan HOS Cokroaminoto berlanjut ketika KH Mas Mansur terpilih sebagai Ketua MAIHS (Muktamar Alam Islami Far’ul Hindisj Syarqiyah) pada tahun 1926, keduanya terpilih untuk mewakili Indonesia dalam Muktamar Alam Islami sedunia di Makkah.
Pada tahun 1937, KH Mas Mansur berhasil melakukan gebrakan politik bagi ummat Islam dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) bersama dengan KHA Dahlan dan KH Wahab Hasbullah (Keduanya dari Nahdlatul Ulama. MIAI inilah rintisan awal yang di kemudian hari menjelma menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI)
Pada Tahun 1938, Beliau memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr. Sukiman Wiryasanjaya sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
Pada Tahun 1939, Terbentuk Majelis Rakyat yang dipelopori oleh GAPI (Gabungan Partai Politik Islam) dan MIAI (sebagai Federasi organisasi – organisasi Islam Indonesia) yang melancarkan tuntutan INDONESIA BERPARLEMEN kepada Pemerintah hindia belanda, pada waktu itu KH Mas Mansur terpilih secara aklamasi sebagai ketua majelis rakyat namun beliau menolak lantaran merasa masih banyak yang dianggapnya lebih siap dan mampu.

Pada Tahun 1942, Balantentara Jepang menduduki Tanah Air, KH Mas Mansur bersama beberapa tokoh terkemuka dan berpengaruh pada masa itu yaitu Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara (empat serangkai) memimpin PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat), organisasi bentukan jepang yang dijadikan alat perjuangan kemerdekaan dan menjadi cikal bakal lahirnya tentara Peta (Pembela Tanah Air), BPUPKI dan PPKI
Sejak tahun 1944 hingga 1945 kembali ke Surabaya dan bersama para pemuda terlibat dalam perjuangan merebut kemerdekaan
Pada Tahun 1946, ditangkap oleh NICA dan dipaksa berpidato untuk menghentikan perlawanan rakyat terhadap sekutu / Inggris di Surabaya, tetapi beliau dengan tegas menolak hingga dijebloskan kedalam tahanan hingga akhirnya meninggal dunia dalam tahanan pada tanggal 25 April 1946.

Sekian, Semoga Sekilas Catatan tentang Sang Penganjur - KH Mas Mansur dapat Bermanfaat...

Sumber :

Tulisan Badrut Tamam Gaffas Di Mata Air Lereng Semeru

Jumat, 10 Juli 2009

Konsep Pendidikan Dr. Mohammad Natsir Yang Visioner


“Madju atau mundurnja salah satu kaum bergantung sebagian besar kepada peladjaran dan pendidikan jang berlaku dalam kalangan mereka itu. Tak ada satu bangsa jang terbelakang menjadi madju, melainkan sesudahnja mengadakan dan memperbaiki didikan anak-anak dan pemuda-pemuda mereka.” Ini adalah salah satu bunyi pidato Mohammad Natsir dalam bidang pendidikan yang beliau sampaikan pada rapat Persatuan Islam di Bogor, 17 Juni 1934.[1]

Nama Mohammad Natsir begitu penting dalam wacana pemikiran Islam di Indonesia. Beliau dikenal sebagai pahlawan nasional yang kiprahnya dalam memajukan bangsa ini, khususnya umat Islam, di waktu lampu telah diakui oleh berbagai kalangan. Bahkan, pengaruh dari usaha beliau masih dirasakan hingga sekarang.

Pak Natsir (sapaan akrab beliau) tidak hanya dikenal sebagai sosok negarawan, pemikir modernis, mujahid dakwah. Tapi, beliau dikenal juga sebagai seorang aktivis pendidik bangsa yang telah menorehkan episode sejarahnya di Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga masa orde baru. Pemikirannya banyak digali dan dijadikan sebagai titik tolak kebangkitan umat Islam dalam berbagai macam bidang.

Pada tahun 1940 hingga 1945, pak Natsir menjabat sebagai kepala biro pendidikan Kodya Bandung dan merangkap sebagai sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Hal ini sebagai bukti tambahan bahwa beliau sudah bersinggungan dengan dunia pendidikan sejak mudanya. Tentunya beliau memiliki pemikiran dalam bidang pendidikan yang patut untuk digali oleh generasi sesudahnya, agar mendapatkan gambaran nyata tentang konsep beliau dalam masalah pendidikan.

Pendidikan Menurut M. Natsir

Beliau berpendapat bahwa pendidikan bukanlah bersifat parsial, pendidikan adalah universal, ada keseimbangan (balance) antara aspek intelektual dan spiritual, antara sifat jasmani dan rohani, tidak ada dikotomis antar cabang-cabang ilmu.[2]

Beliau sangat tegas menolak teori dikotomi ilmu yang memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Makanya beliau menampik pemisahan pendidikan agama dan pendidikan umum. Dikotomi ilmu agama dan ilmu umum adalah teori yang lahir dari rahim sekularisme.[3]

Hal ini tentunya sesuai dengan pandangan al-Qur’an tentang manusia. Bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki unsur jasmani dan rohani, fisik dan jiwa yang memungkinkan ia diberi pendidikan. Selanjutnya manusia ditugaskan untuk menjadi khalifah muka bumi sebagai pengamalan ibadah kepada Allah dalam arti seluas-luasnya.[4] Ia tidak akan bisa melaksakan tugas ini sebaik-baiknya kecuali dengan penguasaan yang baik terhadap kedua ilmu ini. Selain itu bahwa tujuan manusia adalah untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, tidak akan diperoleh dengan sempurna kecuali dengan keduanya.

Pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Tujuan pendidikan Islam sama dengan tujuan kehidupan manusia. Menurut Hasan Langgulung, tujuan pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dari tujuan kehidupan manusia, tujuan ini tercermin dalam al Qur’an Surat Al-An’am: 162.

Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam’.[5]

Urgensi Pendidikan Menurut M. Natsir

Pak Natsir memandang pendidikan sebagai satu hal yang sangat penting. Keberadaannya menjadi prasyarat kemajuan sebuah bangsa. Di antara pernyataan beliau yang telah disebutkan di awal tulisan ini.

Madju atau mundurnja salah satu kaum bergantung sebagian besar kepada peladjaran dan pendidikan jang berlaku dalam kalangan mereka itu. Tak ada satu bangsa jang terbelakang menjadi madju, melainkan sesudahnja mengadakan dan memperbaiki didikan anak-anak dan pemuda-pemuda mereka.

Beliau berpandangan bahwa kemunduran dan kemajuan tidak bergantung pada ketimuran atau kebaratan. Tidak bergantung pada putih, kuning, atau hitamnya warna kulit. Tapi bergantung kepada ada atau tidaknya sifat-sifat atau bibit kesanggupan dalam salah satu umat, yang menjadikan mereka layak atau tidak menduduki tempat yang mulia di atas dunia ini. Dan ada atau tidaknya sifat-sifat dan kesanggupan (kapasitet) ini bergantung kepada didikan jasmani dan rohani yang mereka terima untuk mencapai yang demikian. [6]

Terkhusus dalam perjuangan Islam, peran pendidikan, menurutnya, begitu sangat signifikan. beliau berpandangan bahwa dunia pendidikan adalah bagian dari kekuatan umat Islam yang harus senantiasa dijaga, dipikirkan dan diberdayakan. Hal ini sebagaimana pesan beliau kepada jama’ahnya yang disampaikan oleh Ketua Umum Dewan Dakwah Indonesia, Ust. Syuhada Bahri:

Pak Natsir selalu berpesan kepada jama’ahnya, ada tiga kekuatan umat, yaitu masjid, kampus, dan pesantren. Ini adalah basis kekuatan Islam. Beliau meminta umat untuk memikirkan dan memberdayakan itu.[7]

Tujuan Pendidikan Islam

Bagi M. Natsir, fungsi tujuan pendidikan adalah memperhambakan diri kepada Allah SWT semata yang bisa mendatangkan kebahagiaan bagi penyembahnya.[8] Hal ini juga yang disimpulkan oleh Prof. DR. H. Abuddin Nata, M.A, tentang tujuan pendidikan Islam menurut M. Natsir, bahwa pendidikan Islam ingin menjadikan manusia yang memperhambakan segenap rohani dan jasmaninya kepada Allah SWT.[9]

Hal ini sesuai dengan konsep Islam terhadap manusia itu sendiri. Bahwa mereka diciptakan oleh Allah untuk menghambakan diri hanya kepada Allah semata. Oleh karenanya segala usaha dan upaya manusia harus mengarah ke sana, di antaranya adalah pendidikan.

Firman Allah Ta’ala:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat: 56)

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupki dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam’.” (QS. Al-An’am: 162)

Menurut M. Natsir antara tujuan pendidikan dan tujuan hidup tidak dapat dipisahkan. Keduanya sama (identik). Tujuan pendidikan adalah tujuan hidup. Beliau mengatakan:

Akan memperhambakan diri kepada Allah, akan menjadi hamba Allah, inilah tudjuan hidup kita di atas dunia ini. Dan lantaran itu, inilah pula tudjuan didikan yang wajib kita berikan kepada anak-anak kita, jang lagi sedangv menghadapi kehidupan.[10]

Menyembah Allah, meliputi semua ketaatan dan ketundukan kepada semua perintah ilahi, yang membawa kepada kebesaran dunia dan akhirat, serta menjauhkan diri dari semua larangan-larangan yang menghalangi tercapainya kemenangan dunia dan akhirat itu. Untuk menjadi hamba Allah yang sebenarnya harus memiliki sifat dan syarat-syaratnya, di antaranya berilmu.

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Faathir: 28)

Memperhambakan diri semacam ini adalah kepentingan dan keperluan yang menyembah bukan yang disembah.

Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. Adz-Dzariyaat: 57-58)

Penghambaan kepada Allah yang menjadi tujuan hidup dan tujuan pendidikan kita, bukanlah suatu penghambaan yang memberi keuntungan bagi yang disembah, tetapi penghambaan yang mendatangkan kebahagiaan bagi yang menyembah. Penghambaan yang memberikan kekuatan bagi yang menyembahnya.

وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ

Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Rabbku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS. An-Naml: 40)

Supaya menjadi orang yang memperhambakan segenap jasmani dan rohaninya kepada Allah SWT untuk kemenangan dirinya dalam arti yang seluas-luasnya yang dapat dicapai oleh manusia, itulah tujuan hidup manusia di dunia ini dan tujuan pendidikan Islam yang harus diberikan kepada generasi Islam.[11] Tujuan ini beliau istilahkan dengan Islamictisch paedagogisch Ideal.[12]

Tauhid Sebagai Dasar Pendidikan

Konsep ini pertama kali dimunculkan oleh M. Natsir pada tahun 1937, melalui artikelnya di majalah Pedoman Masyarakat yang bertajuk tauhid sebagai dasar pendidikan.

Tauhid harus menjadi dasar berpijak setiap muslim dalam melakukan segala kegiatannya, diantaranya pendidikan. M. Natsir juga menggariskan bahwa tauhid haruslah dijadikan dasar dalam kehidupan manusia, diantaranya dalam masalah pendidikan. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang diasaskan pada tauhid.

Mengenal Tuhan, men-tauhidkan Tuhan, mempertjajai dan mejerahkan diri kepada Tuhan, tak dapat harus mendjadi dasar bagi tiap-tiap pendidikan jang hendak diberikan kepada generasi jang kita latih, djikalau kita sebagai guru ataupun sebagai Ibu-Bapa, betul-betul tjinta kepada anak-anak jang dipertaruhkan Allah kepada kita.[13]

Beliau berpandangan bahwa pendidikan tauhid harus diberikan kepada anak sedini mungkin, selagi masih muda dan mudah dibentuk, sebelum didahului oleh materi dan ideologi dan pemahaman lain. Supaya ia memiliki tali Allah untuk bergantung. “Hubungan dengan manusia dan sesama machluk dapat diadakan kapan sadja waktunya. Akan tetapi hubungan dengan Ilahi tidaklah boleh dinanti-nantikan setelahnja besar atau berumur landjut.[14] Kata beliau.

Hasil dari pendidikan model ini akan melahirkan generasi-generasi yang memiliki hubungan kuat dengan penciptanya serta mengutamakan mu’amalah sesama makhluk. Dan inilah dua syarat wajib untuk mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan hidup, lahir dan batin.

Allah berfirman (yang M. Natsir terjemahkan): “Malapetaka dan kehinaanlah yang akan menimpa mereka, di mana sadja mereka berada, ketjuali apabila mereka mempunyai hubungan dengan Allah dan pertalian sesama manusia.” (QS. Ali Imran: 112)[15]

Menurut Natsir, meninggalkan dasar tauhid dalam pendidikan anak merupakan kelalaian yang amat besar. Bahayanya, sama besarnya, dengan penghianatan terhadap anak-anak didik. Walaupun sudah dicukupkan makan dan minumnya, pakaian dan perhiasannya, serta dilengkapkan pula ilmu pengetahuan untuk bekal hidupnya. Semua ini, menurutnya, tidak ada artinya apabila meninggalkan dasar ketuhanan (ketauhidan) dalam pendidikan mereka.[16]

M. Natsir memandang bahwa lahirnya para intelektual muslim yang menentang Islam dan kelompok yang wastern-minded adalah akibat dari pendidikan yang tidak berbasis agama yang benar. Dari sinilah beliau melihat sisi pentingnya tauhid sebagai dasar dari pendidikan Islam.[17]

Materi Pendidikan Islam

Materi pendidikan Islam haruslah berisi pelajaran yang bisa menghantarkan kepada tujuan pendidikan dalam Islam. yaitu menjadi khalifah di muka bumi ini sebagai bentuk ibadah kepada Allah dalam arti yang luas. Materi ini tidak terbatas pada pelajaran keagamaan tapi juga mencakup pelajaran ilmu pengetahuan umum dan teknologi (scient). Hal dapat kita lihat dari pendangan M. Natsir tentang barat dan timur yang tidak beliau pertentangkan dalam menuntut ilmu.

Beliau tidak setuju adanya dikotomi materi pendidikan, antara pendidikan barat (ilmu pengetahuan umum/scient) dan pendidikan timur (keagamaan). Bahwa kalau lembaga pendidikan scient harus tidak diajarkan ilmu Islam, sedangkan lembaga pendidikan Islam tidak boleh belajar ilmu pengetahuan modern (scient). Tetapi beliau berusaha menggabungkan dua meteri tersebut. Karena dien melingkupi berbagai macam keterangan hidup. Karena seorang muslim tidak mungkin pengkaji ilmu pengetahuannya dengan melepaskannya dari Islam. Jika ilmu pengetahuan dipisahkan dari ilmu agama maka akan lahir para ilmuwan yang tidak beragama atau para agamawan yang tidak berilmu.[18]

M. Natsir berusaha menggabungkan pendidikan pengetahuan umum dengan agama. Beliau tidak sepakat dengan sistem pendidikan sekular, yang memisahkan agama dari dunia. Maka pada Juni 1938, sebagaimana yang ditulis dalam Pandji Islam dan Pedoman Masyarakat, beliau mengkritik keras sebuah pemikiran pendirian tiga sekolah tinggi di Jakarta, Solo, dan Surabaya.

Di Jakarta didirikan Perguruan tinggi yang bersifat kebaratan, dalam bidang umum saja, tanpa ada pelajaran agama Islam. yang diprioritaskan bagi lulusan H.B.S atau A.M.S, dan tidak dibuka kesempatan bagi lulusan Tsanawiyah Islam. Di Solo didirikan sekolah tinggi untuk para muballighin, sedangkan di Surabaya didirikan sekolah tinggi untuk para alumni pesantren. Dalam gagasan ini sekolah diterapkan dikotomi ilmu. Bahwa perguruan tinggi bidang pengetahuan umum tidak perlu diajarkan masalah agama. Sedangkan perguruan tinggi yang mengajarkan agama tidak usah diajarkan ilmu pengetahuan umum. Menurut beliau hal ini akan berakibat pada lahirnya para intelektual yang menentang Islam dan dan kelompok yan western-minded.[19]

M. Natsir menyadari bahwa kebahagiaan dunia dan akhirat tidak didapat melalui penguasaan ilmu agama semata, tetapi juga ilmu pengetahuan umum (saint) dan teknologi yang merupakan perangkat untuk mengemban perintah Allah. Oleh karenanya, dalam sekolahan yang didirikannya “PENDIS” memadukan pendidikan Islam dengan pendidikan umum. “Beliau ingin membuktikan kepada Belanda dan masyrakat bahwa pendidikan dan perguruan Islam mampu bersaing dengan pendidikan konvensional lainnya mencetak output yang berkualitas.” Ungkap Gamal Abdul Nasir Zakaria. [20]

Belajar Boleh Ke Mana Saja

M. Natsir termasuk orang yang memiliki pandangan luas. Menatap jauh ke depan. Tidak melihat dunia seluas daun kelor. Ia memandang bahwa barat dan timur merupakan bumi ciptaan Allah. Semuanya milik Allah. Kedua-duanya memiliki kelebihan dan kekurangan, kebaikan dan kejelekan. Beliau tidak mempertentangkan barat dan timur dalam masalah ilmu pengetahuan, tapi beliau tegas mempertentangkan antara haq dan batil. Dan inilah antagonisme yang dikenal oleh Islam. Semua yang hak harus diterima walaupun datangnya dari barat, sedangkan yang batil akan harus disingkirkan walaupun datangnya dari timur.

Beliau menganjurkan umat Islam agar tidak terlalu mempertentangkan antara barat dan timur dalam bidang pengetahuan. Dalam masalah ilmu pengetahuan dan sciens untuk kemakmuran duniawi umat Islam, boleh mengambil dari dunia barat yang pada kenyataannya lebih maju. Karena sebagai hamba Allah dilarang melupakan nasibnya di dunia ini. Ia dituntut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara yang halal.[21]

Menurut beliau, jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, bukanlah dua hal yang bertentangan yang harus dipisahkan. Melainkan dua serangkai yang harus saling melengkapi dan dilebur menjadi satu susunan yang harmonis dan seimbang.[22]

Tanggungjawab Pendidikan Anak

Pendidikan anak dalam Islam, sesuai yang dipahami M. Natsir, pada dasarnya adalah menjadi tanggung jawab ibu-bapak (orang tua). Hukumnya fadlu ‘ain. Karena anak, dalam pandangan Islam, adalah amanat bagi keduanya yang harus dididik dan dipimpin. Keduanya bertanggungjawab atas anak-anak mereka. Hal ini sesuai dengan firman Allah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6)

Menurut M. Natsir, maksud ayat ini adalah: “harus kita berikan kepada anak dan istri kita didikan yang memeliharanya dari dari kesesatan dan memberi keselamatan kepadanya di dunia dan akhirat.[23]

Sabda Rasulullah SAW: “Tiada seorang bayipun yang lahir melainkan dilahirkan di atas fitrah. Lalu kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nashrani.” (HR. Bukhari)

Mengurus pendidikan anak-anak orang Islam bukan hanya menjadi fardlu ‘ain bagi orang tuanya, tapi juga menjadi fadlu kifayah bagi tiap-tiap anggota dalam sebuah masyarakat. Beliau dasarkan pada firman Allah QS. Ali Imran: 104

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.

Kaum muslimin wajib mengadakan satu kelompok yang mengadakan pendidikan untuk anak-anak orang Islam, supaya pendidikan mereka tidak digarap oleh orang-orang yang tidak sehaluan, tidak sedasar, tidak seiman, dan tidak seagama. hal ini sesuai dengan perintah Allah dan pesan Rasulullah SAW.

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ

Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri. . . . (QS. Al-Baqarah: 109)

Peran M. Natsir Dalam Dunia Pendidikan

Jejak M. Natsir dalam bidang pendidikan sudah ada sebelum negeri ini merdeka. Ketika Indonesia berada di bawah jajahan Jepang (1942-1945) seluruh partai Islam dibubarkan kecuali empat organisasi islam yang tergabung dalam MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yaitu; NU, Muhammadiyah, PUI yang berpusat di Majalengka, dan PUII yang berpusat di Sukabumi. Empat generasi tersebut kemudian tergabung dalam satu wadah, yaitu MASJOEMI, penjelmaan baru MIAI. Pada 1945 Masjoemi mengadakan rapat yang menghasilkan dua putusan penting, pertama, membentuk barisan mujahidin dengan nama Hizbullah untuk berjuang melawan sekutu. Kedua, mendirikan perguruan tinggi Islam dengan nama Sekolah Tinggi Islam (STI), STI kemudian hari menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Maksud berdirinya STI adalah untuk memberikan pendidikan tinggi tentang agama Islam, sehingga dapat bagi masyarakat di kemudian hari. Dewan Ketua Kurator STI dijabat Mohammad Hatta dan Natsir sebagai sekretarisnya. Rektor Magnificus oleh KH. A. Kahar Muzakkir dan Natsir pula sebagai sekretarisnya, dan Prawoto Mangkusasmito sebagai wakil sekretaris.

Di samping menjabat sebagai sebagai sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta, Pak Natsir, di kala itu, menjabat sebagai kepala biro pendidikan Kodya Bandung.

Pada tahun 1932-1942, beliau memimpin Lembaga Pendidikan Islam (PENDIS). Lembaga ini menjadi model alternative dari sistem pendidikan kolonial. Sekaligus hadir sebagai jawaban dari sistem pendidikan sekular belanda saat itu. Beliau berpendapat pendidikan bukanlah bersifat parsial. Pendidikan adalah universal, ada keseimbangan (balance) antara aspek intelektual dan spiritual, antara sifat jasmani dan rohani, tidak ada dikotomis antar cabang-cabang ilmu.[24][25] Beliau berusaha menggabungkan pendidikan pengetahuan umum dengan agama. Beliau tidak sepakat dengan sistem pendidikan sekular, yang memisahkan agama dari dunia. Pendis juga menjadi cikal bakal lahirnya Universitas Islam Bandung (UNISBA), yang saat menjadi universitas terpandang di kota kembang.

Setelah matang membangun Pendis, Natsir mengarahkan andilnya untuk membangun perguruan Islam lainnya. Beliau melakukan adanya koordinasi dan penyelarasan program pendidikan perguruan Islam bakal melahirkan institusi pendidikan Islam yang memiliki keseragaman dasar dan cita-cita. Guna merealisasikan tujuannya ini, beliau menyeru perguruan dan institusi pendidikan Islam di Indonesia untuk membentuk wadah bersama yang diberi nama Perikatan perguruan –Perguruan Muslim (PERMUSI).[26]

Beliau juga tercatat sebagai penggagas di balik berdirinya Badan Kerja Sama Perguruan tinggi Islam Swasta (BKS PTIS) yang kini memiliki anggota lebih dari 500 PTIS se Indonesia.[27]

Dari gagasan M. Natsir lahirlah kampus-kampus Islam yang memiliki nama besar, seperti Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta, Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) di Medan, Universitas Islam Bandung (UNISBA) di Bandung, Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Makasar, Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) di Semarang, Universitas Islam Riau (UIR) di Riau, Universitas Al-Azhar Indonesia, dan LPDI Jakarta yang kini menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir.

Pada tahun 1982, M. Natsir juga pernah mengkritik keras isi buku PMP yang berisi ajaran Pruralisme agama. Di antaranya dalam hal 14 yang berbunyi: semua agama di Indonesia adalah baik dan suci tujuannya. Setelah dikoreksi kalimat tersebut berbunyi, “Semua agama di Indonesia adalah baik dan suci tujuannya, menurut agama masing-masing.” Koreksi ini kata beliau, bukan memperjelas, tapi membingungkan. “Mana ada satu agama yang tidak menganggap dirinya sendiri suci dan benar? Apakah dianggap perlu, PMP mengajarkan kepada anak keturunan kita yang sedang tumbuh itu umpamanya, kertas putih ini warnanya putih!?” tulis M. Natsir.[28]

Penutup

Inilah pemikiran Pak M. Natsir dalam dunia pendidikan, yang membuktikan bahwa beliau seorang tokoh Islam yang memiliki pandangan luas tentang kemaslahatan umat Islam. semoga kita sebagai generasi yang datang sesudahnya mampu mengembangkan pemikiran-pemikiran beliau untuk kemalahatan Islam dan kaum muslimin. Wallahu A’lam bi ash-Shawab!!!

Sumber :
Konsep Pendidikan Mohammad Natsir, badrul tamam, http://www.voa-islam.com/teenage/moslem-heroes/2009/07/09/187/


Referensi:

Natsir, Mohammad, Capita Selecta, dihimpun oleh D.P. Sati Salimin, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, Cet III, 1973.

____________, Majalah Al-Mujtama’, Eidi 3 Th I, Seabad Mohammad Natsir: Maestro Dakwah Yang Tak Kenal Lelah, Juli 2008.

____________, Majalah Sabili, Edisi Khusus 100 Tahun Mohammad Natsir,

Prof. DR. H. Abuddin Nata, M.A. Filsafat Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta,

____________, Majalah Media Dakwah, no. 251, Mei 1995.


[1] Mohammad Natsir, Capita Selecta, dihimpun oleh D.P. Sati Salimin, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, Cet III, 1973, hal. 77

[2] Ulil Amri Syafri, M.A, Pemikiran Pendidikan Natsir; Parade Yang Belum Usai, dalam Majalah Al-Mujtama’, Eidi 3 Th I, JUli 2008, Hal. 45

[3] Ganna Parydharizal, Konsep Pendidikan M. Natsir “Mendidik Umat Dengan Tauhid”, diambil dari Majalah Sabili, Edisi Khusus 100 tahun Mohammad Natsir, hal. 44.

[4] Prof. DR. H. Abuddin Nata, M.A. Filsafat Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, hal, 101

[5] Ibid, hal.102

[6] M. Natsir, Capita Selecta, Hal. 78

[7] Majalah Al-Mujtama’, hal. 68

[8] Ulil Amri Safri, MA, Pemikiran Pendidikan Natsir Parade Yang Belum Usai, dalam Majalah Al-Mujtama’, hal. 45.

[9] Prof. DR. H. Abuddin Nata, M.A. Filsafat Pendidikan Islam, hal.102

[10] Mohammad Natsir, Capita Selecta I, hal. 82

[11] Mohammad Natsir, Capita Selecta I, hal. 84

[12] Ibid

[13] Ibid, hal. 142

[14] Ibid, hal. 143

[15] Ibid: hal. 143

[16] Ibid

[17] Ulil Amri Safri, MA, Pemikiran Pendidikan Natsir Parade Yang Belum Usai, dalam Majalah Al-Mujtama’, hal. 45.

[18] Amrullah Ahmad, Pendidikan Dalam Perspektif Epistemologi Islam, dalam Media Dakwah, no. 251, Mei 1995, hal. 34

[19] Ibid

[20] Ganna Parydharizal, Konsep Pendidikan M. Natsir “Mendidik Umat Dengan Tauhid”, diambil dari Majalah Sabili, Edisi Khusus 100 tahun Mohammad Natsir, hal. 47

[21] Ibid, hal. 85

[22] Ibid

[23] Mohammad Natsir, Capita Selecta I, hal. 81

[24] Ulil Amri Safri, MA, Pemikiran Pendidikan Natsir Parade Yang Belum Usai, dalam Majalah Al-Mujtama’, hal. 45.

[25] Ganna Parydharizal, Konsep Pendidikan M. Natsir “Mendidik Umat Dengan Tauhid”, diambil dari Majalah Sabili, Edisi Khusus 100 tahun Mohammad Natsir, hal. 48

[26] Ibid,

[27] Ibid

[28] Hepi Andi Bastomi, Menjaga Pelita Agar Tak Padam, diambil dari Majalah Al-Mujtama’, Edisi 3, th. 1, JUli 2008, hal. 36

Iklan dari, oleh dan untuk Blogger