Minggu, 15 November 2009

Mengenang Tokoh Diplomasi RI Mr. Mohammad Roem (Bagian I)

Mohammad Roem menjabat Menteri Luar Negeri Indonesia dalam kabinet Natsir. Ia tidak pernah menyimpan dendam kepada Soekarno yang telah memenjarakannya di Madiun. Ia memang menyebut Soekarno oligarkis dan feodal.

Hal itu terungkap dalam pembukaan Annual Lecture bertajuk ”Mengenang Tokoh Diplomasi Mohammad Roem”, Selasa (16/6) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan, dalam pertemuannya dengan Mohammad Roem, Hassan sempat menanyakan apakah Roem sakit hati saat dipenjarakan Soekarno. Jawaban Roem kala itu, dalam politik, menang atau kalah merupakan hal biasa. Perbedaan tajam tidak pernah menghalangi hubungan baik antarpribadi.

Sebagai diplomat, kala itu, Mohammad Roem memang tidak semenonjol Sutan Sjahrir. Ia bukanlah pemikir seperti Sjahrir. Namun, perannya dalam kemerdekaan Indonesia tidak kecil.

Perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Belanda yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Roem-Roijen adalah sebagian kecil dari kiprahnya di dunia diplomasi. Perjanjian tersebut menjadi tapak penting bagi lahirnya perjanjian Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Perjanjian tersebut telah mengantarkan lahirnya pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia.

Upaya kerasnya dalam berdiplomasi mengantarkan Indonesia dalam ruang kemerdekaan. Meski pada satu masa Soekarno memenjarakannya, tidak pernah sedetik pun ia menyimpan dendam kepada proklamator itu. Ia berani mengambil risiko dan tetap berjiwa besar, ciri yang selayaknya dimiliki para pemimpin Indonesia saat ini jika mereka ingin menjadi negarawan. (B Josie Susilo)

Komentar Pak Rushdy Hoesein Tentang Mohammad Roem (dari milis Historia-Indonesia)

Roem memang tidak mendendam, tapi dia tidak pernah melupakan peristiwa ketika Roem dan teman-temanya (termasuk Sjahrir, Natsir, Sjafrudin dan lain-lain) tahun 1962 dipenjarakan Soekarno di Madiun. Tidak terlepas dari itu, masih selalu muncul pertanyaan, kenapa mereka tidak diadili.

Soal Diplomasi, mungkin benar Roem tidak sekaliber Sjahrir, tapi dia tidak berada dibawah Sjahrir. Roem orang hebat karena diplomat tulen. Karirnya dimulai sejak diangkat sebagai ketua KNI daerah Jakarta Serptember 1945, dia bersama Soewirjo berunding dengan Kempetai agar pemerintah pendudukan mengizinkan dilanjutkannya “Rapat Raksasa Ikada 19 September 1945″. Dan Jepang terpaksa menyetujuinya karena olehnya dijelaskan hanya Soekarno yang bisa membubarkan rakyat yang sudah berkumpul sejak subuh di lapang Ikada yang sebanyak 200.000 orang itu.

Dirinya pernah ditembak Belanda di rumahnya di Kwitang sehingga cacat sampai akhir hayatnya. Dirinya terpilih menjadi Menteri dalam kabinet Sjahrir ke III tahun 1946 dan diangkat menjadi delegasi Indonesia dalam perundingan Linggajati. Dalam perundingan sebagaimana tertulis dalam notulen, dirinya ikut berdebat secara sengit. Pasal-pasal yang menyangkut hukum tatanegara bersama Soesanto Tirtoprodjo dan Amir Sjarifudin secara cermat diperhatikan agar jangan lolos menguntungkan Belanda. Namun demikian sungguh berat baginya karena harus membela Linggajati dari serangan partainya sendiri, Masyumi yang anti Linggarjati.

Dirinyalah satu-satunya anggota delegasi yang langsung protes karena pada tanggal 12 November 1946 malam dalam kunjungan delegasi Belanda yang dipimpin Prof. Schermerhorn guna menghadap Soekarno, tiba-tiba Soekarno menyetujui naskah Linggarjati padahal masih perlu dirundingkan lebih lanjut. Roem juga terpilh sebagai diplomat dalam perundingan Renville, pernyataan bersama (bukan perundingan) antara Mohammad Roem dan Van Roijen serta Roem adalah anggota delegasi utama yang dipimpin Hatta dalam Konperensi Meja Bundar. Setelah itu Roem adalah ketua Komite pembentukan pemerintahan RIS dan yang paling bergengsi, sesuai hasil KMB, Roemlah yang diangkat sebagai Komisaris Agung pertama di Den Haag Belanda.

Dalam zaman Soeharto, mungkin yang tidak juga dilupakannya adalah saat musyawarah Parmusi di Malang tahun 1968, dimana pemerintah Orde Baru tidak sudi kalau Partai itu dipimpin Roem dan SekJen Lukman Harun. Perjalanan sejarah akhirnya menempatkan tokoh diplomat tua ini benar-benar istirahat di bidang politik sampai akhir hayatnya. Beliau wafat tanggal 24 September 1983 dalam usia 75 tahun.

Dirinya adalah salah seorang murid dari H.Agus Salim. Sebagai jebolan Jong Islammieten Bond, sumpah setianya pada Partai Masjumi tanpa akhir.

Sumber :
Hidayatulah Edisi 12/XV 2003 – Sejarah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan dari, oleh dan untuk Blogger