Jumat, 27 November 2009

Mengenang Tokoh Diplomasi RI Mr. Mohammad Roem (Bagian II)

Dalam catatan sejarah nasional, nama tokoh ini sangat mencuat di akhir tahun 1940-an. Waktu itu Mr Mohammad Roem diamanahi oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai ketua tim juru runding RI dalam perundingan dengan Belanda. Tim juru runding dari Belanda diketuai Van Royen. Akhirnya perundingan yang berlangsung pada tanggal 14 April 1949 itu diberi nama “Perundingan Roem-Royen”.

Mohammad Roem lahir di Desa Klewongan, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah pada tanggal 16 Mei 1908. Ia lahir sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Djulkarnaen Jayasasmito, ibunya bernama Siti Tarbiyah.

Pendidikannya dimulai di Volkschool (Sekolah Rakyat, sekolah dasar di masa Belanda) di desa kelahirannya. Ia kemudian melanjutkan ke HIS (Holland Inlandsche School) Temanggung sampai kelas III, dan diteruskan ke HIS Pekalongan. Dan tamat dari HIS Pekalongan pada tahun 1924.

Semangat perjuangannya mulai bersemi sejak di HIS. Kisahnya bermula tatkala seorang gurunya yang berkebangsaan Belanda menghardik Roem, “Zeg, Inlander!”. Dasar pribumi, begitu kira-kira artinya.

Roem sangat tersinggung dihardik demikian. Sebagai orang pribumi ia merasa dirinya dihina dan dilecehkan. Ia kemudian teringat sejumlah papan larangan di gedung-gedung bioskop, di rumah makan, dan lain-lain tempat yang mengharamkan orang pribumi masuk.

Penghinaan itu belum selesai. Diwaktu istirahat ada seorang murid Belanda yang mendorong-dorong tubuh Roem sambil mengolok-olok, “Inlander! Inlander!” Akibat dorongan itu Roem jatuh terjerembab. Tapi ia segera bangkit lalu dikejarnya anak Belanda itu. Setelah tertangkap ditinjunya perut si anak bule itu hingga muntah-muntah.

Peristiwa itu sangat membekas pada diri Roem. Ia kemudian bertekad untuk memerdekakan bangsanya agar tak lagi dihina bangsa asing. Untuk mewujudkan niatnya itu sambil bersekolah Roem kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).

Mula-mula Roem bersemangat di kelompok pemuda itu. Namun belakangan ia tidak betah berada di lingkungan Jong Java, karena aspirasi Islam tidak tertampung di situ, ia bersama Syamsuridjal dan beberapa tokoh lainnya memilih keluar, lalu pada tahun 1925 mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB) atau Himpunan Pemuda Islam.

Dalam JIB ini Roem dipercaya menjadi salah seorang anggota pimpinan pusatnya. Kemudian pada tahun 1930 ia menjadi ketua Panitia Kongres JIB di Jakarta. Ketika JIB membentuk kepanduan (Natipij) ia menjadi ketua umumnya.

Pada tahun 1930 Roem tamat dari Algemene Middlebare School (AMS) atau sekolah menengah atas. Ia kemudian melanjutkan sekolah ke Rechts Hoge School (RHS) atau Sekolah Tinggi Hukum. Dari perguruan tinggi tersebut ia berhasil meraih gelar Mester in de Rechten (Mr) atau Sarjana Hukum pada tahun 1939. Skripsinya tentang Hukum Adat Minangkabau.

Sambil kuliah dan mengurus JIB, Roem aktif di Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Pada tahun 1932 ia menjadi ketua Panitia Kongres PSII di Jakarta. Ketika terjadi kemelut di PSII, ia bersama-sama Haji Agus Salim keluar dari partai tersebut dan mendirikan PSII-Penyadar. Dalam partai baru tersebut ia menjadi Ketua Komite Centraal Executif (Lajnah Tanfidziyah).

Kemelut itu terjadi karena PSII dalam pandangan Roem lebih menekankan pada aspek politik sementara tujuan dasar SI, yaitu memajukan perekonomian bumiputera, tidak diperhatikan lagi. Syarikat Islam juga tidak memperhatikan lagi masalah pendidikan agama Islam atau pengkaderan.

Untuk mengamalkan ilmu hukumnya, Roem membuka kantor pengacara (advokat) di Jakarta. Sebagian di antara organisasi yang mempercayakan jasa kepengacaraannya adalah Rumah Piatu Muslim di Jakarta dan Perhimpunan Dagang Indonesia (Perdi) di Purwokerto.

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Roem dipercaya sebagai Ketua Muda “Barisan Hizbullah” di Jakarta. Barisan Hizbullah adalah organisasi semi-militer di bawah naungan Masyumi.

Dalam Muktamar Masyumi tahun 1947 diputuskan bahwa ummat Islam harus ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Negara Islam Indonesia tidak akan tegak kalau Indonesia belum merdeka, itulah alasannya. Oleh karena itulah para pimpinan dan anggota Masyumi berjuang mati-matian mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Apalagi setelah ada fatwa wajib jihad kepada seluruh umat Islam dari Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama yang juga salah seorang pendiri Masyumi.

Mohammad Roem-pun berjihad mati-matian mempertahankan kemerdekaan Indonesia, utamanya melalui jalur perundingan/diplomasi. Sikapnya untuk selalu menghargai pendapat orang lain meski berbeda dengan pendapatnya, menunjang keberhasilannya sebagai diplomat.

Oleh Pemerintahan Soekarno ia mendapat amanah menjadi angota tim juru runding RI dalam perundingan Renville 17 Januari 1948. Kemudian, seperti telah disinggung di atas, Roem diangkat sebagai ketua juru runding RI dalam perundingan Roem-Royen pada tanggal 14 April 1949.

Perundingan tersebut dinilai berhasil karena telah mendorong segera terselenggaranya Konferensi Meja Bundar dan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda tahun 1949.

Di masa berikutnya Roem pernah menjabat sebagai menteri dalam negeri dalam kabinet Natsir (1950-1953) serta pernah juga menjadi wakil perdana menteri dalam kabinet Ali Sastroamijoyo (1956-1957).

Pada masa Demokrasi Terpimpin, terjadi konflik antara Masyumi dengan Presiden Soekarno. Apalagi kemudian beberapa pemimpin Partai Masyumi, seperti Natsir bergabung dalam pemberontak PRRI.

Sejak Partai Masyumi membubarkan diri, karena dipaksa Soekarno, pada tanggal 17 Agustus 1960, Roem tidak lagi memegang jabatan di pemerintahan. Ia kemudian memusatkan perhatian pada penulisan buku dan penelitian sejarah perpolitikan di Indonesia serta bidang ilmiah lainnya.

Kegiatan ini tidak berjalan lancar, karena pada tanggal 16 Januari 1962, ia bersama-sama dengan beberapa tokoh Masyumi dan PSI ditahan pemerintah tanpa pengadilan. Mereka dituduh oleh Pemerintahan Presiden Soekarno terlibat peristiwa Cendrawasih, yakni peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di Makassar.

Roem dan kawan-kawan bisa keluar dari tahanan pada tahun 1966 setelah pemerintahan Soekarno goyang usai pemberontakan PKI tahun 1965. Selepas dari penjara kegiatan menulis buku dan penelitian diteruskan kembali. Salah satu kesibukannya antara lain menjadi Wakil Ketua Dewan Kurator Sekolah Tinggi Kedokteran Islam Jakarta pada tahun 1971.

Pada tahun 1969 Roem sempat hampir kembali ke kancah politik setelah terpilih sebagai ketua Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Ini adalah partai ‘jelmaan’ Masyumi yang didirikan oleh para mantan kader Masyumi.

Sayangnya Soeharto, presiden waktu itu, tidak menyetujui. Soeharto khawatir, jika dipimpin Roem, Parmusi bisa menjadi partai besar seperti Masyumi dulu, hingga menyaingi Golkar. Atas desakan pemerintah, terpaksa Roem batal jadi Ketua Parmusi, digantikan oleh Djarnawi Hadikusumo.

Sejak itu Roem betul-betul undur diri dari dunia politik praktis. Kemudian bersama-sama M Natsir dan kawan-kawan mantan kader Masyumi lainnya mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di tahun 1970-an. Di tempat inilah kakek dari Adi Sasono ini berkhidmat bersama para warga Bulan Bintang.

Sejak itu Roem aktif dalam berbagai fora Islam internasional, antara lain menjadi anggota Dewan Eksekutif Muktamar Alam Islami (1975), Member of Board Asian Conference of Religion for Peace di Singapura (1977) serta menjadi anggota Konferensi Menteri-Menteri Luar Negeri Islam di Tripoli (1977).

Meski begitu perhatiannya pada perkembangan Islam di tanah air tidak juga berkurang. Suat ketika Amien Rais dalam wawancaranya dengan majalah Panji Masyarakat (no 379/1982) menyatakan tidak ada negara Islam dalam Al-Quran dan As-Sunnah, “Oleh karena itu tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam,” kata Amien Rais.

Atas pandangan Amien itu kemudian Roem mengirimkan tanggapan ke majalah yang sama. Roem membenarkan, bahwa memang tidak ada negara Islam dalam nama, namun secara substansial ada. “…Pada akhir hayat Nabi, pada saat Surat Al-Maidah ayat 3 diwahyukan, maka sudah tumbuh sebuah masyarakat yang dibangun oleh dan di bawah kepemimpinan Nabi sendiri, yang tidak diberi nama khusu oleh Nabi, akan tetapi sudah mempunyai ciri-ciri sebagai negara, sedang hukumnya oleh Tuhan sudah dinamakan sempurna… Saya rasa selama tidak lebih dari tiga bulan itu di dunia pernah ada ‘Negara Islam’ atau Islamic State, tidak dalam nama, melainkan dalam substance, dalam hakikatnya.”

Sesudah itu Nurcholish Madjid yang sedang berada di Chicago menyuratinya, sehingga berlangsung korespondensi antara mereka berdua selama beberapa bulan. Setelah korespondensi berakhir, Mohammad Roem dipanggil ke hadhirat Allah pada tanggal 24 September 1983.

Pada tahun 1997 kumpulan korespondensi itu plus wawancara Amien Rais dengan majalah Panji Masyarakat serta tanggapan Roem dibukukan dan diterbitkan oleh Adi Sasono, lalu diberi judul “Tidak Ada Negara Islam; Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohammad Roem”.

Judul buku itu jelas menyesatkan, seolah-olah Roem menafikan keberadaan negara Islam. Padahal sesungguhnya, sebagaimana kutipan di atas, Roem mengakui pernah ada negara Islam, meski tidak dinamakan Negara Islam, yakni pemerintahan yang dipimpin oleh Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. (Sumber Hidayatulah Edisi 12/XV 2003 – Sejarah )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan dari, oleh dan untuk Blogger