Selasa, 10 November 2009

Mengenang Kembali Mr. Mohammad Roem (Bagian Kedua : Roem Seorang Diplomat)

Posisi Roem sebagai seorang menteri luar negeri dalam pemerintahan Syahrir ke III membuatnya banyak terlibat dalam perundingan Linggarjati. Roem terkenal rewel dan alot dalam perundingan Linggarjati ini. Sikapnya itu sangat menjengkelkan ketua delegasi Belanda yaitu Prof. Schemerhorn. Dalam bukunya Schemerhorn banyak melayangkan pujian kepada Syahrir atas sikapnya yang tidak banyak menuntut tetapi tiada pujian bagi Roem. Schemerhorn menamakan sikap Roem itu sebagai “Roem begon hiertegen te steigeren” (Roem mulai meronta-kuda). Bahkan sampai menjelang berakhirnya proses perjanjian Linggarjati Roem masih tetap saja rewel dan menjengkelkan pihak Belanda. Ada satu kejadian yang di kemudian hari membuat Schemerhorn merasa malu, yaitu insiden kertas merah jambu.

Ketika suatu sidang akan ditutup dan kedua delegasi sudah payah, Roem masih berbicara dan mengajukan usul terhadap rumusan mengenai pasal 1 Persetujuan Linggarjati. Roem menuliskan usulan tersebut dalam kertas warna merah jambu. Karena Schemerhorn sudah berdiri dan hendak meninggalkan sidang maka jawabnya tukas saja: “Berikan saja pada Tuan Samkalden, kedengarannya menarik juga, nanti kita bicarakan lebih lanjut”.

Pada pertemuan selanjutnya yang dijadwalkan akan berlangsung pendek saja, ternyata berlangsung seret dengan tuntutan Roem tentang isi kertas merah jambu yang ia serahkan pada pertemuan sebelumnya. Samkalden menyatakan tidak menerima kertas itu dan tidak ingat tentangnya. Tetapi belakangan hari Schemerhorn tahu bahwa kertas itu disimpan oleh Samkalden dengan baik di lemari-lemari surat. Kebohongan Samkalden inilah yang membuat hati nurani Schemerhorn berasa tidak enak.

Peran Roem dalam berbagai perundingan tidak berhenti disini, setelah kejatuhan kabinet Syahrir dan diikuti juga kejatuhan kabinet Amir Syarifudin. Pucuk pemerintahan dipegang oleh Hatta. Atas usul PBB dimulailah kembali perundingan dengan Belanda pada pertengahan bulan Maret 1948. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Roem dan sebagai wakilnya ditunjuk Mr. Ali Sastroamidjojo. Tetapi perundingan ini banyak menemui kebuntuan sehingga tidak menghasilkan suatu keputusan penting.

Puncak dari semuanya adalah agresi militer Belanda II yang terjadi tanggal 19 Desember 1948. Belanda menduduki pusat pemerintahan Republik yaitu kota Yogyakarta dan menawan para pemimpin Republik. Tidak terkecuali Roem juga ikut ditawan.

Mr. Ali Sastroamidjojo melukiskan dalam memoirnya : “Kurang lebih seminggu sesudah kami ditawan di gedung negara, suasana menjadi hangat. Sebab sampai jauh malam pejuang-pejuang kita melepaskan tembakan-tembakan ke arah gedung itu. Terang tembakan-tembakan itu dimaksudkan sebagai siasat untuk membebaskan kami, terutama presiden dan wakil presiden. Komandan pasukan penjagaan tempat tawanan menjadi gelisah. Pada kira-kira pukul 2 pagi menjelang tanggal 30 Desember 1948 kami dibangunkan dan dikumpulkan dalam kamar tamu dibagian depan sebelah kanan yang semua lampu-lampunya dinyalakan. Di kamar itu kami dikepung oleh beberapa serdadu Belanda yang menodongkan karabijn mereka ke arah kami. Oleh karena lampu terang benderang tentulah dari tempat-tempat pejuang kita bersembunyi yaitu di gedung Bank Indonesia dan Kantor Pos yang letaknya 200-300 m dari tempat kami ditawan, terlihat dengan jelas apa yang akan terjadi dengan kami, apabila sebutir peluru saja dari para pejuang itu mengenai salah satu serdadu Belanda. Maka tembakan-tembakan mereka berhenti tiba-tiba. Baru kira-kira pukul 5 pagi kami diperbolehkan kembali ke kamar kami masing-masing."

"Pada tanggal 31 Desember 1948 kira-kira pukul 06.30 pagi, kami sudah berkumpul di ruangan makan untuk bersarapan. Tetapi tahu-tahu kami harus menyaksikan keberangkatan Bung Karno, Bung Hatta, Saudara-saudara Mr. Assaat, Komodor Suryadarma, Mr. Pringgodigdo, Sutan Syahrir dan Haji Agus Salim diangkut menggunakan 3 buah jeep dan dikawal oleh serdadu-serdadu Belanda bersenjatakan lengkap….”

“Dua hari kemudian Mr. Mohammad Roem dan saya mendapat giliran. Pagi-pagi benar kami disuruh untuk turut dengan seorang perwira Belanda naik Jeep dan dibawanya ke jurusan Maguwo. Hendak dibawanya kemana kami tidak diberitahu..”, begitu sekilas kisah yang diutarakan oleh Mr. Ali Sastroamidjojo.

Roem ditawan bersama dengan Hatta, Ali Sastroamidjojo, Mr. Assaat, Mr. Pringgodigdo dan Komodor Suryadarma di Menumbing, Bangka dalam dua ruangan berukuran 6x6 meter dan 4x10 meter. Mereka inilah yang disebut kelompok Menumbing. Roem melukiskan bahwa keadaan para pemimpin Republik yang menjadi tawanan di Menumbing cukup terkendali berkat wibawa dan kebijaksanaan Hatta. Ini tentu berlainan dengan keadaan di kelompok Prapat dimana Sukarno dan Syahrir berseteru.

Atas usaha keras diplomasi para wakil Indonesia di luar negeri dan desakan dunia internasional maka dibukalah kembali rencana-rencana perundingan Indonesia-Belanda. Tercatat bahwa Sukarno-Hatta menolak undangan Dr. Beel, wakil Belanda, untuk mengadakan suatu Konferensi Meja Bundar di Belanda yang sedianya akan dilangsungkan tanggal 12 Maret 1949. Para pemimpin Republik mengharapkan bahwa kedaulatan pemerintahan Republik di Yogyakarta harus dikembalikan secara penuh terlebih dahulu baru dirintis ke arah Konferensi Meja Bundar.

Untuk menuju kearah sana maka ditunjuklah Roem sebagai ketua delegasi dari Indonesia, lihat juga sebelum terjadi aksi Agresi Militer II Belanda Roem telah ditunjuk sebagai ketua delegasi perundingan. Ada usulan awal untuk menjadikan Syahrir sebagai ketua delegasi karena ditakutkan Roem tidak akan sanggup menghadapi kekuatan delegasi dari Belanda. Tapi usulan ini juga ditolak karena Syahrir sendiri semenjak perundingan Renville tidak pernah mau duduk sebagai anggota delegasi. Akhirnya Syahrir ditetapkan sebagai penasihat. Penunjukan Syahrir sebagai penasihat disarankan untuk dibuatkan satu surat pengesahan dari pemimpin Republik untuk memperkuat kedudukan Syahrir, dengan alasan terdapat beberapa anggota yang tidak terlalu simpatik dengan Syahrir.

Surat pengesahan inilah yang kemudian menimbulkan konflik baru antara Sukarno dengan Syahrir. Ketika Surat Pengesahan sudah ditandatangani oleh Sukarno, kemudian dibawa ke Jakarta oleh Roem untuk diberikan kepada Syahrir, berkata Syahrir dengan sengit, “Apa dia (Sukarno) itu. Mengapa dia yang harus mengangkat saya. Yang seharusnya mengangkat saya adalah Syafruddin (Kepala PDRI di Sumatra)”, Roem pun kesal dibuatnya, terlebih-lebih Sukarno setelah mendengar berita itu. Semua itu terjadi menjelang perundingan Roem-Roijen. Bahkan pada saat perundingan berlangsung setiap kali diadakan rapat Syahrir tidak pernah datang, walaupun sudah diundang oleh ketua delegasi.

Perundingan Roem-Roijen dimulai pada tanggal 14 April 1949 atas prakarsa Komisi Tiga Negara PBB. Delegasi Indonesia diwakili oleh Mohammad Roem dan delegasi Belanda diwakili oleh Dr. J.H. Van Roijen dan ketua KTN adalah Cochran. Pidato yang disampaikan Roijen lemah lembut, sedangkan pidato yang disampaikan Roem tegas dan keras. Ali Sastroamidjojo melukiskannya dengan kata “agak seram”.

Perundingan yang berlangsung di Hotel Des Indes ini berakhir secara resmi pada tanggal 7 Mei 1949 pukul 17.00. Isi perundingan itu sebagai berikut :

Delegasi Indonesia menyatakan kesediaan Pemerintah RI untuk:

  1. Mengeluarkan perintah kepada pengikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya.
  2. Bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
  3. Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sunguh dan lengkap kepada negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.


Pernyataan Belanda pada pokoknya berisi:

  1. Menyetujui kembalinya pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
  2. Membebaskan semua tahanan politik dan menjamin penghentian gerakan militer.
  3. Tidak akan mendirikan negara-negara yang ada di daerah Republik dan dikuasainya dan tidak akan meluaskan daerah dengan merugikan Republik.
  4. Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari negara Indonesia Serikat.
  5. Berusaha dengan sungguh-sungguh supaya KMB segera diadakan setelah pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.


Hasil perundingan ini menimbulkan pro dan kontra. Terutama dari pihak TNI yang tidak setuju dengan istilah “Pengikut republik yang bersenjata” (lihat kembali hasil perundingan Roem-Roijn). Panglima Sudirman langsung melontarkan protes keras kepada Roem. Para pemimpin PDRI pun ikut menyatakan kekecewaannya karena perundingan-perundingan yang dilakukan oleh para pemimpin di Bangka tidak didiskusikan terlebih dahulu dengan para pemimpin PDRI. Mereka khawatir sebuah perundingan yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin yang ditawan dengan pihak musuh akan banyak mengundang kerugian.

Terlepas dari kekurangan maupun kelemahan hasil perundingan itu akhirnya semua harapan para pemimpin Republik dapat berjalan lancar. Tanggal 6 Juli 1949 para Pemimpin Republik yang dibuang ke Bangka kembali ke Yogyakarta yang artinya kedaulatan Republik sudah dikembalikan seperti sebelum agresi mliter II. Roem tidak ikut serta dalam rombongan dari Bangka karena ia harus tinggal di Jakarta untuk mempersiapkan penyerahan kekuasaan Belanda kepada Indonesia dalam waktu dekat.

Pada tanggal 24 Juli 1949 terbentuklah susunan delegasi RI ke Konferensi Meja Bundar dengan ketua Mohammad Hatta dan Roem bertindak sebagai wakil ketua. KMB berlangsung di Den Haag dari tanggal 23 Agustus 1949 dan berakhir tanggal 2 November 1949. Pada tanggal itu juga Roem dan T.B. Simatupang segera dikirim kembali ke Indonesia untuk segera melaporkan hasil konferensi kepada Presiden Sukarno.

Penyerahan kedaulatan secara De Jure sendiri secara resmi dilakukan tanggal 27 Desember 1949 baik di Belanda, diwakili Mohammad Hatta, maupun di Indonesia, diwakili oleh Sri Sultan Hamengkubowono IX.

sumber :

http://www.askarlo.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=66:mengenang-kembali-mohamad-roem-bagian-i&catid=45:edukasi&Itemid=82

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan dari, oleh dan untuk Blogger