Jumat, 27 November 2009

Mengenang Tokoh Diplomasi RI Mr. Mohammad Roem (Bagian II)

Dalam catatan sejarah nasional, nama tokoh ini sangat mencuat di akhir tahun 1940-an. Waktu itu Mr Mohammad Roem diamanahi oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai ketua tim juru runding RI dalam perundingan dengan Belanda. Tim juru runding dari Belanda diketuai Van Royen. Akhirnya perundingan yang berlangsung pada tanggal 14 April 1949 itu diberi nama “Perundingan Roem-Royen”.

Mohammad Roem lahir di Desa Klewongan, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah pada tanggal 16 Mei 1908. Ia lahir sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Djulkarnaen Jayasasmito, ibunya bernama Siti Tarbiyah.

Pendidikannya dimulai di Volkschool (Sekolah Rakyat, sekolah dasar di masa Belanda) di desa kelahirannya. Ia kemudian melanjutkan ke HIS (Holland Inlandsche School) Temanggung sampai kelas III, dan diteruskan ke HIS Pekalongan. Dan tamat dari HIS Pekalongan pada tahun 1924.

Semangat perjuangannya mulai bersemi sejak di HIS. Kisahnya bermula tatkala seorang gurunya yang berkebangsaan Belanda menghardik Roem, “Zeg, Inlander!”. Dasar pribumi, begitu kira-kira artinya.

Roem sangat tersinggung dihardik demikian. Sebagai orang pribumi ia merasa dirinya dihina dan dilecehkan. Ia kemudian teringat sejumlah papan larangan di gedung-gedung bioskop, di rumah makan, dan lain-lain tempat yang mengharamkan orang pribumi masuk.

Penghinaan itu belum selesai. Diwaktu istirahat ada seorang murid Belanda yang mendorong-dorong tubuh Roem sambil mengolok-olok, “Inlander! Inlander!” Akibat dorongan itu Roem jatuh terjerembab. Tapi ia segera bangkit lalu dikejarnya anak Belanda itu. Setelah tertangkap ditinjunya perut si anak bule itu hingga muntah-muntah.

Peristiwa itu sangat membekas pada diri Roem. Ia kemudian bertekad untuk memerdekakan bangsanya agar tak lagi dihina bangsa asing. Untuk mewujudkan niatnya itu sambil bersekolah Roem kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).

Mula-mula Roem bersemangat di kelompok pemuda itu. Namun belakangan ia tidak betah berada di lingkungan Jong Java, karena aspirasi Islam tidak tertampung di situ, ia bersama Syamsuridjal dan beberapa tokoh lainnya memilih keluar, lalu pada tahun 1925 mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB) atau Himpunan Pemuda Islam.

Dalam JIB ini Roem dipercaya menjadi salah seorang anggota pimpinan pusatnya. Kemudian pada tahun 1930 ia menjadi ketua Panitia Kongres JIB di Jakarta. Ketika JIB membentuk kepanduan (Natipij) ia menjadi ketua umumnya.

Pada tahun 1930 Roem tamat dari Algemene Middlebare School (AMS) atau sekolah menengah atas. Ia kemudian melanjutkan sekolah ke Rechts Hoge School (RHS) atau Sekolah Tinggi Hukum. Dari perguruan tinggi tersebut ia berhasil meraih gelar Mester in de Rechten (Mr) atau Sarjana Hukum pada tahun 1939. Skripsinya tentang Hukum Adat Minangkabau.

Sambil kuliah dan mengurus JIB, Roem aktif di Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Pada tahun 1932 ia menjadi ketua Panitia Kongres PSII di Jakarta. Ketika terjadi kemelut di PSII, ia bersama-sama Haji Agus Salim keluar dari partai tersebut dan mendirikan PSII-Penyadar. Dalam partai baru tersebut ia menjadi Ketua Komite Centraal Executif (Lajnah Tanfidziyah).

Kemelut itu terjadi karena PSII dalam pandangan Roem lebih menekankan pada aspek politik sementara tujuan dasar SI, yaitu memajukan perekonomian bumiputera, tidak diperhatikan lagi. Syarikat Islam juga tidak memperhatikan lagi masalah pendidikan agama Islam atau pengkaderan.

Untuk mengamalkan ilmu hukumnya, Roem membuka kantor pengacara (advokat) di Jakarta. Sebagian di antara organisasi yang mempercayakan jasa kepengacaraannya adalah Rumah Piatu Muslim di Jakarta dan Perhimpunan Dagang Indonesia (Perdi) di Purwokerto.

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Roem dipercaya sebagai Ketua Muda “Barisan Hizbullah” di Jakarta. Barisan Hizbullah adalah organisasi semi-militer di bawah naungan Masyumi.

Dalam Muktamar Masyumi tahun 1947 diputuskan bahwa ummat Islam harus ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Negara Islam Indonesia tidak akan tegak kalau Indonesia belum merdeka, itulah alasannya. Oleh karena itulah para pimpinan dan anggota Masyumi berjuang mati-matian mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Apalagi setelah ada fatwa wajib jihad kepada seluruh umat Islam dari Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama yang juga salah seorang pendiri Masyumi.

Mohammad Roem-pun berjihad mati-matian mempertahankan kemerdekaan Indonesia, utamanya melalui jalur perundingan/diplomasi. Sikapnya untuk selalu menghargai pendapat orang lain meski berbeda dengan pendapatnya, menunjang keberhasilannya sebagai diplomat.

Oleh Pemerintahan Soekarno ia mendapat amanah menjadi angota tim juru runding RI dalam perundingan Renville 17 Januari 1948. Kemudian, seperti telah disinggung di atas, Roem diangkat sebagai ketua juru runding RI dalam perundingan Roem-Royen pada tanggal 14 April 1949.

Perundingan tersebut dinilai berhasil karena telah mendorong segera terselenggaranya Konferensi Meja Bundar dan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda tahun 1949.

Di masa berikutnya Roem pernah menjabat sebagai menteri dalam negeri dalam kabinet Natsir (1950-1953) serta pernah juga menjadi wakil perdana menteri dalam kabinet Ali Sastroamijoyo (1956-1957).

Pada masa Demokrasi Terpimpin, terjadi konflik antara Masyumi dengan Presiden Soekarno. Apalagi kemudian beberapa pemimpin Partai Masyumi, seperti Natsir bergabung dalam pemberontak PRRI.

Sejak Partai Masyumi membubarkan diri, karena dipaksa Soekarno, pada tanggal 17 Agustus 1960, Roem tidak lagi memegang jabatan di pemerintahan. Ia kemudian memusatkan perhatian pada penulisan buku dan penelitian sejarah perpolitikan di Indonesia serta bidang ilmiah lainnya.

Kegiatan ini tidak berjalan lancar, karena pada tanggal 16 Januari 1962, ia bersama-sama dengan beberapa tokoh Masyumi dan PSI ditahan pemerintah tanpa pengadilan. Mereka dituduh oleh Pemerintahan Presiden Soekarno terlibat peristiwa Cendrawasih, yakni peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di Makassar.

Roem dan kawan-kawan bisa keluar dari tahanan pada tahun 1966 setelah pemerintahan Soekarno goyang usai pemberontakan PKI tahun 1965. Selepas dari penjara kegiatan menulis buku dan penelitian diteruskan kembali. Salah satu kesibukannya antara lain menjadi Wakil Ketua Dewan Kurator Sekolah Tinggi Kedokteran Islam Jakarta pada tahun 1971.

Pada tahun 1969 Roem sempat hampir kembali ke kancah politik setelah terpilih sebagai ketua Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Ini adalah partai ‘jelmaan’ Masyumi yang didirikan oleh para mantan kader Masyumi.

Sayangnya Soeharto, presiden waktu itu, tidak menyetujui. Soeharto khawatir, jika dipimpin Roem, Parmusi bisa menjadi partai besar seperti Masyumi dulu, hingga menyaingi Golkar. Atas desakan pemerintah, terpaksa Roem batal jadi Ketua Parmusi, digantikan oleh Djarnawi Hadikusumo.

Sejak itu Roem betul-betul undur diri dari dunia politik praktis. Kemudian bersama-sama M Natsir dan kawan-kawan mantan kader Masyumi lainnya mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di tahun 1970-an. Di tempat inilah kakek dari Adi Sasono ini berkhidmat bersama para warga Bulan Bintang.

Sejak itu Roem aktif dalam berbagai fora Islam internasional, antara lain menjadi anggota Dewan Eksekutif Muktamar Alam Islami (1975), Member of Board Asian Conference of Religion for Peace di Singapura (1977) serta menjadi anggota Konferensi Menteri-Menteri Luar Negeri Islam di Tripoli (1977).

Meski begitu perhatiannya pada perkembangan Islam di tanah air tidak juga berkurang. Suat ketika Amien Rais dalam wawancaranya dengan majalah Panji Masyarakat (no 379/1982) menyatakan tidak ada negara Islam dalam Al-Quran dan As-Sunnah, “Oleh karena itu tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam,” kata Amien Rais.

Atas pandangan Amien itu kemudian Roem mengirimkan tanggapan ke majalah yang sama. Roem membenarkan, bahwa memang tidak ada negara Islam dalam nama, namun secara substansial ada. “…Pada akhir hayat Nabi, pada saat Surat Al-Maidah ayat 3 diwahyukan, maka sudah tumbuh sebuah masyarakat yang dibangun oleh dan di bawah kepemimpinan Nabi sendiri, yang tidak diberi nama khusu oleh Nabi, akan tetapi sudah mempunyai ciri-ciri sebagai negara, sedang hukumnya oleh Tuhan sudah dinamakan sempurna… Saya rasa selama tidak lebih dari tiga bulan itu di dunia pernah ada ‘Negara Islam’ atau Islamic State, tidak dalam nama, melainkan dalam substance, dalam hakikatnya.”

Sesudah itu Nurcholish Madjid yang sedang berada di Chicago menyuratinya, sehingga berlangsung korespondensi antara mereka berdua selama beberapa bulan. Setelah korespondensi berakhir, Mohammad Roem dipanggil ke hadhirat Allah pada tanggal 24 September 1983.

Pada tahun 1997 kumpulan korespondensi itu plus wawancara Amien Rais dengan majalah Panji Masyarakat serta tanggapan Roem dibukukan dan diterbitkan oleh Adi Sasono, lalu diberi judul “Tidak Ada Negara Islam; Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohammad Roem”.

Judul buku itu jelas menyesatkan, seolah-olah Roem menafikan keberadaan negara Islam. Padahal sesungguhnya, sebagaimana kutipan di atas, Roem mengakui pernah ada negara Islam, meski tidak dinamakan Negara Islam, yakni pemerintahan yang dipimpin oleh Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. (Sumber Hidayatulah Edisi 12/XV 2003 – Sejarah )

Minggu, 15 November 2009

Mengenang Tokoh Diplomasi RI Mr. Mohammad Roem (Bagian I)

Mohammad Roem menjabat Menteri Luar Negeri Indonesia dalam kabinet Natsir. Ia tidak pernah menyimpan dendam kepada Soekarno yang telah memenjarakannya di Madiun. Ia memang menyebut Soekarno oligarkis dan feodal.

Hal itu terungkap dalam pembukaan Annual Lecture bertajuk ”Mengenang Tokoh Diplomasi Mohammad Roem”, Selasa (16/6) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan, dalam pertemuannya dengan Mohammad Roem, Hassan sempat menanyakan apakah Roem sakit hati saat dipenjarakan Soekarno. Jawaban Roem kala itu, dalam politik, menang atau kalah merupakan hal biasa. Perbedaan tajam tidak pernah menghalangi hubungan baik antarpribadi.

Sebagai diplomat, kala itu, Mohammad Roem memang tidak semenonjol Sutan Sjahrir. Ia bukanlah pemikir seperti Sjahrir. Namun, perannya dalam kemerdekaan Indonesia tidak kecil.

Perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Belanda yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Roem-Roijen adalah sebagian kecil dari kiprahnya di dunia diplomasi. Perjanjian tersebut menjadi tapak penting bagi lahirnya perjanjian Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Perjanjian tersebut telah mengantarkan lahirnya pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia.

Upaya kerasnya dalam berdiplomasi mengantarkan Indonesia dalam ruang kemerdekaan. Meski pada satu masa Soekarno memenjarakannya, tidak pernah sedetik pun ia menyimpan dendam kepada proklamator itu. Ia berani mengambil risiko dan tetap berjiwa besar, ciri yang selayaknya dimiliki para pemimpin Indonesia saat ini jika mereka ingin menjadi negarawan. (B Josie Susilo)

Komentar Pak Rushdy Hoesein Tentang Mohammad Roem (dari milis Historia-Indonesia)

Roem memang tidak mendendam, tapi dia tidak pernah melupakan peristiwa ketika Roem dan teman-temanya (termasuk Sjahrir, Natsir, Sjafrudin dan lain-lain) tahun 1962 dipenjarakan Soekarno di Madiun. Tidak terlepas dari itu, masih selalu muncul pertanyaan, kenapa mereka tidak diadili.

Soal Diplomasi, mungkin benar Roem tidak sekaliber Sjahrir, tapi dia tidak berada dibawah Sjahrir. Roem orang hebat karena diplomat tulen. Karirnya dimulai sejak diangkat sebagai ketua KNI daerah Jakarta Serptember 1945, dia bersama Soewirjo berunding dengan Kempetai agar pemerintah pendudukan mengizinkan dilanjutkannya “Rapat Raksasa Ikada 19 September 1945″. Dan Jepang terpaksa menyetujuinya karena olehnya dijelaskan hanya Soekarno yang bisa membubarkan rakyat yang sudah berkumpul sejak subuh di lapang Ikada yang sebanyak 200.000 orang itu.

Dirinya pernah ditembak Belanda di rumahnya di Kwitang sehingga cacat sampai akhir hayatnya. Dirinya terpilih menjadi Menteri dalam kabinet Sjahrir ke III tahun 1946 dan diangkat menjadi delegasi Indonesia dalam perundingan Linggajati. Dalam perundingan sebagaimana tertulis dalam notulen, dirinya ikut berdebat secara sengit. Pasal-pasal yang menyangkut hukum tatanegara bersama Soesanto Tirtoprodjo dan Amir Sjarifudin secara cermat diperhatikan agar jangan lolos menguntungkan Belanda. Namun demikian sungguh berat baginya karena harus membela Linggajati dari serangan partainya sendiri, Masyumi yang anti Linggarjati.

Dirinyalah satu-satunya anggota delegasi yang langsung protes karena pada tanggal 12 November 1946 malam dalam kunjungan delegasi Belanda yang dipimpin Prof. Schermerhorn guna menghadap Soekarno, tiba-tiba Soekarno menyetujui naskah Linggarjati padahal masih perlu dirundingkan lebih lanjut. Roem juga terpilh sebagai diplomat dalam perundingan Renville, pernyataan bersama (bukan perundingan) antara Mohammad Roem dan Van Roijen serta Roem adalah anggota delegasi utama yang dipimpin Hatta dalam Konperensi Meja Bundar. Setelah itu Roem adalah ketua Komite pembentukan pemerintahan RIS dan yang paling bergengsi, sesuai hasil KMB, Roemlah yang diangkat sebagai Komisaris Agung pertama di Den Haag Belanda.

Dalam zaman Soeharto, mungkin yang tidak juga dilupakannya adalah saat musyawarah Parmusi di Malang tahun 1968, dimana pemerintah Orde Baru tidak sudi kalau Partai itu dipimpin Roem dan SekJen Lukman Harun. Perjalanan sejarah akhirnya menempatkan tokoh diplomat tua ini benar-benar istirahat di bidang politik sampai akhir hayatnya. Beliau wafat tanggal 24 September 1983 dalam usia 75 tahun.

Dirinya adalah salah seorang murid dari H.Agus Salim. Sebagai jebolan Jong Islammieten Bond, sumpah setianya pada Partai Masjumi tanpa akhir.

Sumber :
Hidayatulah Edisi 12/XV 2003 – Sejarah

Selasa, 10 November 2009

Mengenang Kembali Mr. Mohammad Roem (Bagian Kedua : Roem Seorang Diplomat)

Posisi Roem sebagai seorang menteri luar negeri dalam pemerintahan Syahrir ke III membuatnya banyak terlibat dalam perundingan Linggarjati. Roem terkenal rewel dan alot dalam perundingan Linggarjati ini. Sikapnya itu sangat menjengkelkan ketua delegasi Belanda yaitu Prof. Schemerhorn. Dalam bukunya Schemerhorn banyak melayangkan pujian kepada Syahrir atas sikapnya yang tidak banyak menuntut tetapi tiada pujian bagi Roem. Schemerhorn menamakan sikap Roem itu sebagai “Roem begon hiertegen te steigeren” (Roem mulai meronta-kuda). Bahkan sampai menjelang berakhirnya proses perjanjian Linggarjati Roem masih tetap saja rewel dan menjengkelkan pihak Belanda. Ada satu kejadian yang di kemudian hari membuat Schemerhorn merasa malu, yaitu insiden kertas merah jambu.

Ketika suatu sidang akan ditutup dan kedua delegasi sudah payah, Roem masih berbicara dan mengajukan usul terhadap rumusan mengenai pasal 1 Persetujuan Linggarjati. Roem menuliskan usulan tersebut dalam kertas warna merah jambu. Karena Schemerhorn sudah berdiri dan hendak meninggalkan sidang maka jawabnya tukas saja: “Berikan saja pada Tuan Samkalden, kedengarannya menarik juga, nanti kita bicarakan lebih lanjut”.

Pada pertemuan selanjutnya yang dijadwalkan akan berlangsung pendek saja, ternyata berlangsung seret dengan tuntutan Roem tentang isi kertas merah jambu yang ia serahkan pada pertemuan sebelumnya. Samkalden menyatakan tidak menerima kertas itu dan tidak ingat tentangnya. Tetapi belakangan hari Schemerhorn tahu bahwa kertas itu disimpan oleh Samkalden dengan baik di lemari-lemari surat. Kebohongan Samkalden inilah yang membuat hati nurani Schemerhorn berasa tidak enak.

Peran Roem dalam berbagai perundingan tidak berhenti disini, setelah kejatuhan kabinet Syahrir dan diikuti juga kejatuhan kabinet Amir Syarifudin. Pucuk pemerintahan dipegang oleh Hatta. Atas usul PBB dimulailah kembali perundingan dengan Belanda pada pertengahan bulan Maret 1948. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Roem dan sebagai wakilnya ditunjuk Mr. Ali Sastroamidjojo. Tetapi perundingan ini banyak menemui kebuntuan sehingga tidak menghasilkan suatu keputusan penting.

Puncak dari semuanya adalah agresi militer Belanda II yang terjadi tanggal 19 Desember 1948. Belanda menduduki pusat pemerintahan Republik yaitu kota Yogyakarta dan menawan para pemimpin Republik. Tidak terkecuali Roem juga ikut ditawan.

Mr. Ali Sastroamidjojo melukiskan dalam memoirnya : “Kurang lebih seminggu sesudah kami ditawan di gedung negara, suasana menjadi hangat. Sebab sampai jauh malam pejuang-pejuang kita melepaskan tembakan-tembakan ke arah gedung itu. Terang tembakan-tembakan itu dimaksudkan sebagai siasat untuk membebaskan kami, terutama presiden dan wakil presiden. Komandan pasukan penjagaan tempat tawanan menjadi gelisah. Pada kira-kira pukul 2 pagi menjelang tanggal 30 Desember 1948 kami dibangunkan dan dikumpulkan dalam kamar tamu dibagian depan sebelah kanan yang semua lampu-lampunya dinyalakan. Di kamar itu kami dikepung oleh beberapa serdadu Belanda yang menodongkan karabijn mereka ke arah kami. Oleh karena lampu terang benderang tentulah dari tempat-tempat pejuang kita bersembunyi yaitu di gedung Bank Indonesia dan Kantor Pos yang letaknya 200-300 m dari tempat kami ditawan, terlihat dengan jelas apa yang akan terjadi dengan kami, apabila sebutir peluru saja dari para pejuang itu mengenai salah satu serdadu Belanda. Maka tembakan-tembakan mereka berhenti tiba-tiba. Baru kira-kira pukul 5 pagi kami diperbolehkan kembali ke kamar kami masing-masing."

"Pada tanggal 31 Desember 1948 kira-kira pukul 06.30 pagi, kami sudah berkumpul di ruangan makan untuk bersarapan. Tetapi tahu-tahu kami harus menyaksikan keberangkatan Bung Karno, Bung Hatta, Saudara-saudara Mr. Assaat, Komodor Suryadarma, Mr. Pringgodigdo, Sutan Syahrir dan Haji Agus Salim diangkut menggunakan 3 buah jeep dan dikawal oleh serdadu-serdadu Belanda bersenjatakan lengkap….”

“Dua hari kemudian Mr. Mohammad Roem dan saya mendapat giliran. Pagi-pagi benar kami disuruh untuk turut dengan seorang perwira Belanda naik Jeep dan dibawanya ke jurusan Maguwo. Hendak dibawanya kemana kami tidak diberitahu..”, begitu sekilas kisah yang diutarakan oleh Mr. Ali Sastroamidjojo.

Roem ditawan bersama dengan Hatta, Ali Sastroamidjojo, Mr. Assaat, Mr. Pringgodigdo dan Komodor Suryadarma di Menumbing, Bangka dalam dua ruangan berukuran 6x6 meter dan 4x10 meter. Mereka inilah yang disebut kelompok Menumbing. Roem melukiskan bahwa keadaan para pemimpin Republik yang menjadi tawanan di Menumbing cukup terkendali berkat wibawa dan kebijaksanaan Hatta. Ini tentu berlainan dengan keadaan di kelompok Prapat dimana Sukarno dan Syahrir berseteru.

Atas usaha keras diplomasi para wakil Indonesia di luar negeri dan desakan dunia internasional maka dibukalah kembali rencana-rencana perundingan Indonesia-Belanda. Tercatat bahwa Sukarno-Hatta menolak undangan Dr. Beel, wakil Belanda, untuk mengadakan suatu Konferensi Meja Bundar di Belanda yang sedianya akan dilangsungkan tanggal 12 Maret 1949. Para pemimpin Republik mengharapkan bahwa kedaulatan pemerintahan Republik di Yogyakarta harus dikembalikan secara penuh terlebih dahulu baru dirintis ke arah Konferensi Meja Bundar.

Untuk menuju kearah sana maka ditunjuklah Roem sebagai ketua delegasi dari Indonesia, lihat juga sebelum terjadi aksi Agresi Militer II Belanda Roem telah ditunjuk sebagai ketua delegasi perundingan. Ada usulan awal untuk menjadikan Syahrir sebagai ketua delegasi karena ditakutkan Roem tidak akan sanggup menghadapi kekuatan delegasi dari Belanda. Tapi usulan ini juga ditolak karena Syahrir sendiri semenjak perundingan Renville tidak pernah mau duduk sebagai anggota delegasi. Akhirnya Syahrir ditetapkan sebagai penasihat. Penunjukan Syahrir sebagai penasihat disarankan untuk dibuatkan satu surat pengesahan dari pemimpin Republik untuk memperkuat kedudukan Syahrir, dengan alasan terdapat beberapa anggota yang tidak terlalu simpatik dengan Syahrir.

Surat pengesahan inilah yang kemudian menimbulkan konflik baru antara Sukarno dengan Syahrir. Ketika Surat Pengesahan sudah ditandatangani oleh Sukarno, kemudian dibawa ke Jakarta oleh Roem untuk diberikan kepada Syahrir, berkata Syahrir dengan sengit, “Apa dia (Sukarno) itu. Mengapa dia yang harus mengangkat saya. Yang seharusnya mengangkat saya adalah Syafruddin (Kepala PDRI di Sumatra)”, Roem pun kesal dibuatnya, terlebih-lebih Sukarno setelah mendengar berita itu. Semua itu terjadi menjelang perundingan Roem-Roijen. Bahkan pada saat perundingan berlangsung setiap kali diadakan rapat Syahrir tidak pernah datang, walaupun sudah diundang oleh ketua delegasi.

Perundingan Roem-Roijen dimulai pada tanggal 14 April 1949 atas prakarsa Komisi Tiga Negara PBB. Delegasi Indonesia diwakili oleh Mohammad Roem dan delegasi Belanda diwakili oleh Dr. J.H. Van Roijen dan ketua KTN adalah Cochran. Pidato yang disampaikan Roijen lemah lembut, sedangkan pidato yang disampaikan Roem tegas dan keras. Ali Sastroamidjojo melukiskannya dengan kata “agak seram”.

Perundingan yang berlangsung di Hotel Des Indes ini berakhir secara resmi pada tanggal 7 Mei 1949 pukul 17.00. Isi perundingan itu sebagai berikut :

Delegasi Indonesia menyatakan kesediaan Pemerintah RI untuk:

  1. Mengeluarkan perintah kepada pengikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya.
  2. Bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
  3. Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sunguh dan lengkap kepada negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.


Pernyataan Belanda pada pokoknya berisi:

  1. Menyetujui kembalinya pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
  2. Membebaskan semua tahanan politik dan menjamin penghentian gerakan militer.
  3. Tidak akan mendirikan negara-negara yang ada di daerah Republik dan dikuasainya dan tidak akan meluaskan daerah dengan merugikan Republik.
  4. Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari negara Indonesia Serikat.
  5. Berusaha dengan sungguh-sungguh supaya KMB segera diadakan setelah pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.


Hasil perundingan ini menimbulkan pro dan kontra. Terutama dari pihak TNI yang tidak setuju dengan istilah “Pengikut republik yang bersenjata” (lihat kembali hasil perundingan Roem-Roijn). Panglima Sudirman langsung melontarkan protes keras kepada Roem. Para pemimpin PDRI pun ikut menyatakan kekecewaannya karena perundingan-perundingan yang dilakukan oleh para pemimpin di Bangka tidak didiskusikan terlebih dahulu dengan para pemimpin PDRI. Mereka khawatir sebuah perundingan yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin yang ditawan dengan pihak musuh akan banyak mengundang kerugian.

Terlepas dari kekurangan maupun kelemahan hasil perundingan itu akhirnya semua harapan para pemimpin Republik dapat berjalan lancar. Tanggal 6 Juli 1949 para Pemimpin Republik yang dibuang ke Bangka kembali ke Yogyakarta yang artinya kedaulatan Republik sudah dikembalikan seperti sebelum agresi mliter II. Roem tidak ikut serta dalam rombongan dari Bangka karena ia harus tinggal di Jakarta untuk mempersiapkan penyerahan kekuasaan Belanda kepada Indonesia dalam waktu dekat.

Pada tanggal 24 Juli 1949 terbentuklah susunan delegasi RI ke Konferensi Meja Bundar dengan ketua Mohammad Hatta dan Roem bertindak sebagai wakil ketua. KMB berlangsung di Den Haag dari tanggal 23 Agustus 1949 dan berakhir tanggal 2 November 1949. Pada tanggal itu juga Roem dan T.B. Simatupang segera dikirim kembali ke Indonesia untuk segera melaporkan hasil konferensi kepada Presiden Sukarno.

Penyerahan kedaulatan secara De Jure sendiri secara resmi dilakukan tanggal 27 Desember 1949 baik di Belanda, diwakili Mohammad Hatta, maupun di Indonesia, diwakili oleh Sri Sultan Hamengkubowono IX.

sumber :

http://www.askarlo.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=66:mengenang-kembali-mohamad-roem-bagian-i&catid=45:edukasi&Itemid=82

Senin, 09 November 2009

Mengenang Kembali Mr. Mohammad Roem (Bagian Pertama : Roem Sang Pejuang)

Roem dilahirkan pada tanggal 16 Mei 1908 di Parakan, Kab. Temanggung, Jawa Tengah dari pasangan Dulkarnaen Djojosasmito (seorang Lurah) dan Siti Tarbijah. Pada tahun 1920 Roem sempat dipindahkan ke kota Pekalongan karena wabah penyakit yang menyerang desanya. Di kota Pekalongan inilah Roem berhasil menyelesaikan sekolahnya di H.I.S.

Tahun 1924 Roem lulus dalam ujian masuk sekolah STOVIA. Di tahun yang sama Roem bergabung menjadi anggota organisasi Jong Java. Tahun 1925 bergabung dengan JIB (Jong Islmieten Bond). Di dalam JIB inilah Roem mulai mengenal tokoh-tokoh besar seperti Agus Salim dan HOS Cokroaminoto.

Tahun 1927 Roem berhasil menamatkan pendidikan pada bagian Persiapan di Stovia, tetapi kemudian pindah ke AMS (Algemene Middelbare School – Sekolah Menengah Umum tingkat atas). Lulus dari AMS tahun 1930 kemudian meneruskan ke sekolah tinggi kedokteran GHS (Geneeskundige Hoge School) di Salemba, Jakarta.

Di GHS Roem gagal dalam menyelesaikan ujiannya, karena itu lalu ia berhenti menjadi mahasiswa GHS dan beristirahat selama 2 tahun. Dalam masa-masa inilah ia mulai aktif dalam Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Roem juga menempuh pendidikan di RHS (Rechts Hoge School) mulai tahun 1932 dan selesai tahun 1939. Roem juga terhitung sebagai aktivitis dan pengurus Partai “Penyadar” yang didirikan oleh Agus Salim tahun 1937.

Roem tercatat tidak pernah bekerja untuk pemerintahan kolonial baik Belanda maupun Jepang. Ia mendirikan kantor pengacara sendiri yaitu “Mr. Mohamad Roem” di Jakarta.

Setelah Proklamasi kemerdekaan Roem menjabat sebagai ketua Komite Nasional (KNI) Jakarta Raya, mirip suatu ketua DPR-darurat di waktu itu.

Pada peristiwa Ikada September 1945 Roem turut mengambil peran. Walikota Jakarta yang pertama, Suwirjo, berkantor berdekatan dengan lapangan Ikada. Ketika ia melihat semakin banyak massa yang menumpuk di lapangan Ikada ia pun melaporkannya kepada pemerintah RI yang saat itu sedang bersidang. Suwirjo kemudian diinstruksikan untuk membicarakan keadaan tersebut dengan pembesar-pembesar Jepang.

Sebagai ketua KNI Jakarta raya maka diajak-sertalah Roem oleh Suwirjo. Dalam pembicaraan dengan pihak Jepang, tampak jika Jepang tidak akan mengizinkan rapat itu. Tetapi massa telah banyak berkumpul dan hanya Soekarno-Hatta lah yang akan didengar oleh rakyat. Awalnya juga Jepang tidak mengizinkan Soekarno-Hatta untuk hadir. Setelah berunding sebentar Jepang kemudian mengizinkan Soekarno-Hatta untuk hadir di rapat itu dan dengan syarat rapat tidak boleh berlangsung lebih dari 15 menit.

Setelah menyampaikan hasil pembicaraan kepada pemerintah RI, maka dengan berkendara beberapa mobil berangkatlah jajaran pemerintah RI menuju Ikada. Roem dan Suwirjo ikut serta dalam rombongan mobil paling belakang. Rapat akbar bersejarah itu akhirnya berjalan dengan damai dan tertib tanpa pertumpahan darah.

Ada satu peristiwa tragis yang dialami Roem ketika Belanda yang membonceng tentara Inggris mulai masuk ke Jakarta. Roem waktu itu tinggal dan berkantor di jl. Kwitang no. 10. Tanggal 21 November 1945, beberapa hari setelah Roem menghadiri pemakaman jenazah 13 polisi korban serbuan NICA, tiba-tiba saja kediamannya diserbu oleh tentara NICA. Waktu itu di rumah Roem terdapat bebarapa orang antara lain Pirngadi (kelak brigjen TNI), Adik dan Islam Salim (putra Agus Salim), Sayoga, dan beberapa orang lagi.

Mendengar kedatangan NICA semuanya pun melarikan diri meloncati tembok belakang rumah. Roem, Ibu Roem, dan Sayoga tetap berada di rumah bersembunyi di kamar tidur. Ketika Belanda mulai mengobrak-abrik rumah dengan alasan mencari orang dan senjata, Roem memberanikan diri membuka pintu kamar, pada saat itulah Belanda melepaskan tembakan ke arah Roem. Roem terkapar berlumuran darah tak sadar diri. Sayoga dibawa paksa Belanda dan setelah itu kabarnya tak terdengar lagi, kelihatannya sudah dieksekusi oleh Belanda.

Semua orang mengira Roem sudah meninggal, para wanita yang ada disitu disuruh pergi oleh Belanda, Ibu Roem mengungsi ke kediaman Agus Salim, jadi Roem ditinggal sendiri saja waktu itu. Sore hari ketika keadaan reda baru datanglah para pemuda sekitar menolong Roem.

Keadaan Roem sangat gawat, Roem harus menjalani perawatan dan terapi berbulan-bulan lamanya sampai ia diajak kembali oleh Kasman Singodimedjo ke Yogyakarta, waktu itu Kasman menjabat sebagai Kepala Kehakiman Kementerian Pertahanan. Dari situlah Roem mulai duduk dan aktif sebagai Ketua Bagian Politik Partai Masyumi. Tiga bulan kemudian Roem bergabung sebagai Menteri Dalam Negeri dalam kabinet Syahrir ke III.

Sumber :

http://www.askarlo.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=65:mengenang-kembali-mohamad-roem-bagian-i&catid=45:edukasi&Itemid=82

Iklan dari, oleh dan untuk Blogger