Ada satu pepatah yang mengatakan : ”Sesuatu yang bathil tapi teratur rapi, bisa mengalahkan barang yang hak tapi centang perenang”
Zaman terus beredar, babakan pentas bisa beralih, pemainnya bisa berganti. jalan cerita sudah wajar pula menghendaki peralihan babak dan penggantian pemain sesuatu waktu. Memang itulah yang menjadi latar belakang pikiran kita, dalam usaha pembinaan umat yang akan lebih panjang umurnya dari pada usia seseorang pemimpin sesuatu waktu.
Maka yang tidak boleh tidak kita lakukan sebagai suatu "conditiosine quanon", ialah meletakkan dasar bagi kontinuiteit aqidah dan qaidah, diatas mana khittah harus didasarkan.
Satu-satunya jalan itu, ialah ;
Membimbing dan mempersiapkan tunas-tunas muda dari generasi yang akan menyambung permainan di pentas sejarah.
Mempersiapkan jiwa mereka, melengkapkan pengetahuan dan pengalaman mereka, mencetuskan api cita-cita mereka, menggerakkan dinamik mereka, menghidupkan "zelf - disiplin" mereka yang tumbuh dari Iman dan Taqwa.
Bukanlah itu suatu pekerjaan yang cukup hanya dikerjakan sambil lalu, sekedar pengisi-pengisi waktu yang kebetulan berlebih. Tempo-tempo ini adalah pekerjaan yang "masuk agenda", yang untuknya harus disediakan waktu, harus dilakukan dengan sadar dan pragmatis.
Dalam rangka ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan;
Apa yang kita lihat dan rasakan dalam "keadaan" sekarang ini, cukuplah kiranya menjadi peringatan bagi kita, betapa pentingnya meletakkan "dasar jiwa" bagi para calon pemimpin umat.
Banyak orang yang tadinya bertolak dari rumah dengan niat dan semboyan hendak menegakkan panji-panji "kalimat ilahi", akan tetapi lantaran dasar yang tidak kuat ditengah perjalanan, tertempuh jalan yang disebut "tujuan menghalalkan semua cara". Lupa mereka bahwa panji-panji Kalimat Allah itu tidak dapat berkibar bila dalam perjalanan dia terus diinjak-injak oleh kaki yang membawanya sendiri.
Diperlukan "opsir lapangan" yang bersedia dan pandai berkecimpung di tengah-tengah umat. Kalaupun dihajatkan sarjana-sarjana, yang diperlukan bukan semata-mata sarjana yang "melek buku" tetapi "buta masyarakat". Sedangakan kemahiran membaca "kitab masyarakat" itu tidak dapat diperoleh dalam ruang kuliah dan perpustakaan semata-mata. Oleh karena itu mereka perlu di-introdusir ke tengah-tengah umat dan turut aktif bersama-sama menghadapi dan mencoba mengatasi persoalan dari kehidupan umat dipelbagai bidang.Sehingga mereka dapat merasakan denyutan jantung umat, dan lambat laun berurat pada hati umat itu.
Makin pagi makin baik ......,
Ini proses sebenarnya yang mestilah ditempuh daripada mengandalkan "salon politik" yang menjadikan pemimpin amateur
Maka ditengah-tengah masyarakat yang hidup itulah dapat berlaku proses "timbang terima" secara berangsur-angsur, antara yang akan pergi dan yang akan menyambung, patah tumbuh hilang berganti. Sebab kesudahannya, yang dapat mencetuskan "api" ialah batu api juga.
Pencapaian yg diharapkan yaitu terbentuknya susunan hidup berjama'ah yang diredhai Allah yang dituntut oleh "syari'at" Islam, sesuai dengan Adat basandi Syara' dan Syara' nan basandi Kitabullah. Ini nawaitu kita dari semula. Kita jagalah agar api nawaitu jangan padam atau berubah di tengah jalan.
hidup dan memberi hidup, (ta'awun) bukan falsafah berebut hidup;
tanggung jawab tiap-tiap anggota masyarakat atas kesejahteraan lahir batin dari masyarakat sebagai keseluruhan dan sebaliknya (takaful dan tadhamun);
keragaman dan ketertiban yang bersumber kepada disiplin jiwa dari alam, bukan lantaran penggembalaan dari luar;
ukhuwwah yang ikhlas, bersendikan Iman dan Taqwa ;
keseimbangan (tawazun) antara kecerdasan otak dan kecakapan tangan, antara ketajaman akal dan ketinggian akhlak, antara amal dan ibadah, antara ikhtiar dan do'a;
Ini wijhah yang hendak di tuju. Ini shibgah yang hendak di pancangkan ; "rasa berpantang putus asa, bertawakkal dalam melakukan kewajiban sepenuh hati, dengan tekad tidak terhenti sebelum sampai, yang ditujukan kepada keridhaan Allah jua".
MASYUMI lahir sebagai Wadah Persatuan Perjuangan Umat Islam Indonesia
Gerbang Kemerdekaan Indonesia pada akhirnya terbuka juga atas berkat Rahmat Allah SWT sebagai klimaks dan titik puncak (kulminasi) perjuangan setelah bangsa dan anak bangsa ini mengalami fase – fase panjang mempertaruhkan jiwa raga demi satu kata MERDEKA. Jadi tidaklah benar jika kemerdekaan ini merupakan hadiah dari jepang, yang benar janji me-merdekakan itu adalah sebuah propaganda jepang sebagai pemimpin asia dan saudara tua disertai pula dengan janji me-merdekakan bangsa asia dari penjajahan bangsa eropa dan sekutunya.
Sementara para pemimpin pergerakan termasuk diantaranya Kyai Haji Mas Mansur yang tergabung dalam empat serangkai bersama dengan Ir. Soekarno, Drs. Moh Hatta dan Ki Hajar Dewantoro secara terus menerus mengobarkan semangat perlawanan rakyat untuk perjuangan kemerdekaan dengan menggalang umat islam dalam PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat), perlawanan yang gigih ditunjukkan oleh laskar – laskar hizbullah dan laskar – laskar pembela tanah air, juga serangkaian jalan panjang diplomasi akhirnya berbuah manis dengan berdirinya milisi peta (cikal bakal TNI), berdirinya satu wadah kekuatan ummat Islam MASJUMI (cikal bakal Partai MASJUMI) dan lahirnya badan – badan lain yang dibentuk sebagai upaya untuk mempersiapkan Indonesia Merdeka (BPUPKI dan PPKI).
Bukti besarnya peran ummat Islam dalam membidani kemerdekaan terlihat jelas dari bendera tentara PETA yang juga mencantumkan lambang bulan dan bintang yang banyak diasumsikan sebagai simbol perjuangan ummat Islam.
Bulan Bintang sebagai simbol perjuangan
Lambang bulan bintang dalam masyarakat Islam pada umumnya mengesankan sebagai simbol Islam meskipun tidak bisa diingkari bahwa tidak menutup kemungkinan adanya tafsir yang berbeda terhadap simbol dan lambang bulan bintang tersebut. Simbol bulan bintang di masa lalu pernah digunakan sebagai tanda gambar Sarekat Islam sebagai cikal bakal Pergerakan Islam dan pernah pula digunakan sebagai tanda gambar Partai Masyumi yang merupakan cikal bakal Pergerakan Islam Modern. [1]
Pada tanggal 7 dan 8 November 1945 diadakan Muktamar atau Konggres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta yang dihadiri oleh hampir semua tokoh berbagai organisasi Islam dari masa sebelum perang serta masa pendudukan Jepang. Kongres memutuskan untuk mendirikan majelis syuro pusat bagi ummat Islam Indonesia, Masjumi yang dianggap sebagai satu-satunya partai politik bagi ummat Islam.Pada awal pendirian Masjumi, hanya empat organisasi yang masuk Masjumi yaitu Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Perikatan Ummat Islam, dan Persatuan Ummat Islam. Setelah itu, barulah organisasi-organisasi Islam lainnya ikut bergabung ke Masjumi antara lain Persatuan Islam (Bandung), Al-Irsyad (Jakarta), Al-Jamiyatul Washliyah dan Al-Ittihadiyah (keduanya dari Sumatera Utara). Selain itu, pada tahun 1949 setelah rakyat di daerah-daerah pendudukan Belanda mempunyai hubungan leluasa dengan rakyat di daerah-daerah yang dikuasai oleh RI, banyak di antara organisasi Islam di daerah pendudukan itu bergabung dengan Masjumi. Mudahnya persyaratan untuk masuknya sebuah organisasi Islam ke dalam Masjumi menjadi salah satu penyebab banyaknya organisasi-organisasi Islam yang masuk ke dalamnya. Namun hal yang paling penting mengenai alasan meraka masuk ke dalam Masjumi dikarenakan semua pihak merasa perlu bergabung dan memperkuat barisan Islam. Penyebaran Masjumi dapat dikatakan sangat pesat dan cepat. Hampir di seluruh wilayah Indonesia terdapat cabang Masjumi atau organisasi-organisasi Islam yang bergabung dengan Masjumi. Di samping afiliasi organisasi-organisasi tadi, faktor lain yang menyebabkan Masjumi cepat berkembang ialah peranan ulama di masing-masing daerah serta Ukhuwah Islamiyah yang relatif tinggi pada masa-masa sesudah revolusi.[2]
MASYUMI dan Pencapaian Gemilang Pemilu 1955
Hasil penghitungan suara dalam Pemilu 1955 menunjukkan bahwa Masyumi mendapatkan suara yang signifikan dalam percaturan politik pada masa itu. Masyumi menjadi partai Islam terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara Selatan, dan Maluku. Namun, di Jawa Tengah, Masyumi hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh PNI, dan di Jawa Timur setengahnya. Kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan Masyumi secara nasional tak terjadi.
Berikut hasil Pemilu 1955:
Partai Nasional Indonesia (PNI) - 8,4 juta suara (22,3%)
Masyumi - 7,9 juta suara (20,9%)
Nahdlatul Ulama - 6,9 juta suara (18,4%)
Partai Komunis Indonesia (PKI) - 6,1 juta suara (16%)
Dari pemilu 1955 ini, Masyumi mendapatkan 57 kursi di parlemen. [3]
Jejak Panjang Perjuangan Masyumi untuk ummat dan bangsa tidak bisa begitu saja dihapuskan, di era kekinian Masyumi tetap menjadi inspirasi paling aktual dan relevan bagi dunia kepartaian dan perpolitikan di tanah air.
Masyumi lahir dari ide besar yakni Islamic Modernization, sebagai partai ia bisa dibubarkan tetapi sebagai ide besar ia akan tetap muncul dalam bentuk yang lain.
Nostalgia kebesaran Masyumi memang tetap terasa hingga saat ini, penulis banyak menjumpai para orang tua di desa – desa yang menjadi saksi hidup sistem multi partai pada pemilu 1955, mereka masih bisa menggambarkan bagaimana hangatnya persaingan diantara partai – partai saat itu, kontestansi partai politik yang besar mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat yang hampir semua larut dalam euphoria demokrasi yang meluap –luap, itulah Pesta Demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat yang pertama dan terbesar pasca kemerdekaan.
Diantara saksi – saksi hidup itu kebanyakan masih bisa menghafal Hymne/Mars Partai Masyumi yang kurang lebih berbunyi sebagai berikut :
Bismillah mari kita memilih
Lambang Bulan Bintang Putih
Atas Dasar Hitam nan Bersih
Tanda Gambar Masyumi
Partai Berjasa Nusa dan Bangsa
Demi Setia Agama
Partai Berjasa Nusa dan Bangsa
Demi Setia Agama
Menurut salah seorang saksi menjelang akhir tahun 50-an kekuatan Nasakom yang melingkari kekuasaan Bung Karno semakin besar bahkan PKI terus menerus mencari jalan untuk lebih dekat lagi dan menguatkan posisinya di pusat kekuasaan, Pada sisi yang lain Masyumi yang menjadi oposisi loyal dan sering memperingatkan bung karno akan ancaman bahaya laten komunisme yang anti tuhan tak urung menjadi target fitnah dan target “untuk dihabisi” secara politik.
Penulis mendengar penuturan para saksi sejarah dengan seksama bahwa saat itu suhu politik meninggi terasa hingga ke desa – desa, penggalangan massa dalam bentuk mimbar- mimbar bebas diadakan oleh kader – kader PKI yang mengaku sebagai barisan penyelamat soekarno, biasanya mereka membuka orasinya dengan slogan – slogan sebagai berikut :
Merdeka !!!
Hidup Bung Karno !!!
Hidup Nasakom !!!
Ganyang Masjumi !!!
Kuatnya sentimen anti Masyumi yang di produksi dan direproduksi itulah yang kelak bermuara dalam bentuk opsi pembubaran partai Masyumi
Cendawan yang tumbuh di musim penghujan
Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960 melalui Keppres Nomor 200/1960 tanggal 15 Agustus 1960 lantaran beberapa tokoh terasnya dicurigai terlibat dalam gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Pembubaran Masyumi pada masa rezim Soekarno tersebut menancapkan luka yang mendalam bagi para tokoh ummat Islam saat itu, Masyumi telah menjadi tumbal sejarah justru di tengah masa-masa kejayaannya.
Konon setelah berakhirnya periode Masyumi, Keluarga Besar Bulan Bintang mengalami kevakuman politik namun beberapa saksi mengutip dan menggarisbawahi pesan Buya Mohammad Natsir bahwa :
Keluarga Besar Bulan Bintang harus bisa hidup, berkarya dan berjuang dimana saja untuk kepentingan ummat, bangsa dan negara laksana cendawan yang tumbuh di musim penghujan. [4]
MASYUMI dan Diskriminasi Politik Rezim Orde Lama
Pada akhir tahun 1960 Soekarno menerbitkan Keppres Nomor 200/1960 tanggal 15 Agustus 1960, yang isinya membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Namun pelaksanaan pembubaran itu harus dilakukan sendiri oleh Masyumi dan PSI. Jika dalam tempoh seratus hari kedua partai itu tidak membubarkan diri, maka partai itu akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Sebab itulah Ketua Umum Masyumi Prawoto Mangkusasmito dan Sekjennya Muhammad Yunan Nasution, mengeluarkan pernyataan politik membubarkan Masyumi, mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Presiden Soekarno, pada akhir tahun 1960. Soekarno menerbitkan Keppres Nomor 200/1960 tanggal 15 Agustus 1960, yang isinya membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Namun pelaksanaan pembubaran itu harus dilakukan sendiri oleh Masyumi dan PSI. Jika dalam tempoh seratus hari kedua partai itu tidak membubarkan diri, maka partai itu akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Sebab itulah Ketua Umum Masyumi Prawoto Mangkusasmito dan Sekjennya Muhammad Yunan Nasution, mengeluarkan pernyataan politik membubarkan Masyumi, mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Apa yang ada di kepala orang Masyumi waktu itu ialah Soekarno mulai menjadi diktator dan negara makin bergerak ke arah kiri. Dalam perhitungan mereka, tanpa Masyumi, maka kekuatan PKI akan semakin besar dan sukar dibendung. PNI sebagai representasi kelompok nasionalis, telah dintrik dan diintervensi oleh kekuatan kiri melalui kelompok Ali Sastroamidjojo dan Surachman. Kendatipun memiliki basis massa yang besar, elit politisi NU dibawah pimpinan Idham Chalid dan Saifuddin Zuhri, takkan kuat menghadapi Soekarno dan PKI sendirian. Apalagi, makin nampak kecenderungan akomodatif NU untuk menerima posisi representasi kelompok agama dalam poros Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis), suatu hal yang ditentang keras oleh Masyumi. Tokoh-tokoh Masyumi memang dihadapkan pada dilema dengan Keppres 200/1960 itu. Menolak melaksanakan pembubaran diri, berarti secara hukum, partai itu akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Karena itu, mereka memilih alternatif yang juga tidak menyenangkan yakni membubarkan diri, dengan harapan suatu ketika partai itu akan hidup kembali, jika situasi politik telah berubah. Prawoto sendiri mengatakan, Keppres 200/1960 itu ibarat vonis mati dengan hukuman gantung, sementara eksekusinya dilakukan oleh si terhukum itu sendiri. Memang terasa menyakitkan.
Meskipun Masyumi telah membubarkan diri, dan tokoh-tokohnya yang terlibat dalam PRRI telah memenuhi panggilan amnesti umum dan mereka menyerah, namun perlakuan terhadap mereka tetap saja jauh dari hukum dan keadilan. Tokoh-tokoh Masyumi yang menyerah itu, Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Boerhanoeddin Harahap ditangkapi. Bahkan mereka yang tidak terlibat PRRI seperti Prawoto, Mohamad Roem, Yunan Nasution, Isa Anshary, Kasman Singodimedjo, Buya Hamka dan yang lain, juga ditangkapi tanpa alasan yang jelas. Bertahun-tahun mereka mendekam dalam tahanan di Jalan Keagungan, Jakarta, tanpa proses hukum. Ini terang suatu bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan Sukarno. Tokoh utama PSI, Sutan Sjahrir bahkan mendekam dalam penjara di sebuah pulau di lautan Hindia, di sebelah selatan daerah Banten. Dalam kondisi tahanan yang buruk, Sjahrir sakit, sampai akhirnya wafat walau mendapat perawatan di Swiss. Tokoh PSI yang lain, Soebadio Sastrosatomo dan Hamid Algadri juga ditahan. Perlakuan terhadap anak-anak dan keluarga orang Masyumi di masa itu hampir sama saja dengan perlakuan keluarga PKI di masa Orde Baru. Ketika itu PKI sedang jaya. Ketika mereka sedang jaya, mereka juga membantai orang-orang Masyumi di Madiun tahun 1948, dan menculik dan menghilangkan paksa orang-orang Masyumi di Jawa Barat dan tempat-tempat lain. Hendaknya sejarah jangan melupakan semua peristiwa ini. Di era Reformasi sekarang, banyak aktivis HAM hanya berbicara tentang orang-orang PKI pasca G 30 S yang menjadi korban pembantaian Orde Baru, tetapi mereka melupakan orang-orang Masyumi yang menjadi korban pembantaian dan penghilangan paksa PKI, ketika mereka masih jaya-jayanya.
Diskriminasi atas Masyumi pada masa rezim orde lama berlanjut dengan kebijakan politik rezim orde baru yang menolak merehabilitasi Partai Masyumi. [5]
Sejumlah Fakta Tentang MASYUMI yang patut kita ketahui
1. Masyumi lahir sebagai sebuah Parpol yang berwawasan modern, Masyumi berjuang demi sebuah "modern nation-state" dibanding partai-partai lainnya seperti yang dinyatakan oleh Martin Van Bruinesen
2. Masyumi banyak menyalurkan aspirasi politik umat Islam sebelum pecah - diawali oleh PSII (1947) dan disusul oleh NU (1951), namun sedikit banyak Masyumi telah berhasil mempersatukan semua golongan Islam
3. Bila dibandingkan dengan Partai NU, PSII, PSI, bahkan juga PKI, Masyumi adalah sebuah partai yang non sektarian. Masyumi bisa di bilang parpol yang "less primordial" dan "less komunal". Dan ini dipimpin oleh priyayi relegius dan kyai modernis.
4. Partisipasi Masyumi dalam kabinet-kabinet parlementer meningkat setapak demi setapak. Pada 1948, Syafruddin Prawiranegara sempat sejenak sebagai Pejabat Presiden dalam Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukit Tinggi. Dalam dasawarsa 50-an, beberapa tokoh Masyumi berhasil memegang posisi Perdana Manteri, yakni Mohammad Natsir, Dr. Sukiman Wirjosandjojo, dan Mr. Burhanuddin Harahap.
5. Masyumi, dengan rekan-rekannya, PSI dan Partai Katolik adalah penganjur utama sistem "zaken kabinet", yaitu kabinet yang disusun berdasarkan kriteria keahlian (business cabinet) dan melibatkan apa yang disebut sebagai "administrator" dan bukan "solidarity maker". "Administrator" adalah pemimpin-pemimpin yang mempunyai keahlian administratif, tekhnis, legal, dan bahasa asing yang diperlukan untuk menjalankan perangkat-perangkat modern yang khas dalam sebuah negara modern.
6. Di bidang ekonomi, Syafruddin Prawiranegara berperan besar dalam mengusulkan maupun melaksanakan pengeluaran "Oeang kertas RI" atau uang "ORI".
7. Dalam percaturan politik, Masyumi mempunyai sahabat-sahabat, dan yang terdekat adalah Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Partai Katolik
8. Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peranan Masyumi, dengan diajukannya serta disetujuinya Mosi Integral dari Mohammad Natsir [6]
PENUTUP
Setelah Masyumi dibubarkan pada tahun 196o, sejak itu seluruh keluarga besar Masyumi selalu menyebut dirinya dengan istilah “Keluarga Besar Bulan Bintang” atau “Keluarga Besar Bintang Bulan”. Saat ini ditengah pragmatisme yang membadai dalam kehidupan pergerakan perlu kiranya kita menggelorakan lagi reaktualisasi ideologi Masyumi, dengan tentunya memperhatikan perkembangan zaman. Islam diyakini sebagai agama universal dan “rahmatan lil ‘Alamin”. Prinsip-prinsip ajaran sosial dan politik Islam yang universal itu perlu ditransformasikan ke dalam rumusan ideologis untuk dijadilkan landasan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan umat Islam dan bangsa Indonesia di negeri ini.
Suatu hari pada 1953, Agus Salim -- mewakili Pemerintah Indonesia -- menghadiri penobatan Elizabeth II sebagai Ratu Inggris. Acara penobatan diselenggarakan di Istana Buckingham.
Dalam acara itu, Agus Salim melihat Pangeran Philip -- yang masih muda -- agak canggung menghadapi khalayak ramai yang hadir. Ia tampaknya belum terbiasa menempatkan diri sekadar sebagai pasangan (suami) ratu. Begitu canggungnya, sehingga ia lalai meladeni tamu-tamu asing yang datang dari jauh menghormati peristiwa penobatan isterinya.
Untuk sekadar melepas ketegangan Pangeran Philip, Agus Salim menghampirinya seraya mengayun-ayunkan rokok kreteknya sekitar hidung sang pangeran. Kata Agus Salim kemudian, "Paduka (Your Highness), adakah Paduka mengenali aroma rokok ini?"
Setelah mencoba menghirup-hirup bau asap rokok kretek itu, sang pangeran lalu mengakui tidak mengenal aroma rokok tersebut. Sambil tersenyum Agus Salim lalu mengatakan, "Inilah sebabnya 300 atau 400 tahun yang lalu bangsa Paduka mengarungi lautan mendatangi (menjajah) negeri kami."
Sang pangeran pun tersenyum dan dengan lebih luwes bergerak dan meladeni tamu-tamunya yang datang dari jauh.
Bergmeyer pun tidak Berkutik
Suatu kali, ketika menjadi anggota Volksraad, H Agus Salim berpidato dalam bahasa Indonesia -- yang ketika itu juga masih disebut bahasa Melayu. Ketua Volksraad langsung menegurnya dan memintanya berpidato dalam bahasa Belanda.
Salim menjawab, "saya memang pandai berpidato dalam bahasa Belanda, tapi menurut peraturan Dewan saya punya hak untuk mengeluarkan pendapat dalam bahasa Indonesia."
Salim terus berpidato dalam bahasa Indonesia, dan ketika ia mengucapkan kata 'ekonomi', seorang Belanda -- Bergmeyer -- dengan maksud mengejek betanya, "Apa kata ekonomi itu dalam bahasa Melayu?"
Dengan tangkas Agus Salim berkilah, "Coba tuan sebutkan dahulu apa kata ekonomi itu dalam bahasa Belanda, nanti saya sebutkan Indonesianya?"
Bergmeyer hanya bisa melongo, tidak dapat berkata-kata lagi. Dan, para peserta sidang pun tertawa. Memang, kata 'ekonomi' tidak ada salinannya yang tepat dalam bahasa Belanda.
Disambut dengan Upacara
Pada 1927, Agus Salim mendapat undangan mengikuti kongres Islam di Mekah. Waktu itu pemerintah kolonial Belanda mempersulitnya untuk memperoleh paspor. Setelah berupaya keras, akhirnya ia berhasil memperoleh paspor itu di Surabaya.
Sayangnya, ketika itu kapal yang akan ke Arab Saudi, kapal Kongsi Tiga, sudah akan berangkat dari Jakarta. Agus Salim tidak akan dapat mengejar kapal itu, karena perjalanan dari Surabaya ke Jakarta memakan waktu cukup lama.
Mengetahui hal itu, HOS Cokroaminoto mengirim telegram kepada perwakilan Kongsi Tiga di Jakarta. Isinya: Jika kapal itu berangkat tanpa Agus Salim, tahun depan tidak akan ada seorang pun jamaah haji yang akan berangkat dengan kapal Kongsi Tiga. Kapten kapal pun terpaksa menunda keberangkatan selama 2x24 jam.
Ketika Agus Salim tiba, ia disambut dengan upacara kehormatan oleh awak kapal. Mereka berbaris rapi di sepanjang jalan menuju pintu masuk. Ketika Agus Saling lewat, mereka memberinya hormat.
Setelah di kapal, Agus Salim bertanya kepada sang kapten, "Mengapa saya disambut dengan cara seperti itu? Bukankah saya hanya orang biasa?"
Dengan agak jengkel si kapten menjawab, "Kapal ini tidak akan menunda keberangkatannya selama 2x24 jam hanya untuk menunggu orang biasa!"
Paling Pintar
Antara tahun 1906-1911, Agus Salim bekerja di Konsulat Belanda di Jeddah. Waktu itu ia sering 'bertengkar' dengan atasannya, Konsul Belanda.
Meskipun begitu pekerjaannya selalu beres, sehingga tidak ada alasan untuk mengatakannya sebagai pemalas. Ia tidak dapat dicap sebagai ongeschikt, tidak terpakai. Bahkan ia sering mengerjakan pekerjaan yang banyak meringankan beban atasannya, dan ia pun dihargai sebagai pembantu yang berjasa.
Dalam kesempatan bertukar-pikiran yang tajam dengan atasannya, Konsul Belanda itu menyindir Agus Salim dengan berkata, "Salim, apakah engkau kira bahwa engkau ini seorang yang paling pintar di dunia ini?" Dengan tangkas Haji Agus Salim menjawab, "Itu sama sekali tidak. Banyak orang yang lebih pintar dari saya, cuma saya belum bertemu dengan seorang pun di antara mereka."
Jawaban Agus Salim terasa sebagai pukulan bagi sang Konsul. Tetapi apa akan dikata? Karena itu, alangkah girang hati Konsul Belanda itu ketika tahu bahwa Agus Salim pulang ke Indonesia pada 1911.