Minggu, 25 April 2010

Mr. Sjafroeddin Prawiranegara Sang Presiden Yang Terlupakan : Sebuah Fakta Sejarah yang perlu diluruskan

Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 berhasil menguasi Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, dan menawan Presiden (Soekarno) dan Wakil Presiden yang merangkap Perdana Menteri (Mohammad Hatta).
Untuk mengisi kekosongan kekuasaan, Sjafroeddin yang saat itu menjabat menteri kemakmuran dari MASYUMI mengusulkan dibentuknya pemerintahan darurat untuk meneruskan pemerintah RI. Padahal, saat itu Soekarno – Hatta mengirimkan telegram berbunyi, “Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Ibu Kota Jogjakarta. Djika dalam keadaan pemerintah tidak dapat mendjalankan kewajibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra”.

Namun saat itu telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi. Meski demikian, ternyata pada saat bersamaan Sjafroeddin Prawiranegara telah mengambil inisiatif yang senada. Dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok Bukittinggi, 19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government). Gubernur Sumatra Mr. T.M. Hasan menyetujui usul itu “demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara”.

Pada 22 Desember 1948, di Halaban, sekitar 15 km dari Payakumbuh, PDRI “diproklamasikan” . Sjafruddin duduk sebagai ketua/presiden merangkap Menteri Pertahanan, Penerangan, dan Luar Negeri, ad. interim. Kabinatenya dibantu Mr. T.M. Hasan, Mr. S.M. Rasjid, Mr. Lukman Hakim, Ir. Mananti Sitompul, Ir. Indracahya, dan Marjono Danubroto. Adapun Jenderal Sudirman tetap sebagai Panglima Besar Angkatan Perang.

Sjafruddin menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949 di Yogyakarta. Dengan demikian, berakhirlah riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi Republik Indonesia.

Jadi jika kita menilik fakta sejarah tersebut maka Mr. Sjafroeddin Prawiranegara sesungguhnya adalah Presiden RI ke-2 karena keberlanjutan pemerintahan Indonesia mustahil dapat berlanjut tanpa proklamasi PDRI dan dengan penuh rasa amanat serta penuh tanggungjawab Mr. Sjaf menyerahkan kembali mandat sebagai presiden yang dijabatnya selama sekitar delapan bulan kepada Bung Karno. Faktanya nama Mr. Sjafroeddin yang sangat berjasa itu justru tenggelam di lorong gelap sejarah karena politisasi fakta PRRI yang pada akhirnya diikuti oleh otoritarianisme pemerintah untuk membubarkan Partai Masyumi karena indikasi keterlibatan beberapa elite pimpinannya termasuk tentu saja Mr. Sjafroeddin Prawiranegara, seorang Presiden RI ke-2 yang terlupakan.

Pidato Mr. Sjafroeddin Prawiranegara yang Monumental
Saat Pelantikan sebagai Presiden / Ketua PDRI

"Belanda menyerang pada saat Negara kita baru saja mengatasi ujian yang berat sekali (Pemberontakan PKI di Madiun, 18 September 1948), pada saat kita baru saja dapat memadamkan suatu pemberontakan yang telah banyak sekali meminta korban dari rakyat, hingga melemahkan keadaan Negara, baik ekonomi maupun militer.

Belanda menyerang pada hari Minggu, hari yang biasanya dipergunakan oleh kaum Nasrani untuk memuja Tuhan. Mereka menyerang pada saat mereka tidak lama lagi akan merayakan hari Natal Isa as, hari suci dan perdamaian bagi umat Nasrani. Justru karena itu semuanya maka lebih-lebih perbuatan Belanda yang mengaku dirinya beragama Kristen, menunjukkan lebih jelas dan nyata sifat dan tabiat bangsa Belanda: liciknya, curangnya, dan kejamnya.

Mungkin sekali karena serangannya tiba-tiba itu mereka telah berhasil menawan Presiden, Wakil Presiden, Perdana Menteri, dan beberapa pembesar lain. Dengan demikian, mereka menduga menghadapi suatu keadaan Negara Republik
Indonesia yang dapat disamakan dengan Belanda sendiri pada suatu saat, ketika rakyatnya radeloos (kehilangan akal), pemimpinnya redeloos (putus asa) dan negaranya reddeloos (tidak dapat ditolong lagi).

Tetapi kita membuktikan bahwa perhitungan Belanda itu sama sekali meleset. Belanda mengira bahwa dengan ditawannya pemimpin-pemimpin kita yang tertinggi, pemimpin-pemimpin lain akan putus asa.

Negara Republik
Indonesia tidak tergantung kepada Soekarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu adalah sangat berharga bagi bangsa kita.

Patah tumbuh hilang berganti. Hilang pemerintah Soekarno-Hatta, sementara atau selama-lamanya, rakyat
Indonesia akan mendirikan pemerintah yang baru, hilang pemerintah ini akan timbul yang baru lagi.

Pemerintah sekarang ini (PDRI) dibentuk karena ada kemungkinan yang besar bahwa pemerintah Soekarno-Hatta tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai biasa. Oleh karena itu, segera dibentuk suatu pemerintah baru untuk menghilangkan keraguan-keraguan baik ke dalam maupun keluar. Pemerintah sekarang akan menyerahkan kekuasaannya sesudah Pemerintah yang dipimpin oleh Presiden dan Wakil Presiden kita nyata sudah bebas kembali. Kepada seluruh Angkatan Perang Negara Republik
Indonesia kami serukan: Bertempurlah, gempurlah Belanda dimana saja dan dengan apa saja mereka dapat dibasmi. Jangan meletakkan senjata, menghentikan tembak-menembak kalau belum ada perintah dari pemerintah yang kami pimpin. Camkanlah hal ini untuk menghindarkan tipuan-tipuan muslihat musuh."

Sumber :
Petikan Buku "Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965" , Prof. Dr Deliar Noer, 1987



Senin, 05 April 2010

Dwilogi Puisi Buya Hamka - Buya Mohammad Natsir, Sebuah Teladan Yang Jarang

Kepada Saudaraku M. Natsir

Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar

Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada nusa

Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga

Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi

Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu …….!
Puisi ini ditulis oleh Buya HAMKA dalam salah satu sidang konstituante, setelah mendengar isi pidato M.Natsir yang menawarkan Islam sebagai sistem negara
Sajak berbalas dari M. Natsir untuk Buya Hamka
Saudaraku Hamka,

Lama, suaramu tak kudengar lagi
Lama...
Kadang-kadang,
Di tengah-tengah si pongah mortir dan mitralyur,
Dentuman bom dan meriam sahut-menyahut,
Kudengar, tingkatan irama sajakmu itu,
Yang pernah kau hadiahkan kepadaku,

Entahlah, tak kunjung namamu bertemu di dalam ”Daftar”.
Tiba-tiba,
Di tengah-tengah gemuruh ancaman dan gertakan,
Rayuan umbuk dan umbai silih berganti,
Melantang menyambar api kalimah hak dari mulutmu,
Yang biasa bersenandung itu,
Seakan tak terhiraukan olehmu bahaya mengancam.

Aku tersentak,
Darahku berdebar,
Air mataku menyenak,
Girang, diliputi syukur

Pancangkan !
Pancangkan olehmu, wahai Bilal !
Pancangkan Pandji-pandji Kalimah Tauhid,
Walau karihal kafirun...
Berjuta kawan sefaham bersiap masuk
Kedalam ”daftarmu” ... *

Saudaramu,
Tempat, 23 Mei 1959
*Sajak ini ”ditengah-tengah sipongah mortir”, tanggal 23 Mei 1959 sesudah tersiar pidato Prof. Dr. Hamka di Gedung Konstituante Bandung, yang antara lain menegaskan, “bahwa trias politika sudah kabur di Indonesia, demokrasi terpimpin adalah totalitarisme, Front Nasional adalah partai ”Negara”.


Iklan dari, oleh dan untuk Blogger