Dengan Host sejarawan Prof. Dr. Taufik Abdullah, diskusi yang mengusung tema Kedudukan M. Natsir dalam sejarah NKRI menampilkan Prof Dr. Burhan D. Magenda (Topik Peranan Politik M. Natsir), Prof. Dr. Anhar Gonggong (M. Natsir Dalam Sejarah NKRI), Sabam Sirait (Kontribusi M. Natsir dalam Parlemen R.I), Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra (Perjuangan M. Natsir dalam Pandangan Konstitusi) serta Prof. Dr. Malik Fadjar (Kontribusi M. Natsir di Bidang Pendidikan). Acara dihadiri keluarga besar M. Natsir dan tokoh-tokoh politik, dakwah dan partai serta ormas-ormas Islam.
Burhan D. Magenda mengutarakan peran politik Natsir ketika Orde Lama, kiprah Natsir sebagai Ketua Masyumi menggalang kekuatan pro-konstitusi Islam di parlemen, kemudian ketika Indonesia terancam perpecahan, Natsir mengarsiteki Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Mosi Integral yang terkenal itu. Burhan juga menuturkan kekecewaan Natsir terhadap sikap politik Soekarno yang menyebabkan Natsir ’Ikut PRRI’.
Sementara itu, sejarawan Prof Dr Anhar Gonggong mengatakan, para politikus sekarang ini seharusnya memperhatikan etika politik, sebagaimana yang dilakukan M. Natsir. Sebab jika melalaikan etika, Indonesia bisa mengalami kehancuran seperti kekuasaan Turki Otoman di masa lalu. Namun Anhar yang pernah menjadi anggota tim penyeleksi pahlawan nasional mengungkapkan, masalah belum diangkatnya M. Natsir sebagai pahlawan nasional, karena dia dipandang mempunyai masalah keterlibatan pada Republik Pemerintahan Islam, setelah kegagalan PRRI. “Seharusnya dalam acara ini tentara juga menjadi pembicara. Karena masalah RPI bagi tentara adalah pemberontak. Dan RPI itu cita-cita yang rapuh, ” kata Anhar yang menilai keterlibatan Natsir dalam PRRI adalah Tragedi.
Banyak pertanyaan mencuat kenapa seorang demokrat sekelas Natsir bisa terlibat tragedi PRRI. Rata-rata pembicara menjelaskan secara umum bahwa keterlibatan Natsir dalam PRRI karena Presiden Soekarno sudah terlibat sangat dalam dengan Komunis, dan pemerintahan Pusat terlalu menindas pemerintah Daerah, oleh sebab itu muncul PRRI / permesta. Namun kemudian muncul penjelasan langka dari Des Alwi tokoh wartawan kawakan, yang menjelaskan bahwa ia mempunyai pengalaman berjumpa dengan Natsir dalam perjalanan kapal penyeberangan di Merak. Des Alwi menjelaskan, --”Waktu itu pak Natsir mengatakan, kalau masih di Jakarta, pak Natsir akan ditangkap Soekarno. Saya tak mau ditangkap seperti yang lainnya, maka saya pergi dari Jakarta ke Sumatera” kata Des Alwi mengutip Pak Natsir. Des menegaskan ia mempunyai daftar 1000 orang lebih yang telah dan akan ditangkap Soekarno pada waktu itu.
Sabam Sirait, tokoh Kristen aktivis PDIP menjadi pembicara selanjutnya. Sabam menilai setuju M. Natsir mendapat gelar pahlawan nasional. Ia bahkan menyayangkan kenapa gelar pahlawan nasional harus terlebih dahulu mesti diperjuangkan seperti ini : ”Harusnya negara / Pemerintah sudah bisa menilai sendiri bagaimana nilai-nilai perjuangan seorang Natsir.” ujar Sabam. Dijelaskannya, M Natsir sebagai sosok politikus Masyumi yang jujur dan sederhana. M Natsir juga dikenal tidak pernah menempuh kekerasan dalam menyelesaikan masalah.
Senada dengan Sabam, mantan Menkum HAM Yusril Ihza Mahendra juga berpendapat senada. Menurutnya Natsir adalah tokoh pergerakan Islam. "M Natsir berhak mendapatkan gelar Bapak pergerakan Islam modern, " kata Yusril.
Dalam acara diskusi tersebut juga ditampilkan pameran buku karya M. Natsir dan foto-foto dalam berbagai even perjuangan tokoh yang pernah menjabat Ketua Umum dan pendiri Dewan Dakwah Islamiyah sejak tahun 1967 sampai 1993. (msa).
Sumber :
Kenangan Seabad Buya Mohammad Natsir, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 17 Juli 2008, http://www.dewandakwah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=77&Itemid=30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar