Lukman Hakiem, 51 tahun
(Anggota Dewan Perwakilan Rakyat/bekas redaktur Media Dakwah)
Saya mengenal Natsir ketika saya menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Islam di Yogyakarta pada 1983. Saya sering berkunjung ke kantornya di Dewan Dakwah di Jakarta.
Pernah dia memarahi saya habis-habisan. Ini terkait dengan tulisan saya di majalah Kiblat. Untuk menarik pembaca, kami membuat laporan mengenai Al-Quran. Di sampul majalah, kami menulis judul: ”Al-Quran Ditinjau Kembali”. Ketika itu Pak Natsir berusia 79 tahun.
Ditinjau di sini maksudnya dibaca kembali. Saya berusaha menelepon untuk menjelaskan secara langsung, tapi telepon diangkat orang lain. Lalu Pak Natsir menelepon saya dan mengatakan, ”Tidak ada bincang-bincang!” Telepon ditutup. Saya berpikir, ”Habis nih, saya.” Ternyata kemarahannya tak berlanjut.
Selanjutnya adalah perdebatan panas yang berakhir obrolan santai. Ini terjadi ketika saya bekerja di majalah Media Dakwah milik Dewan Dakwah. Suatu ketika, dia mengirimkan memo kepada pemimpin redaksi. Pak Natsir meminta majalah ini tidak memuat tulisan seseorang karena isinya dinilai bermasalah. Ini terjadi sekitar 1992.
Saya protes dan mendatangi rumahnya. ”Apa bedanya Anda dengan Soeharto yang melarang penulisan?” Pak Natsir balas mendebat hingga menunjuk-nunjuk saya. Ini berlangsung sekitar setengah jam. Terkadang dia memukul meja di ruang tamu.
Meski alot, saya sebagai bawahannya tidak diusir, apalagi dipecat. Kami sepakat tak ada titik temu. Lalu kami alihkan pembicaraan ke topik lain. Dan dia bisa mengobrol dengan relaks bahkan tertawa. Pak Natsir mengantar saya sampai ke teras ketika saya pamit.
Chris Siner Key Timu, 68 tahun
(Penanda tangan Petisi 50)
Saya kenal Mohammad Natsir sebagai pelaku sejarah, sebagai mantan perdana menteri, pengusul Mosi Integral yang menyelamatkan terpecahnya
Sikap kritis terhadap pemerintah tetap ia perlihatkan di masa Orde Baru.
Kami bersama menandatangani Petisi 50 pada Mei 1980, yang isinya mempertanyakan pernyataan Presiden tentang asas tunggal. Pak Natsir selalu hadir dalam diskusi di rumah Ali Sadikin. Saya melihat dia gigih, tidak berjuang untuk kebanggaan dan kebesaran dirinya.
Hidupnya sederhana sekali. Hal itu ditularkan kepada kami yang muda-muda. Kalau berdebat amatlah santun. Tidak membalas kata-kata kasar. Saya tak pernah mendengar dia memaksakan pandangan, misalnya soal Islam. Dia mengirim bunga ke rumah saya kalau
Mohammad Chudori, 83 tahun
(Bekas wartawan Antara dan Jakarta Post)
Saya mulai berkunjung ke rumah Pak Natsir di Jalan Jawa 28, Jakarta Pusat, pada 1945. Waktu itu saya tinggal di
Sekitar 1948, saya menjadi letnan dua Tentara Keamanan Rakyat dan melatih Laskar Hizbullah di Bogor. Setelah Siliwangi hijrah ke
Saya pun menemui Pak Natsir. Dia dengan tenang menjawab, ”Hanya kamu yang bisa memutuskan mau bergabung dengan mereka atau tidak.” Saya akhirnya memutuskan tetap bersama Hizbullah dan Masyumi.
Herman Nicolas Ventje Sumual, 85 tahun
(Proklamator Permesta)
Saya pertama kali bertemu dan berkenalan dengan Mohammad Natsir pada 1957 di Padang, Sumatera Barat. Ketika itu kami membicarakan rencana Pemerintahan Revolusioner Republik
Dari persinggungan saya dengan Natsir, saya harus jujur mengatakan dia adalah sosok pemimpin bangsa.
Setelah itu, saya tidak banyak berhubungan dengan dia hingga kemudian kami bertemu kembali dengan status tahanan setelah
Setelah peristiwa
Amien Rais, 64 tahun
(Bekas Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat)
Pertama kali mengenal Natsir secara pribadi setelah 1980-an. Saya sering ke rumahnya di Menteng, ke Masjid Munawwarah di Kebon Kacang, kemudian Dewan Dakwah di Gang Kramat, Jakarta Pusat. Di rumahnya terpampang potongan ayat terakhir
Jauh sebelum kenal dekat, saya sudah akrab dengan namanya. Kebetulan ibu saya pengagum Natsir. Suatu ketika Natsir datang ke Solo ada rapat Masyumi. Saya bangga sekali karena saya membacakan Al-Quran dalam acara tersebut. Ketika itu saya kelas VI sekolah rakyat. Toh, ibu saya sempat kecewa melihat Natsir memegang gelas dengan tangan kiri. Rupanya di mata Ibu, Natsir harus sempurna.
Pada 1957, ketika saya kelas I sekolah menengah pertama, terjadi peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta. Ibu mengatakan, kalau Natsir menang, kita pindah ke
"beberapa kenangan", Laporan Utama Majalah Tempo Edisi 21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008
As claimed by Stanford Medical, It is indeed the ONLY reason this country's women get to live 10 years longer and weigh an average of 19 kilos lighter than we do.
BalasHapus(And by the way, it is not related to genetics or some secret diet and really, EVERYTHING to do with "how" they are eating.)
P.S, What I said is "HOW", and not "what"...
Tap on this link to discover if this little questionnaire can help you decipher your true weight loss potential
senang ada tulisan ttg pak natsir di blog ini yang lumayan lengkap smoga bisa update terus
BalasHapusnemu tulisan lain yang bagus ttg pak natsir di salah satu website semoga bisa kolaborasi
https://www.goviralzone.my.id/2021/08/pak-natsir-bapak-nkri-seorang-pahlawan-dan-teladan-yang-jarang.html