Kamis, 20 Mei 2010

Natsir Bersikap Melalui Tulisan : Catatan 102 Tahun Mohammad Natsir

Natsir gencar mengkritik kaum nasionalis yang merendahkan Islam di majalah Pembela Islam. Tapi dia juga membela Soekarno.

Mohammad ­Natsir pernah terpesona pada ajaran nasio­nalisme yang dikumandangkan Partai Nasional Indonesia. Dia pun cukup rajin mendatangi rapat Partai yang senantiasa mengge­lorakan perlawanan terhadap penjajah Belanda itu. Bahkan Natsir pernah menghadiri orasi Soekarno, yang ketika itu terkenal sebagai Pemimpin Besar Partai Nasional Indonesia, di Bandung.

Tapi Natsir terperanjat ketika dia mendengar ejekan terhadap Islam semakin sering muncul di tengah kampanye Partai Nasional Indonesia pada kurun 1920-1930. Ada yang mencela poligami dan aturan Islam. Bahkan Dr Sutomo pernah mengatakan, ”Pergi ke Digul lebih baik daripada pergi naik haji ke Mekah.”

Sadarlah Natsir bahwa gerakan kebangsaan yang dipelo­pori Soekarno dan kawan-kawannya mulai menyemai bibit kebencian dan meremehkan Islam. Padahal, pada saat itu, Partai Nasional Indonesia dan Partai Syarekat Islam Indonesia—yang berdiri lebih dulu 15 tahun ketimbang Partai Nasional—sama-sama gigih menentang kolonialisme.

Kondisi politik ketika itu membuat Natsir gelisah. Dia banyak belajar pengetahuan Islam dari A. Hassan, gurunya di Bandung, yang kemudian bahkan membuat Natsir muda rela melepaskan kesempatan kuliah hukum di Leiden, Belanda. Tapi dia juga dihadapkan pada perbedaan pandangan politik yang tajam. Paham nasionalisme yang dia banggakan, justru oleh kelompok Partai Nasional Indonesia, ”digunakan” sebagai landasan untuk merendahkan Islam.

Natsir pun tak tinggal diam. Bersama teman-temannya di ma­jalah Pembela Islam ia mulai mengeluarkan tulisan pedas yang menyerang balik kelompok nasionalis. Majalah bulanan se­ukuran 12 x 19 sentimeter itu kemudian boleh dikata sebagai media yang isinya sarat dengan berbagai perdebatan dan pemikiran. Mulai dari urusan fikih, pertentangan antaraliran agama dan golongan, sampai ke tema politik dan kebangsaan.

Tak mengherankan, karena begitu ”beratnya” Madjallah Comite ”Pembela Islam”—begitu yang tertulis di halaman depannya—menyuarakan berbagai soal itu, semua penulis menggunakan na­ma samaran atau inisial. Maklum, penguasa Belanda tidak pernah membiarkan artikel kritis seperti itu bermunculan di tanah jajahan.

Ancaman hukuman delik pers (pers delict) terhadap pengelola dan penulisnya, hingga peng­hentian penerbitan, selalu mem­ba­yangi mereka. Menurut guru besar luar biasa Jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran, Bandung, Profesor Dadan Wildan Annas, karena kondisi politik saat itu, dan untuk menyembunyikan diri dari serangan lawan politiknya, penggunaan nama samaran memang hal wajar.

Inisial yang muncul antara lain AH, AL, AM, WS, dan MS. Ahmad Hassan, guru agama Natsir, memakai inisial AH. Sedangkan Natsir sendiri ”menyembu­nyikan” identitas dengan AM atau A. Moechlis, serta Is. Namun, beberapa penulis dari luar tetap memasang nama asli mereka, seperti Moenawwar Chalil,­ ulama dari Kendal, Jawa Tengah; dan Abikoesno Tjokrosoejoso, aktivis Partai Syarekat Islam Indonesia.

Sebenarnya, meski mengguna­kan nama samaran, para pembaca setia Pembela Islam ­tetap tahu siapa identitas asli ­penulis, dari gaya tulisan mereka. AH umumnya mengulas ­masalah fikih, antaraliran Islam dan golongan kaum muslimin. Dia juga ­banyak mengkritik kaum Alawiyin (Ba’alwi), yang selalu meminta kedudukan lebih tinggi dalam urusan agama Islam. Tampak A. Hassan sangat pro Al-Ir­syad dan kaum Wahabi yang tak sejalan dengan Ar-Rabitah Alawiyin, Ba’alwi, dan aliran Islam mazab Syafii yang banyak dianut di Indonesia. Sedangkan AM atau A. Moechlis lebih banyak meng­ulas masalah politik, kebangsaan, dan Islam yang lebih luas.

Yang paling seru adalah ”pertempuran” antara Natsir dan kelompok nasionalis, yang disebut sebagai ”Soekarno cs”. Dalam tulisan-tulisannya, Natsir ingin memberikan garis pemisah tegas antara perjuangan kemerdekaan berdasar kebangsaan dan yang berdasar cita-cita Islam. Hal itu makin dikuatkan oleh artikel berjudul ”Kebangsaan Muslimin”. Tulisan ini—yang merupakan reaksi atas penghinaan kaum nasionalis terhadap Islam—sangat menggemparkan, hingga Pembela Islam disebut sebagai ”Pembelah Islam”.

Toh, Natsir jalan terus. Dia bahkan juga mengkritik kaum bid’ah dalam pergerakan kemerdekaan. Menurut dia, kaum bid’ah adalah mereka yang suka mengadakan kegiatan maulud, pesta besar khatam Quran anak-anaknya, dan pesta perkawinan yang berlebihan. Natsir menganggap kaum bid’ah banyak bergabung dalam Partai Syarekat Islam Indonesia. Tulisan di Pembela Islam edisi 62 misalnya: kalaoe pergerakan politiek Islam membenarkan kaoem ahli bid’ah masoek djadi anggotanja, apakah beda pergerakan politiek Islam ini dengan partij politik jang berasas kebangsaan jang menerima anggotanja dari orang-orang Islam tjap ”hanya bibir”?

Kritik Natsir dan kawan-ka­wan terhadap kaum nasional­is—atau aliran Islam yang tak sejalan dengan pemikiran dan kelompoknya dalam Pembela Islam—memang keras. Namun Nat­sir tetap maju membela Soe­karno, yang selama ini dia kritik, ketika dia diadili pemerintah kolonial Belanda sebelum dibuang ke Ende. Bahkan selama di pembuangan itu, Soekarno paling sering berkorespondensi dengan kelompok Pembela Islam.

Sayang, jejak Pembela Islam kini hanya samar-samar. Kantornya sudah tak bisa dikenali lagi. Dalam salah satu edisi di majalah itu, alamat pengelola­nya disebutkan ada di Jalan Lengkong Besar 90, Bandung. Tapi, setelah ditelusuri, yang ada hanya nomor 88 lalu lompat ke 92. Di antara dua bangunan itu, berdiri sebuah rumah dalam gang buntu kecil, tanpa nomor dan tertulis Panti Pijat Mitra Sehat. Orang yang tinggal di sana tak satu pun tahu tentang keberadaan rumah nomor 90, apalagi bekas kantor Pembela Islam. Namun, menurut Dedy Rahman, anak perintis Pesantren Persis, Jalan Lengkong Besar 90 kini menjadi gedung Universitas Pasundan, yang sebelumnya adalah hotel.

Satu lagi petunjuk juga tak berbekas. Ada satu alamat kantor Pembela Islam lain yang tercantum dalam majalah edisi 66, ya­itu di Pangeran Soemedangweg 39, Bandung. Tempat itu kini dikenal sebagai Jalan Otto Iskandar Dinata 233. Di sana berdiri kantor sebuah bank. Bangunan aslinya sudah dipugar total. ”Di tempat ini, Natsir muda sering berdiskusi dengan A. Hassan, Haji Zamzam, dan Haji Muhammad Yunus, tiga tokoh penting Persa­tuan Islam,” ujar Dadan.

Bahkan lembaga yang dekat dengan Natsir pun hanya memiliki ”kenang-kenangan” terbatas. Pengurusan Pusat Persatuan Islam (Persis) di Bandung hanya punya fotokopi majalah tersebut. Itu pun tidak lengkap. Ketua Umum Pengurus Pusat Persis, Shiddiq Amien, sebenarnya sudah lama berencana menyimpan dan mengumpulkan semua edisi Pembela Islam. Bahkan dia sudah menyiapkan satu ruangan di lantai dua untuk menyimpan koleksi majalah itu. Tapi usahanya tak kunjung berhasil. ”Banyak keluarga yang masih tidak rela dan memilih menyimpan (majalah) di rumah. Padahal tidak dibaca, kalau di sini kan banyak orang yang bisa mengaksesnya,” katanya.

Sumber : Laporan Utama Majalah Tempo Edisi. 21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan dari, oleh dan untuk Blogger