Natsir sempat ditolak masuk sekolah dasar Belanda. Tak bayar iuran, ia pernah belajar kucing-kucingan.
SETIAP kali menatap bangunan kukuh berdinding batu di Kota Padang itu, hati remaja itu selalu bergetar. Di gedung sekolah Belanda,
Itulah sekolah dambaan M. Natsir sejak kecil. Tapi pemerintah Belanda hanya menerima anak pegawai negeri dan anak saudagar kaya.
Pada usia 7-8 tahun, sekolah Natsir sempat tak menentu. Saat itu ayahnya, Mohammad Idris Sutan Saripado, pindah kerja dari Bonjol ke Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Natsir ikut ayahnya ke
Di Maninjau ia belajar di sekolah rakyat berbahasa
Belakangan Natsir mendengar beberapa tokoh pergerakan mendirikan sekolah HIS partikelir di
Tapi di sini pun Natsir hanya bertahan beberapa bulan. Ayahnya yang dipindahkan ke Alahan Panjang membuatnya harus pindah sekolah lagi. Tapi kali ini Natsir sekolah di kelas II HIS Solok. Untuk itu, ia dititipkan di rumah Haji Musa, seorang saudagar. Di tempat inilah Natsir belajar bahasa Arab dan mengaji fikih. Dalam uji coba sekolah di HIS, Natsir muda berhasil mengikuti pelajaran dengan baik bahkan melampaui prestasi kawan-kawan kelasnya.
Tak lama Natsir di Solok, ayahnya kembali pindah, kali ini ke
Siang di HIS, sore hari Natsir belajar di madrasah, dan malam mengaji Al-Quran. Tiga tahun ia tinggal di rumah itu. Di sekolah Diniyah kelas III ia terpilih menjadi guru bantu untuk kelas I. Untuk itu, ia dibayar Rp 10.
Tapi tak lama di Solok, kakak Natsir, Uni Rabiah, memintanya kembali ke
Di Padang, Natsir tinggal di sebuah gudang bersama pamannya, Macik Rahim, yang bekerja memilah kopi di sebuah pabrik di dekat lapangan Skipdi, di pinggiran pantai
Hidup di Padang adalah ujian berat bagi Natsir kecil. Ia harus mengurus keperluan hidupnya sendiri. Pada usia 11 tahun, ia mencuci dan memasak sendiri makanannya.
Beban hidupnya di
Setelah lulus HIS, Natsir mendengar sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)
Natsir yang terbiasa bekerja keras ikut serta. Bersyukur rapornya bagus dan ia mendapatkan beasiswa Rp 20 per bulan. Uang itu digunakannya untuk menolong kakak perempuannya dan membeli buku.
Di MULO Natsir belajar bermain biola. Ia juga aktif di kepanduan organisasi Pemuda Islam, Jong Islamiten Bond. Di MULO Natsir untuk pertama kalinya duduk berdampingan dengan murid-murid Belanda.
Di Jong Islamiten Bond inilah Natsir mengenal Nur Nahar, murid perempuan yang saat itu aktif dalam Jibda—organisasi wanita Jong Islamiten Bond. Kelak Nur Nahar menjadi istri yang mendampinginya hingga akhir hayat.
Sumber :
Dendam Anak Juru Tulis, Laporan Utama Majalah Tempo Edisi 21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar