Berbagai cara dilakukan Natsir untuk melunakkan hati Kartosoewirjo. Kendati gagal, Kartosoewirjo tetap menghormatinya.
DI lereng Gunung Rakutak, Cicalengka, Kabupaten Bandung, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mengakhiri perlawanannya. Ketika gelap mulai merayapi punggung Rakutak, 3 Juni 1962, bersama seorang anak buahnya, Dodo Muhammad Darda, sang imam Negara Islam Indonesia, ”angkat tangan”. Ia menyerah kepada pasukan Batalion 328 Kujang yang dipimpin Letnan Dua Suhanda.
Tiada perlawanan. Ketika ditangkap, pria 57 tahun itu tergolek lemah di dalam gubuk akibat luka di kakinya yang makin parah. Ki Dongkol, keris pusakanya, masih terselip di pinggang. Pasukan Suhanda terpaksa memakai tandu membawa Kartosoewirjo turun gunung.
Setelah tiga belas tahun bergerilya melawan pemerintah, Kartosoewirjo dan pasukannya memang makin terpojok. Cadangan logistik yang terus menipis membuat mereka terpaksa makan daun-daunan. Mental pasukan makin jatuh ketika, dalam pertempuran di Desa Cipaku, Ciparay, sekitar
Sejak itu, satu per satu pendukung utama Tentara Islam
Selepas fajar, pada 5 September 1962, sang imam diangkut kapal Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dari pangkalan Tanjung Priok menuju salah satu pulau tak berpenghuni di Kepulauan Seribu. Di
BIBIT perlawanan Kartosoewirjo bersemai ketika perjanjian dengan Belanda di atas kapal perang USS Renville milik Amerika Serikat yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta ditandatangani Perdana Menteri Amir Syarifuddin pada 17 Januari 1948. Salah satu butir kesepakatan Renville, penetapan garis Van Mook sebagai batas wilayah
Kartosoewirjo termasuk yang kecewa akan Perjanjian Renville. Ia merasa ditinggalkan pemerintah. Bersama pasukan Sabilillah dan Hizbullah, Kartosoewirjo menolak mengikuti jejak Divisi Siliwangi mundur ke Jawa Tengah. Dia bertekad tetap bertahan di Jawa Barat serta terus melawan Belanda.
Sebagai persiapan, pada 10 Februari 1948 Kartosoewirjo mengumpulkan ratusan pemimpin Islam se-Jawa Barat di Desa Pangwedusan, Cisayong, Tasikmalaya. Selain menuntut pembatalan Perjanjian Renville dan membekukan Partai Masyumi, pertemuan itu menyepakati membentuk Tentara Islam
Melihat kondisi ini, Perdana Menteri Mohammad Hatta menunjuk Muhammad Natsir sebagai penghubung pemerintah—yang saat itu berdomisili di
Natsir, dalam wawancara dengan Tempo pada Desember 1989, menggambarkan hubungan Kartosoewirjo dengan pemerintah saat itu masih lumayan mesra. Berulang kali Kartosoewirjo datang ke
Bagi kelompok Kartosoewirjo, kekosongan kekuasaan di Jawa Barat juga berarti peluang mendirikan Negara Islam. Lewat beberapa kurir, niat mendirikan negara Islam itu disampaikan Kartosoewirjo ke beberapa pengurus besar Masyumi di Yogyakarta, antara lain Anwar Tjokroaminoto, A.M. Soebakin, dan Abikoesno Tjokrosoejoso. Dalam
Puncaknya, pada 7 Agustus 1949, di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Kartosoewirjo mendeklarasikan Negara Islam
BERBAGAI upaya dilakukan pemerintah untuk menghentikan niat Kartosoewirjo memisahkan diri dan mendeklarasikan Negara Islam
Ketika itu, 4 Agustus, Natsir menginap di Hotel Homann,
Menurut Natsir, Kartosoewirjo memang dijaga ketat para pengawalnya. Tak sembarang orang bisa bertemu. A. Hassan pun sempat diminta menunggu hingga beberapa hari. Namun, kalaupun tiba tepat waktu, kata Natsir, itu pun tak mudah menggeser sikap Kartosoewirjo. ”Bagi dia, yang berat itu menjilat ludah sendiri,” kata Natsir.
Bendera Darul Islam memang sudah telanjur dikibarkan di Jawa Barat, dan pasukan Kartosoewirjo terus bergerilya. Kendati demikian, hubungan Natsir dengan Kartosoewirjo tetap tersambung. Selama bergerilya, paling tidak dua kali Kartosoewirjo mengirim
Usaha Natsir melunakkan hati sang imam dan pengikutnya tak pernah berhenti. Pada Juni 1950, dia mengutus Wali Alfatah, teman lama Kartosoewirjo, menemui sang imam. Namun Kartosoewirjo menolak bertemu. Sang imam menyatakan, dia hanya bersedia menerima pejabat tinggi
Pada akhirnya, memang bukan Natsir yang berhasil menaklukkan sang imam, melainkan peluru yang menembus dadanya. Walau demikian, menurut penuturan salah seorang bekas anak buah Kartosoewirjo, seperti dikatakan Sardjono Kartosoewirjo, ayahnya tetap menaruh hormat kepada Natsir. Bahkan Kartosoewirjo berwasiat kepada pengikutnya: ”Kalau aku nanti mati, kalian ikuti Pak Natsir.”
Sumber : Laporan Utama Majalah Tempo Edisi 21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008
Kenapa saat Natsir menjadi PM malah memerintahkan Nasution untuk memberantas TII secara militer (bukan dialog)????
BalasHapussaat itu Natsir berposisi sebagai PM yang bertugas mengayomi penduduk Indonesia, dari berbagai agama, suku dan golongan terutama program keamanan. saya yakin pasti Natsir sudah memikirkan masak2 tindakannya itu
BalasHapusnggak lah,.. apapun posisinya ukhuwah islamiyah tetap harus dikedepankan...kasihan buya, begitu mudahnya dia tergelincir dari tuntunan Allah dan Rasulnya
BalasHapus