Di Bandung, jalan hidup Natsir berbelok. Perjumpaannya dengan A. Hassan dan keaktifannya di organisasi Islam membuat Natsir memutuskan menolak beasiswa ke Belanda. Ia pun mendirikan sekolah Islam modern pertama di Indonesia.
Lebar jalan itu 1,5 meter. Hanya cukup dilalui satu mobil. Tak panjang, cuma sekitar satu kilometer. Sepi. Tak ramai mobil melintas di jalan yang terletak dekat Jalan Otto Iskandar Dinata,
Pada zaman Belanda, namanya Gank Belakang Pakgade. Menurut sejarawan Ajip Rosidi, dulu banyak orang keturunan
Hassan yang dimaksud adalah Ahmad Hassan, pria keturunan
Bahkan, dari diskusi-diskusi sore hari di sanalah, jalan hidup Natsir berbelok. Natsir muda yang awalnya bercita-cita menjadi ahli hukum itu pun mulai tertarik (lagi) dengan agama dan memutuskan untuk melempar kesempatan kuliah hukum.
Perjumpaan keduanya terjadi ketika Natsir berumur 20 tahun dan duduk di kelas 5 Algemeene Middelbare School (2 SMA). Adalah Fachroeddin Al-Khahiri—pelajar AMS keturunan
Kecocokan itu yang membuat Natsir kerap singgah. Kadang dengan Fachroeddin, tapi lebih sering sendiri. Menurut kesaksian Natsir, di rumahnya yang amat sederhana, di belakang Pajak Gadai, Bandung itu, Hassan menulis, mengedit, mencetak, bahkan mengepak sendiri buku yang diterbitkannya. Sebuah mesin cetak kecil dengan leter timah diletakkan di atas ampar di beranda rumah itu. ”Tertarik benar
Meski amat sibuk, Hassan, yang ahli menggesek biola seperti Natsir, selalu menghentikan kegiatannya begitu Natsir datang, dan mengajaknya bercakap-cakap. ”Percakapan dan pertukar pikiran dengan Tuan A. Hassan itu banyak sekali pengaruhnya bagi jiwa dan arah hidup
Diskusi itu kembali membangkitkan minat Natsir pada agama, yang pernah dipelajarinya di Solok, ”Tetapi sudah bertahun-tahun terbengkalai.” Natsir mulai kembali mempelajari bahasa Arab dan Al-Quran dari dua terjemahan yang diberikan A. Hassan, terjemahan bahasa Inggris oleh Muhammad Ali dan Tafsir Al-Furqan karya A. Hassan. Begitu bersemangatnya Natsir mempelajari Islam, hingga hampir-hampir ia ketinggalan pelajaran di sekolah.
Sebenarnya, menurut pengakuan Natsir, ada tiga guru yang mempengaruhi pemikirannya. A. Hassan, Haji Agus Salim, dan Ahmad Sjoorkati. Yang terakhir adalah ulama asal
Setelah menjadi wakil Fachroeddin dalam Jong Islamiten Bond Bandung, Natsir kian kerap berkunjung. Setiap sore. Yang membuat Natsir betah datang adalah keterbukaan dan kelugasan Hassan dalam beragama. Berbeda dengan kiai dan ulama tradisional yang menjejalkan ilmu dan tak mau dibantah, Hassan cenderung menyuruh Natsir mencari sendiri jawaban akan keingintahuannya.
Hassan yang lancar berbahasa Arab dan Inggris itu, bersama para pendiri Persis, memang memelopori pendekatan baru dalam beragama. Dia melarang taklid (membebek) pada pendapat ulama, membolehkan umat Islam membuat fatwa sendiri menurut zamannya, dan menghilangkan batas-batas mazhab yang membelenggu. Bahkan tak segan ia mengubah pendapatnya jika muridnya mendapati dalil yang lebih sahih.
”Karena Natsir bergabung dengan tokoh pendiri Persis dan A. Hassan, maka Natsir mendapatkan pemikiran baru yang tercerahkan. Natsir muncul sebagai tokoh intelektual muda,” kata Profesor Dadan Wildan, guru besar Universitas Padjadjaran yang pernah menjadi Sekretaris Umum Persis.
Tapi bukan hanya Natsir yang terpengaruh. Meski tak pernah masuk kepengurusan Persis, Natsir dianggap memberi warna modern pada organisasi ini. ”Sehingga Persis waktu itu dikenal sebagai kelompok modernis atau pembaharu dalam Islam,” kata Shiddiq Amien. Natsir jugalah yang memperkenalkan sistem organisasi yang modern dan tertib di Persis.
Pertemuannya dengan Hassan dan para tokoh Persis membuat Natsir banting setir. Cita-citanya untuk dapat menjadi meester in de rechten, seorang ahli hukum, pun ditanggalkannya. Padahal, ketika menerima ijazah AMS Afd AII pada 1930 yang berangka memuaskan, Natsir berhak mendapat beasiswa kuliah di fakultas hukum di Batavia atau Fakultas Ekonomi di Rotterdam, Belanda. ”Aneh! Semua (beasiswa) itu tidak menerbitkan selera
Menolak beasiswa sebesar Rp 130 sebulan, Natsir memilih mendirikan sekolah partikelir dengan gaji Rp 17,50. Setelah berdiskusi dengan Hassan, Natsir merintis sebuah sekolah kecil di Jalan Lengkong Besar Nomor 16. Untuk mengirit ongkos hidup, ia pindah dari kontrakannya di Ciateul ke gedung sekolah. Tinggal di satu kamar dekat dapur.
Ini adalah proyek idealis. Ia ingin membuat lembaga pendidikan Islam yang modern. Jauh dari kesan pesantren dan madrasah pada saat itu. Ia ingin menggabungkan ilmu pengetahuan umum yang diajarkan di sekolah Belanda dengan pelajaran agama Islam. ”Maka sistem pendidikan Islam itu, ringkasnya, adalah ditujukan kepada manusia yang seimbang. Seimbang kecerdasan otaknya dengan keimanannya kepada Allah dan Rasul,” kata Natsir.
Meski memiliki lembaga pendidikan sendiri, Natsir tidak melupakan Persis. Menurut Shiddiq Amien, Natsir jugalah yang mempengaruhi sistem pendidikan pesantren Persis pertama di Jalan Pajagalan,
Natsir saat itu masih berusia 23 tahun. Ia hanya punya semangat. Bahkan sebelum mengambil kursus guru selama setahun, dia sama sekali tak punya teori soal membuat sekolah. Rumah kecil yang menjadi cikal bakal sekolah Pendidikan Islam (Pendis) itu pun tak mampu menampung banyak murid.
Peruntungan sekolah Natsir berubah pada suatu sore. Bertongkatkan payung hitam, Pak Haji Muhammad Yunus—orang kaya, salah seorang tokoh Islam saat itu—mendatanginya di gedung sekolah. Mukanya berseri-seri tatkala berkata kepada Natsir: ”
Di situlah ide Natsir mulai membuahkan hasil. Dengan mengurangi hafalan, Natsir menstimulus muridnya berpikir mandiri dan tidak minder. Khotbah Jumat tidak diberikan oleh guru atau ustad, tapi juga oleh murid. Mereka juga diajari berkebun di lahan satu hektare di Ciateul. Mereka bahkan, ”Belajar piano untuk meninggikan nilai belajar mengaji.”
Murid juga diminta membuat sendiri lagu-lagunya, ”Agar tidak membeo kepada nyanyian yang sudah ada.” Setidaknya sekali setahun para murid diminta mementaskan lagu, sandiwara, musik, dan kerajinan tangan. Tonil Sekolah Pendis saat itu bahkan amat terkenal di
Sumber : Laporan Utama Majalah Tempo Edisi. 21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar