Rabu, 12 Mei 2010

Setelah Diskusi Sore di Kampung Keling : Catatan 102 Tahun Mohammad Natsir

Di Bandung, jalan hidup Natsir berbelok. Perjumpaannya dengan A. Hassan dan keaktifannya di organisasi Islam membuat Natsir memutuskan menolak beasiswa ke Belanda. Ia pun mendirikan sekolah Islam modern pertama di Indonesia.

Lebar jalan itu 1,5 meter. Hanya cukup dilalui satu mobil. Tak panjang, cuma sekitar satu kilometer. Sepi. Tak ramai mobil melintas di jalan yang terletak dekat Jalan Otto Iskandar Dinata, Bandung itu. Papan nama jalan itu pun sudah tidak terlalu jelas. Huruf-hurufnya kabur digosok usia. Namun toh tetap bisa dibaca: Jalan Pakgade.

Pada zaman Belanda, namanya Gank Belakang Pakgade. Menurut sejarawan Ajip Rosidi, dulu banyak orang keturunan India berkulit keling tinggal di situ. Tapi kini hampir tak tersisa. Kalau belakangan Anda sempat lewat jalan itu, ada tanah kosong tak berbangunan di sana. Entah, kini milik siapa. Tapi, ”Setahu saya, dulunya di situ rumah Hassan,” kata Tan Kim, 53 tahun, yang tinggal di jalan itu. ”Hassan siapa, saya tidak tahu.”

Hassan yang dimaksud adalah Ahmad Hassan, pria keturunan India asal Singapura yang kemudian menjadi ahli agama di organisasi Persatuan Islam (Persis). Ia tinggal di Bandung pada akhir 1920-an, setelah turun kapal di Surabaya. Dan di rumah Hassan di Jalan Pakgade itulah Mohammad Natsir kerap datang untuk menimba ilmu agama.

Bahkan, dari ­diskusi-­diskusi sore hari di sanalah, jalan hidup Natsir berbelok. Natsir muda yang awalnya bercita-cita menjadi ahli hukum itu pun mulai tertarik (lagi) dengan agama dan memutuskan untuk melempar kesempatan kuliah hukum.

Perjumpaan keduanya terjadi ketika Natsir berumur 20 tahun dan duduk di kelas 5 Algemeene Middelbare School (2 SMA). Adalah Fachroeddin Al-Khahiri—pelajar AMS keturunan India yang bertubuh tinggi, bersuara lantang, agak emosional, penggembira, dan kalau tertawa berkakakan—yang membawa Natsir ke rumah A. Hassan. ”Pemikiran maju Natsir bertemu dengan pemahaman agama Hassan yang reformis, maka cocok sekali,” kata Ketua Umum Persis KH Shiddiq Amien. Mereka cocok, meski usia terpaut 20 tahun.

Kecocokan itu yang membuat Natsir kerap singgah. Kadang dengan Fachroeddin, tapi lebih sering sendiri. Menurut kesaksian Natsir, di rumahnya yang amat sederhana, di belakang Pajak Gadai, Bandung itu, Hassan menu­lis, mengedit, mencetak, ­bahkan mengepak sendiri buku yang diterbitkannya. Sebuah mesin cetak kecil dengan leter timah diletakkan di atas ampar di beranda rumah itu. ”Tertarik benar Aba kepada Tuan Hassan itu,” tulis Natsir dalam surat kepada anak-anaknya. ”Beliau seorang alim yang original. Beliau seorang ahli perusahaan yang praktis.”

Meski amat sibuk, Hassan, yang ahli menggesek biola seperti Natsir, selalu menghentikan kegiatannya begitu Natsir datang, dan mengajaknya bercakap-cakap. ”Per­cakapan dan pertukar pikir­an dengan Tuan A. Hassan itu banyak sekali pengaruhnya bagi jiwa dan arah hidup Aba selanjutnya. Sudah tentu yang dibicarakan soal agama. Dicampur dengan soal politik, soal perge­rakan kemerdekaan,” tulis Natsir dalam suratnya.

Diskusi itu kembali membangkitkan minat Natsir pada agama, yang pernah dipelajarinya di Solok, ”Tetapi sudah bertahun-tahun terbengkalai.” Natsir mulai kembali mempelajari bahasa Arab dan Al-Quran dari dua terjemahan yang diberikan A. Hassan, terjemahan bahasa Inggris oleh Muhammad Ali dan Tafsir Al-Furqan karya A. Hassan. Begitu bersemangatnya Natsir mempelajari Islam, hingga hampir-hampir ia ketinggalan pelajaran di sekolah.

Sebenarnya, menurut peng­akuan Natsir, ada tiga guru yang mempengaruhi pemikirannya. A. Hassan, Haji Agus Salim, dan Ahmad Sjoorkati. Yang terakhir adalah ulama asal Sudan, pendiri Al-Irsyad, dan juga guru A. Hassan. Tapi intensitas pertemuanlah yang membuat Natsir lebih dekat kepada Hassan.

Setelah menjadi wakil Fach­roeddin dalam Jong Islamiten Bond Bandung, Natsir kian kerap berkunjung. Setiap sore. Yang membuat Natsir betah datang ada­lah keterbukaan dan kelu­gasan Hassan dalam beragama. Berbeda dengan kiai dan ­ulama tradisional yang menjejalkan il­mu dan tak mau dibantah, Hassan cenderung menyuruh Natsir mencari sendiri jawaban akan keingintahuannya.

Hassan yang lancar berbahasa Arab dan Inggris itu, bersama para pendiri Persis, memang memelopori pendekatan baru dalam beragama. Dia melarang taklid (membebek) pada pendapat ulama, membolehkan umat Islam membuat fatwa sendiri menurut zamannya, dan menghilangkan batas-batas mazhab yang membelenggu. Bahkan tak segan ia mengubah pendapatnya jika muridnya mendapati dalil yang lebih sahih.

”Karena Natsir bergabung dengan tokoh pendiri Persis dan A. Hassan, maka Natsir mendapatkan pemikiran baru yang tercerahkan. Natsir muncul sebagai tokoh intelektual muda,” kata Profesor Dadan Wildan, guru besar Universitas Padjadjaran yang pernah menjadi Sekretaris Umum Persis.

Tapi bukan hanya Natsir yang terpengaruh. Meski tak pernah masuk kepengurusan Persis, Natsir dianggap memberi warna modern pada organisasi ini. ”Sehingga Persis waktu itu dikenal sebagai kelompok modernis atau pembaharu dalam Islam,” kata Shiddiq Amien. Natsir jugalah yang memperkenalkan sistem organisasi yang modern dan tertib di Persis.

Pertemuannya dengan Hassan dan para tokoh Persis membuat Natsir banting setir. Cita-citanya untuk dapat menjadi meester in de rechten, seorang ahli hukum, pun ditanggalkannya. Padahal, ketika menerima ijazah AMS Afd AII pada 1930 yang berangka memuaskan, Natsir berhak mendapat beasiswa kuliah di fakultas hukum di Batavia atau Fakultas Ekonomi di Rotterdam, Belanda. ”Aneh! Semua (beasiswa) itu tidak menerbitkan selera Aba sama sekali,” tulis Natsir kepada anak-anaknya.

Menolak beasiswa sebesar Rp 130 sebulan, Natsir ­memilih mendirikan sekolah ­partikelir dengan gaji Rp 17,50. Setelah ber­diskusi dengan Hassan, Natsir merintis sebuah sekolah kecil di Jalan Lengkong Besar Nomor 16. Untuk mengirit ongkos hidup, ia pindah dari kontrakannya di Ciateul ke gedung sekolah. Tinggal di satu kamar dekat dapur.

Ini adalah proyek idealis. Ia ingin membuat lembaga pendidikan Islam yang modern. Jauh dari kesan pesantren dan madrasah pada saat itu. Ia ingin menggabungkan ilmu pengetahuan umum yang diajarkan di sekolah Belanda dengan pelajar­an agama Islam. ”Maka sistem pendidikan Islam itu, ringkasnya, adalah ditujukan kepada manusia yang seimbang. Seimbang kecerdasan otaknya dengan keimanannya kepada Allah dan Rasul,” kata Natsir.

Meski memiliki lembaga pendidikan sendiri, Natsir tidak melupakan Persis. Menurut Shiddiq Amien, Natsir jugalah yang mempengaruhi sistem pendidik­an pesantren Persis pertama di Jalan Pajagalan, Bandung. Tidak seperti di pesantren tradi­sional yang santrinya mengaji ramai-ramai, pesantren Persis mewajibkan santrinya masuk kelas. Di Persis, santri setingkat SMA sudah diajar psikologi, ­sosiologi, logika Yunani, dan astronomi. ”Pak Natsir juga yang memperkenalkan sistem ­administrasi dalam pendidikan pesantren,” tuturnya.

Natsir saat itu masih berusia 23 tahun. Ia hanya punya semangat. Bahkan sebelum mengambil ­kursus guru selama setahun, dia sama sekali tak punya teori soal membuat sekolah. Rumah kecil yang menjadi cikal bakal sekolah Pendidikan Islam (Pendis) itu pun tak mampu menampung banyak murid.

Peruntungan sekolah Natsir berubah pada suatu sore. Bertongkatkan payung hitam, Pak Haji Muhammad Yunus—orang kaya, salah seorang tokoh Islam saat itu—mendatanginya di gedung sekolah. Mukanya berseri-seri tatkala berkata kepada Natsir: ”Ada gedung yang lebih besar akan kosong. Di jalan ini juga, nomor 74. Ruangannya lebih banyak, halamannya luas, tempat murid bermain,” kata Yunus.

Di situlah ide Natsir mulai membuahkan hasil. Dengan mengurangi hafalan, Natsir menstimulus muridnya berpikir ­mandiri dan tidak minder. Khotbah Jumat tidak diberikan oleh guru atau ustad, tapi juga oleh murid. Mereka juga diajari berkebun di lahan satu hektare di Ciateul. Mereka bahkan, ”Belajar piano untuk meninggikan nilai belajar mengaji.”

Murid juga diminta membuat sendiri lagu-lagunya, ”Agar tidak membeo kepada nyanyian yang sudah ada.” Setidaknya sekali setahun para murid diminta mementaskan lagu, sandiwara, musik, dan kerajinan tangan. Tonil Sekolah Pendis saat itu bahkan amat terkenal di Bandung.

Sumber : Laporan Utama Majalah Tempo Edisi. 21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan dari, oleh dan untuk Blogger