Minggu, 30 Mei 2010

M Natsir Arsitek Negara Kesatuan : Catatan 102 Tahun Mohammad Natsir

Mosi Integral merupakan karya utama Natsir sebagai bapak bangsa. Paduan kejelian membaca situasi dan kepiawaian melakukan lobi.

Pada pertengahan 1949,­ Indonesia berada di tubir jurang. Republik yang masih bayi tak hanya menghadapi gempuran militer, tapi juga rongrongan di­plomasi Belanda. Salah satu pukulan yang menusuk jantung Republik adalah dibentuknya negara-negara bagian yang terga­bung dalam Bijeenkomst voor Federaal Overleg.

Dalang Bijeenkomst adalah bekas Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus Johannes van Mook. Resminya, pembentukan Bijeenkomst disebut sebagai pelaksanaan Perjanjian Linggarjati 1946. Namun, dengan kelicikannya, Van Mook membiakkan negara bagian yang semestinya cuma terdiri atas Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Borneo, menjadi 16 negara bagian.

Negara Borneo dipecah menjadi lima: Dayak Besar, Borneo Tenggara, Borneo Timur, Borneo Barat, dan Banjar. Republik Indonesia dicabik menjadi sembilan negara bagian: Bengkulu, Beliton, Riau, Sumatera Timur, Ma­dura, Pasundan, Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Dia menyisakan Republik Indonesia menjadi negara bagian kecil yang hanya memiliki wilayah seluas Kesultanan Yogyakarta.

Bahkan di Sumatera telah antre Jambi dan Tapanuli Selatan untuk menjadi negara bagian sendiri. Van Mook memang se­ngaja melakukan politik pecah belah. Tujuan akhirnya jelas: untuk meniadakan Republik Indonesia.

Dalam sebuah tulisan pada 1982, Mr Mohammad Roem menyebut, ”Memang sangat menarik untuk membentuk negara bagian, lebih-lebih untuk menjadi kepala negaranya. Orang memperoleh segala fasilitas keuangan dan teknis dari pemerintah Hindia Belanda.” Tak mengherankan bila kaum Republik mencemooh Bijeenkomst voor Federaal Overleg sebagai, ”Negara boneka bikinan Van Mook.”

Pada 27 Desember 1949 lahirlah Republik Indonesia Serikat menggantikan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Soekarno tetap menjadi presiden dan Hatta menjabat wakil presiden merangkap perdana menteri. Belanda melakukan penyerahan kedaulatan disertai pengakuan kepada republik baru.

Siasat Van Mook terbukti tak berjalan mulus. Di Yogyakarta, Mr Asaat dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia—salah satu negara bagian dalam Republik Indonesia Serikat. Tapi, karena rakyat tak dapat melepaskan pikiran dari wibawa dan pengaruh Presiden Soekarno, Asaat mengambil sumpah sebagai ”Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia”.

Pada 4 Januari 1950, Asaat mengangkat tiga orang untuk membentuk kabinet, yakni Mr Susanto Tirtoprodjo, Mohammad Natsir, dan Dr Halim. Pokok pertama program kabinet itu berbunyi: ”Melanjutkan perjuangan untuk membentuk satu negara kesatuan yang akan meliputi Nusantara sebagai tersebut dalam proklamasi 17 Agustus 1945.”

Pada hari yang sama, negara-negara bagian lain mulai bergolak. Kaum republiken dari berbagai pelosok negeri menyampaikan aspirasi kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Malang, misalnya, mencetuskan resolusi untuk lepas dari Negara Jawa Timur dan menggabungkan diri dengan Republik Indonesia.

Pada 30 Januari 1950, giliran Kabupaten Sukabumi mengeluarkan resolusi serupa: lepas dari Negara Pasundan dan bergabung dengan Republik Indonesia. Gejolak yang sama terjadi di Negara Sumatera Timur. Di sini malah terjadi demonstrasi-demonstrasi disertai kekacauan yang membuat polisi harus bertindak.

Menghadapi situasi ini, Natsir segera bermanuver. Sebagai Ketua Fraksi Masyumi di parlemen Republik Indonesia Serikat, ia mengambil inisiatif bertukar pikiran dengan pemimpin-pemimpin fraksi lain. Natsir segera mencapai kesepahaman dengan Kasimo dari Partai Katolik dan A.M. Tambunan dari Partai Kristen Indonesia.

Pembicaraan paling alot terjadi dengan kekuatan politik yang ekstrem: Partai Komunis Indonesia di sisi kiri dan Bijeenkomst voor Federaal Overleg di sebelah kanan. Tapi Natsir mendapat masukan berharga setelah berbincang dengan Insinyur Sakirman dari Partai Komunis Indonesia dan Sahetapy Engel dari Bijeenkomst.

Kebanyakan negara bagian rupanya berat membubarkan diri dan melebur dengan Republik Indonesia yang mereka sebut Republik Yogyakarta. Soalnya, mereka merasa sama-sama berstatus negara bagian menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat.

Setelah berbulan-bulan melakukan pembicaraan dan lobi dengan pemimpin fraksi lain, Natsir mengajukan gagasan kompro­mistis. Dia menyarankan semua ­negara bagian bersama-sama mendirikan negara kesatuan melalui prosedur parlementer. Jadi tidak ada satu negara bagian menelan negara bagian lainnya.

Usul itu diterima pemimpin fraksi lain. Maka, pada 3 April 1950, Natsir menyampaikan pidato bersejarah di depan parlemen Republik Indonesia Serikat. Pidato itu ditutup dengan mosi yang intinya: ”Dewan Perwakilan Rakyat Sementara Republik Indonesia Serikat dalam rapatnya tanggal 3 April 1950 menimbang sangat perlunya penyelesaian yang integral dan pragmatis terhadap akibat-akibat perkembangan politik yang sangat cepat jalannya pada waktu akhir-akhir ini.”

Mosi itu diteken beramai-ramai oleh Subadio Sastrosatomo, Hamid Algadri, Ir Sakirman, K. Werdoyo, Mr A.M. Tambunan, Ngadiman Harjosubroto, Sahetapy Engel, Dr Cokronegoro, Moch. Tauchid, Amelz, dan H Sirajudin Abbas. Mereka mewakili 11 fraksi di parlemen.

Sehari sebelum penyampaian mosi yang kemudian dikenal sebagai Mosi Integral Natsir, masih ada lagi dua resolusi dari daerah. Dewan Perwakilan Kota Praja Jakarta Raya dan Dewan Perwakilan Daerah Sulawesi Selatan menyatakan keinginan bergabung kembali dengan Republik Indonesia.

Isi Mosi Integral Natsir jelas merupakan undangan bagi pemerintah agar mengambil prakarsa mencari penyelesaian atau sekurang-kurangnya membuat rencana mengatasi gejolak.

Pemerintah, diwakili Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri Mohammad Hatta, menyambut mosi dengan tangan terbuka. ”Mosi Integral Natsir kami jadikan pedoman menyelesaikan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi,” ujarnya.

Hatta kemudian membentuk Panitia Persiapan yang terdiri atas utusan semua negara bagian. Mereka bertugas membuat Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selanjutnya pada 19 Mei 1950 diadakan perundingan pemerintah Republik Indonesia Serikat yang mewakili Negara Indonesia Timur dan Sumatera Timur dengan Republik Indonesia. Perundingan itu menghasilkan piagam yang ditandatangani Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Republik Indonesia Dr Halim.

Inti piagam tersebut adalah kesepakatan kedua belah pihak membentuk sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dalam waktu sesingkat mungkin.

Pada 15 Agustus 1950, Presiden Soekarno membacakan Piagam Pembentukan Negara Kesatuan dalam sidang bersama parlemen dan senat Republik Indonesia Serikat. Dua hari kemudian, saat perayaan ulang tahun kelima proklamasi kemerdekaan, Presiden Soekarno mengumumkan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Momen bersejarah itu dikenang sebagai Proklamasi Kedua Republik Indonesia. Dan Mohammad Natsir patut dicatat sebagai sang arsitek utama.

Sumber : Laporan Utama Majalah Tempo Edisi 21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008

Kamis, 27 Mei 2010

M Natsir Menteri dengan Jas Bertambal : Catatan 102 Tahun Mohammad Natsir

Natsir membiasakan keluarganya hidup bersahaja. Dia sendiri memberikan teladan.

Dari balik lemari yang menjadi sekat ruang tamu, Sitti Muchliesah bersama empat adik dan sepupunya mencuri dengar pembicaraan ayahnya, Mohammad Natsir, dengan seorang tamu dari Medan. Hati remaja-remaja itu berbunga ketika mendengar si tamu hendak menyumbangkan mobil buat ayah mereka.

Lies–panggilan Sitti–me­nyang­­­­ka mobil Chevrolet Impala­ yang sudah terparkir di depan rumahnya di Jalan Jawa 28 (kini Jalan H.O.S. Cokroaminoto), Jakar­ta Pusat, itu akan menjadi milik­ keluarganya. Sedan besar­ buatan Amerika ini tergolong ”wah” pada 1956. Saat itu Natsir, yang pernah menjadi Menteri Penerangan dan Perdana Menteri, hanya punya mobil pribadi bermerek DeSoto yang sudah kusam.

Aba—demikian anak-anaknya memanggil Natsir—ketika itu masih anggota parlemen dan memimpin Fraksi Masyumi. ”Dia ingin membantu Aba karena mobil yang ada kurang memadai,” kata putri tertua Natsir yang saat itu baru masuk usia 20 tahun.

Harapan anak-anak naik mobil Impala buyar saat ayah mereka menolak tawaran dengan amat halus agar tidak menyinggung perasaan tamunya. ”Mobil itu bukan hak kita. Lagi pula yang ada masih cukup,” Lies menirukan ucapan ayahnya ketika mereka bertanya.

Nasihat itu begitu membekas di hati Lies, kini 72 tahun. Aba dan Ummi Nurnahar—ibunda Lies—selalu berpesan kepada anak-anaknya, ”Cukupkan yang ada. Jangan cari yang tiada. Pandai-pandailah mensyukuri nikmat.”

Ketika sang ayah menjadi Menteri Penerangan pada awal 1946, Lies mengenang mereka tinggal seadanya di rumah milik sahabat Natsir, Prawoto Mangkusasmito, di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sewaktu pusat pemerintah pindah ke Yogyakarta, keluarga Natsir menumpang di paviliun milik Haji Agus Salim di Jalan Gereja Theresia, sekarang Jalan H Agus Salim.

Periode menumpang di rumah orang baru berakhir ketika mereka menempati rumah di Jalan Jawa pada akhir 1946. Rumah tanpa perabotan ini dibeli pemerintah dari seorang saudagar Arab dan kemudian diserahkan untuk Menteri Penerangan. ”Kami mengisi rumah itu dengan perabot bekas,” kata Lies.

Selama menjadi menteri, Natsir jarang bertemu dengan keluarga karena lebih banyak berdinas di Yogyakarta. Di sana pula dia pertama berjumpa dengan guru besar dari Universitas Cornell, George McTurnan Kahin. ”Pakaiannya sungguh tidak menunjukkan ia seorang menteri dalam pemerintahan,” tulis Kahin dalam buku memperingati 70 tahun Mohammad Natsir.

Dia melihat sendiri Natsir mengenakan jas bertambal. Kemejanya hanya dua setel dan sudah butut. Kahin, yang mendapat info dari Haji Agus Salim me­ngenai sosok Natsir, belakangan tahu bahwa staf Kementerian Penerangan mengumpulkan uang membelikan pakaian supaya bos mereka terlihat pantas sebagai seorang menteri.

Penampilan Natsir tidak berubah saat menjadi Perdana Menteri Negara Kesatuan Republik Indonesia pada Agustus 1950. Keluarga Natsir menempati rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur (sekarang Tugu Proklamasi), Jakarta Pusat. Rumah di Jalan Jawa yang sempit dan kusam di­nilai tidak layak buat pemimpin pemerintah. Rumah di Jalan Proklamasi itu lengkap dengan perabot­an sehingga Natsir dan keluarganya hanya membawa koper berisi pakaian dari Jalan Jawa.

Pada masa ini kehidupan keluarga Natsir sudah dibatasi protokoler. Rumah dijaga polisi dan sang Perdana Menteri selalu didampingi pengawal. ­Pemerintah juga menyediakan pembantu yang membenahi rumah, tukang cuci dan masak, serta tukang kebun. ”Semua fasilitas tidak membuat kami manja dan besar kepala,” ujar Lies.

Putri tertua Natsir yang saat itu duduk di kelas II sekolah me­nengah pertama tersebut tetap naik sepeda ke sekolah karena jarak­nya dekat. Adik-adiknya antar-jemput dengan mobil DeSoto yang dibeli dari uang sendiri. Ibunya masih melanjutkan belanja ke pasar dan kadang masak sendiri. Lies mengatakan keluarganya tidak pernah memanfaatkan fasilitas pemerintah, misalnya perjalanan dinas.

Contoh lain kejujuran Natsir selama menjadi pejabat negara didengar pula oleh Amien Rais, bekas Ketua Umum Muhammadiyah. Ketika masih mahasiswa, ia mendengar cerita Khusni Muis yang pernah menjadi Ketua Muhammadiyah Kalimantan Selatan.

Syahdan, Khusni menuturkan, ia pernah datang ke Jakarta untuk urusan partai (saat itu Muhammadiyah merupakan anggota istimewa Masyumi). Ketika hendak pulang ke Banjarmasin, ia mampir ke rumah Natsir. Tujuannya meminjam uang untuk ongkos pulang. Tapi Natsir menjawab tidak punya uang karena belum gajian. Natsir lalu meminjam uang dari kas majalah Hikmah yang ia pimpin. ”Bayangkan, Perdana Menteri tidak memegang uang. Kalau sekarang, tidak masuk akal,” ujar Amien.

Tatkala Natsir mundur dari jabatannya sebagai perdana menteri pada Maret 1951, sekretarisnya, Maria Ulfa, menyodorkan catatan sisa dana taktis. Sal­donya lumayan banyak. Maria mengatakan dana itu menjadi hak perdana menteri. Tapi Natsir menggeleng. Dana itu akhirnya dilimpahkan ke koperasi karyawan tanpa sepeser pun mampir ke kantong pemiliknya.

Dia juga pernah meninggalkan mobil dinasnya di Istana Presiden. Setelah itu, ia pulang berboncengan sepeda dengan sopirnya. Keluarganya pindah lagi ke rumah di Jalan Jawa setelah Natsir turun dari jabatan perdana menteri. ”Kami kembali ke kehidupan semula,” kata Lies.

Pola hidup sederhana itu pula yang membuat anak-anak Natsir mampu bertahan saat suratan takdir mengubah hidup mereka dari kelompok ”anak Menteng” menjadi ”anak hutan” di Sumatera ketika meletus pemberontakan Pemerintahan Revolusio­ner Republik Indonesia/Perju­angan Rakyat Semesta.

Setelah periode hidup di hutan dan Natsir mendekam dari satu penjara ke penjara yang lain selama 1960-1966, keluarga mereka kehilangan rumah di Jalan Jawa, termasuk mobil DeSoto. Harta itu diambil alih seorang kerabat seorang pejabat pemerintah.

Mereka menjalani ”kehidupan nomaden,” terus berpindah kontrakan, dari paviliun di Jalan Surabaya sampai rumah petak di Jalan Juana, di belakang Jalan Blora, Jakarta Pusat. Rumah itu cuma terdiri atas satu kamar tidur, ruang tamu kecil, dan ruang makan merangkap dapur.

Setelah Natsir bebas dari Rumah Tahanan Militer Keagung­an Jakarta pada 1966, ia membeli rumah milik kawannya, Bahartah, di Jalan Jawa 46 (sekarang Jalan H. O.S. Cokroaminoto), Jakarta Pusat. Rumah itu sebetulnya dijual dengan ”harga teman”, tapi Natsir tetap tidak mempu­nyai uang. Alhasil, ia harus mengais pinjaman dari sejumlah kawan dan dicicil selama bertahun-tahun.

Teladan kesederhanaan tetap ia tunjukkan saat memimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia pada masa Orde Baru. Bekas Menteri-Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, yang ketika itu pernah menjadi anggota staf Natsir, menuturkan betapa bosnya acap ke kantor mengenakan kemeja itu-itu saja. Kalau tidak baju putih yang di bagian kantongnya ada noda bekas tinta, kemeja lain adalah batik berwarna biru.

Saat ulang tahun ke-80, Natsir memberikan wasiat kepada anak-anaknya supaya menjaga rumah keluarga di Jalan Cokro­aminoto 46 dan buku-buku karyanya. Lima tahun kemudian ia menutup mata selamanya. Setahun sepeninggalnya, kelima anaknya, Lies, Asma Faridah, Hasnah Faizah, Aisyahtul Asriah, dan Fauzie Natsir, sepakat menjual rumah peninggalan almarhum: mereka tidak sanggup membayar pajaknya.

Sumber : Laporan Utama Majalah Tempo Edisi 21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008

Selasa, 25 Mei 2010

Adakalanya Nahkoda Harus Berpirau........(Tausyiah Kepemimpinan Oleh Buya Mohammad Natsir)

DALAM PELAYARAN YANG PANJANG, ADAKALANYA, NAHKODA HARUS BERPIRAU

  • Berpirau artinya maju. Maju menyongsong angin dan arus.
  • Waktu berpirau, perahu dikemudikan demikian rupa, sehingga angin dan gulungan ombak tidak memukul tepat depan, tepi menyerang.
  • Adapun haluan pelayaran tetap kearah tujuan yang telah ditentukan, tidak berkisar.


Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh orang yang sedang berpirau :

  • Angin dan gulungan ombak tidak di songsong tepat terpampan. Akan tetapi arah perahu sekali-kali tidak boleh demikian rupa sehingga mudah terbelok melintang sejajar dengan gulungan ombak.
    Satu kali letak perahu begitu, dia akan terbalik digulung gelombang.

    Kalau ada satu ketika gelombang terlampau besar, arus terlampau deras, angin badai berputar-putar, lebih baik sauh dibongkar, layar diturunkan berhenti ditempat sebentar, menunggu badai reda. Tidak ada badai yang tak pernah reda. Lebih banyaklah sementara itu taqqarub kepada Ilahi Rabbi, kepada Khaliq yang menjadikan segala sesuatu yang termasuk angin dan arus itu.

Bagi seorang Muslim ikhtiar dan do'a memang selalu sejalan berjalin, tidak boleh dipisahkan. Ini lebih baik dari pada melepaskan kendali dari tangan, dibiarkan perahu terombang ambing, menurutkan kemana angin dan arus menderas.

  • Kemudi tidak boleh lepas dari tangan. Mata juru mudi dan nahkoda tidak boleh lepas dari mengawasi pedoman untuk menentukan arah, mengaasi kemana-kemana jurusan angin dan arus, mengawasi bintang yang jauh dilangit, untuk menentukan tempat agar jangan keliru memegang kemudi. Disangka awak masih berpirau, kiranya haluan terlongsong berkisar sulit pula membetulkannya kembali.
    Awak perahu tidak boleh berhenti mendayung. Berhenti mendayung, sauh tidak boleh dipasanng berarti hanyut. Sebab angin dan arus tidak timbul suasana lesu, dan suasana masa bodoh, atau paniek, akan sukar pula membangkitkan mereka mendayung kembali. Mereka selalu asyik dan diasyikkan.

    Jika dayung besar, sesuatu waktu dirasakan terlampau berat tukar dengan dayung yang lebih ringan yang sesuai dengan tangga mereka waktu itu. Namun berdayung terus berdayung. Agar jiwa mereka tetap besar harapan mereka tidak patah. Hati mereka harus terus dirawat.

Seorang nahkoda, bagaimanapun pintarnya, tidak bisa berlayar sendiri. Kekuatannya terletak pada tenaga anak perahu. Diwaktu badai tidak bolehlah dia mendandani dirinya sendiri. Bila perlu dia juga harus bersedia dan bisa mennjadi juru bantu, turut mendayung, menimba air, memanjat tiang memasang layar.

Nahkoda tidak boleh terlepas dari mata anak perahu. Mereka ini tidak boleh mendapat atau mendapat kesan, bahwa tempat kemudi kosong, tidak ada yang menunggui. Ini bisa menimbulkan putus harapan dan suasana panik. Dalam keadaan seperti itu mudah sekali anak perahu yang sedang kehausan lantaran tidak sabar atau lantaran kejahilan mengorek dinding perahu supaya lekas-lekas mendapat air. Padahal airnya air bergaram, tidak dapat diminum melepaskan haus; sedangkan perahu bisa tenggelam lantaran berlobang dan membawa tenggelam semua penghuni perahu bersama-sama; bukan karena arus dan badai, tetapi karena nahkoda yang lalai.

  • Tenaga berpirau yang pokok ialah tenaga dayung.
    Nakhoda yang mahir, di samping itu dapat mempergunakan angin yang datang menyerang dari samping, penambah tenaga dayung; kemahirannya terletak dalam memasang layar, dalam menentukan, mana layar yang harus dipasang mana yang harus diturunkan; kemana kemudi harus ditekankan, agar tenaga angin seperti itu dapat diambil manfaatnya, dengan tidak dikuatiri akan membelokkan arah.
  • Berlayar bukan asal sekedar berlayar. Harus tentu-tentu tempat yang dituju. Harus tentu sifat muatan yang dibawa. Adapun bendera dan panji-panji, besar pula manfaatnya sebagai lambang dari tujuan yang hendak dicapai dan dari isi muatannya dibawa. Tak layak lagi bahwa simbolik mengandung kekuatan yang tidak boleh diabaikan.


Dalam pada itu, kadang-kadang dimusim darurat, mengibarkan bendera lambang itu menimbulkan kesulitan. Dalam keadan yang semacam itu ijtihad Nakhodalah yang menentukan, disuatu keadaan, manfaat dan mudharatnya mengibarkan lambang ditiang tinggi itu.

Yang perlu dijaga ialah :

  • Jangan lakukan "tasyabbuh"
    Tasyabbuh yang barangkali tadinya dimaksudkan untuk menyamar, akan tetapi kesudahannya membingungkan anak perahu sendiri, dan menghancurkan kepribadian mereka.
  • Jangan ada "talbisul haq bil bathil"
    mencampur adukkan muatan yang baik dengan yang buruk, nanti seluruh muatan jadi rusak.
    Anak perahu dan para penumpang semuanya harus dilatih dan para Nakhoda melatih diri, sehingga mereka bisa bergerak ibarat ikan berenang dilaut, terus menerus dikelilingi air asin, tetapi dagingnya tetap tawar dan segar.
  • Tidak ada jalan yang selalu mudah dan licin untuk mencapai sesuatu tujuan yang bernilai tinggi. Tidak ada pelayaran tanpa resiko. Soalnya bukanlah ada resiko. Soalnya ialah mengambil resiko yang dapat dipertanggung jawabkan, setelah dibandingkan dengan tenaga yang ada, dan denga nilai yang hendak dicapai.
    Bagaimana orang bermain di pantai kalau ikut kepercikan air. Nakhoda selalu perlu ber-ijtihad, perlu mempergunakan daya ciptanya teman seperahu, untuk menghadapi keadaan sekelilingnya sewaktu-waktu.

    Nakhoda harus menyadari harinya tidak berhenti. Harinya terus menuju ke "laruik sanjo". Di samping itu, siapa yang tadinya "Rijalul ghad" sedangkan berkembang menjadi "rijalul yaum".

    Hutang nakhoda ialah membimbing mereka itu, melapangkan jalan bagi mereka, melatih mereka sanggup bertanggung jawab dan pengalaman pahit.
  • Beberapa rangkuman ayat dan hadist, yang dikemukakan semoga dapat menjadi pegangan, dalam meeruskan "pelayaran" dan "berpirau" bila dipahamkan dan diambilkan api yang terkandung di dalamnya.

Dengan ini sebagai landasan berpikir, silahkan ;
Jangan gugup, Bismillah :
Layarkanlah terus perahu ini.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun Maha Pengasih.

Senin, 24 Mei 2010

Saat Mesra M Natsir dengan Bung Karno : Catatan 102 Tahun Mohammad Natsir

Hubungan Natsir dan Soekarno amat akrab di awal kemerdekaan. Kepentingan negara di atas perbedaan pendapat pribadi.

”Bung Natsir, kita ini dulu berpolemik, ya, tapi sekarang jangan kita buka-buka soal itu lagi.”
”Tentu tidak. Dalam menghadapi Belanda, bagaimana pula? Nanti saja.”

Percakapan mesra di antara dua petinggi negeri itu terjadi pada 1946, ketika ibu kota Republik berada di Yogyakarta. Soekarno menjadi presiden, sedangkan Mohammad Natsir menjabat Menteri Pe­ne­rang­an pada kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

Pada 1930-an kedua bapak bangsa itu pernah terlibat polemik tajam di surat kabar. Soe­karno menganjurkan paham nasionalisme dan mengkritik Islam sebagai ideologi seraya memuji ”sekularisasi” yang dilakukan Mustafa Kemal Ataturk di Turki. Sedangkan Natsir menyayangkan hancurnya Turki Ottoman, sambil menunjukkan akibat-akibat negatifnya. Tulisan-tulisan Natsir jernih dan argumentatif.

Tatkala Indonesia merdeka, keduanya berjumpa lagi. Kali ini bukan di medan gagasan yang abstrak, melainkan di ranah perjuangan yang konkret melawan Belanda. Soekarno menjadi proklamator dan presiden, sedangkan Natsir tiga kali menjadi Menteri Penerangan dalam tiga kabinet Sutan Sjahrir berturut-turut pada 3 Januari 1946 sampai 27 Juni 1947. Jabatan yang sama ia emban dalam kabinet Mohammad Hatta pada 29 Januari 1948 hingga 19 Desember 1948.

Sejak awal, ketika Sjahrir mengusulkan Natsir menjadi Menteri Penerangan, Presiden Soekarno tidak keberatan. Justru ia menyambut dengan mengatakan, ”Hij is de man (bahasa Belanda, artinya dialah orangnya).” Barangkali Soekarno teringat akan pengalamannya ketika berpolemik dan mengakui kepiawaian Natsir dalam menyusun kata-kata.

Di Istana Yogyakarta, Presiden Soekarno kerap mengundang teman dan pejabat Republik untuk sarapan bersama. Natsir termasuk orang yang sering menerima undangan itu. Hubungan keduanya amat dekat dan hangat. Bisa dibilang, tak ada pidato Presiden pada 17 Agustus yang dibuat tanpa melalui persetujuan Natsir, Menteri Penerangan saat itu.

Menjelang 17 Agustus, bila Soekarno mengetahui Natsir tidak berada di Yogyakarta, ia akan memerintahkan stafnya mencari menteri andalan itu. Biasanya Natsir terlebih dulu membuat kerangka pidato. Pada acara sarapan pagi di Istana, ia mempersilakan Soekarno membaca konsep pidato buatannya dan menerangkan apa yang belum jelas.

Bila Soekarno telah menyetujui konsep pidato tersebut, Natsir pulang ke penginapannya dan berkurung selama sehari semalam untuk menuliskan pidato peringatan proklamasi kemerdekaan itu. Setelah selesai, pidato tertulis diserahkan kepada Presiden. Soekarno biasanya menggodok lagi, menyesuaikan pidato itu dengan gaya bahasanya yang khas, dengan kalimat yang bergelombang dan berulang-ulang, tapi isinya tak menyimpang dari konsep asli yang dibuat Natsir.

Pernyataan-pernyataan ­resmi lain yang dibuat Presiden biasanya juga diparaf terlebih dulu oleh Natsir sebagai Menteri Penerangan. ”Kalau Pak Natsir belum paraf, pernyataan Presiden itu tak akan disebarkan,” kata Bachtiar Effendi, ahli politik Islam yang banyak meneliti perihal Masyumi.

Kedekatan Soekarno dan Natsir terlihat pula di saat kritis menjelang agresi militer Belanda kedua. Ketika itu pemerintah mendapat tawaran dari Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru agar Presiden Soekarno meng­ungsi ke India. Nehru akan mengirimkan pesawat untuk menjemput Soekarno di Yogyakarta.

Presiden dan kabinet serta-merta menerima tawaran tersebut. Spontan pula Soekarno meminta Natsir ikut bersamanya pergi ke India. Sayangnya, Belanda lebih dulu menyerbu dan menawan para pemimpin Republik, sedangkan pesawat yang dikirim Nehru terhenti di Singapura.

Namun, sebelum tertawan, Soekarno, Hatta, dan Natsir sempat menyiapkan pesan kepada rakyat Indonesia agar tidak menyerah dan tetap mempertahankan kemerdekaan. Natsir, yang ketika itu terbaring sakit di Rumah Sakit Bethesda, menyelundupkan naskah pidato tersebut melalui Wakil Menteri Penerangan A.R. Baswedan.

Pidato tersebut tak dapat lagi disiarkan melalui radio yang sudah diduduki Belanda. Baswedan lantas meminta pertolongan Mr Sumanang memperbanyak dengan cara menstensil. Di Jakarta, pidato itu akhirnya bisa disiarkan melalui harian Keng Po.

Natsir juga ikut menyusun radiogram yang dikirimkan kepada Menteri Kemakmuran Mr Sjafroeddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi, Sumatera Barat. Radiogram itu berisi kuasa agar Sjafroeddin membentuk pemerintahan darurat di Sumatera.

Radiogram serupa dikirimkan kepada Sudarsono, L.N. Palar, dan A.A. Maramis yang sedang berada di India. Isinya berupa perintah agar mereka mendirikan pemerintahan di pembuangan bila Sjafroeddin gagal membentuk pemerintahan darurat di Sumatera.

Bekas Menteri-Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra mendengar langsung dari Natsir betapa di awal kemerdekaan semua bapak bangsa berjuang tulus mempertahankan Republik yang masih bayi. ”Ketulusan di antara kami amat tinggi dan perbedaan tidak ditonjolkan,” ujar Natsir seperti ditirukan Yusril.

Tatkala berpolemik pada 1930-an, Soekarno dan Natsir sesungguhnya juga saling menghormati pendapat masing-masing dan menjaga tali silaturahmi. Sewaktu Soekarno dituntut di Pengadilan Bandung oleh penjajah Belanda, majalah Pembela Islam yang diasuh Natsir menurun­kan tulisan-tulisan yang membela Soekarno. Salah satunya tulisan tajam dari Haji Agus Salim berjudul ”Hakim, Hukum, dan Keadilan”.

Dalam satu suratnya dari pembuangan di Endeh, Flores, Soe­karno balas memuji lawan diskusinya itu: ”Alangkah baiknya kalau Tuan punya mubalig-mu­balig bermutu tinggi seperti Tuan Natsir.” Tak mengherankan pula bila atas izin Soekarno, surat-surat itu kemudian diterbitkan oleh Pembela Islam dalam bentuk brosur berjudul: ”Surat-surat dari Endeh”.

Puncak kemesraan hubungan Soekarno dan Natsir terlihat pada saat pengajuan mosi kembali ke negara kesatuan oleh Natsir di parlemen Republik Indonesia Serikat. Sebagai Ketua Fraksi Masyumi, Natsir mengusulkan agar negara-negara bagian yang tergabung dalam Republik Indonesia Serikat membubarkan diri dan kemudian bergabung lagi dalam Republik Indonesia.

Saat berdebat di parlemen, Natsir memuji-muji mutu dan kepribadian Soekarno dan Hatta sebagai negarawan dan pemimpin nasional. Dan ia mengusulkan agar keduanya dipilih kembali sebagai Presiden dan Wakil Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk membentuk negara kesatuan itu, dibuat Panitia Persiap­an yang terdiri atas utusan semua negara bagian. Dalam panitia itu, Mr Sjafroeddin Prawira­negara dari Masyumi mengusulkan agar di masa peralihan sebaiknya dibentuk kabinet presidentil. Tujuannya agar tercipta stabilitas pemerintahan, mengingat ketika itu belum ada undang-undang pemilihan umum yang menjadi syarat mutlak kabinet parlementer.

Namun usul itu ditolak. Masyumi kalah suara menghadapi Partai­ Nasional Indonesia dan Partai Sosialis Indonesia yang masih menginginkan sistem parlementer. Keputusan itu tak cuma mengecewakan Masyumi,­ tapi juga Soekarno, yang kewenangannya sebagai presiden di sistem pe­merintahan parlementer amat terbatas.

Maka, ketika mosi kembali ke negara kesatuan berhasil memenangi suara mayoritas di parlemen, Soekarno tak ragu menjawab pertanyaan wartawan tentang siapa yang akan memimpin kabinet. ”Natsir dari Masyumi karena mereka mempunyai konsepsi untuk menyelamatkan Republik melalui konstitusi.” Mosi itu sekarang dikenal sebagai Mosi Integral karena mengembalikan Indonesia dari negara serikat menjadi negara kesatuan.

Natsir pun menjadi perdana menteri. Dia memilih Sultan Hamengku Buwono IX sebagai wakil perdana menteri. Saat membentuk kabinet, ia menghadapi kesulitan karena Partai Nasional Indonesia dan Partai Komunis Indonesia tak mendukung. Hampir saja ia menyerahkan mandat kembali kepada Presiden. Tapi Soekarno—sebagai sesepuh Partai Nasional Indonesia—tetap mendukungnya dan memintanya membentuk kabinet tanpa partai itu.

Akhirnya Natsir membentuk kabinet yang terdiri atas 18 menteri. Kabinet ini dikenal sebagai zakenkabinet alias kabinet ahli lantaran orang-orangnya dipilih sesuai dengan keahlian masing-masing ketimbang pertimbangan perwakilan partai.

Sayangnya, Kabinet Natsir hanya berumur tujuh bulan. Ironis sekali, terpilihnya Natsir menjadi perdana menteri justru menjadi awal retaknya hubungannya dengan Presiden Soekarno.

Sumber : Laporan Utama Majalah Tempo Edisi 21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008

Minggu, 23 Mei 2010

Kajian Kepemimpinan Politik Mohammad Natsir (Studi Kasus Dalam Masyumi)

Muqaddimah

Sebagai seorang pemimpin, yang juga seorang manusia biasa, tidak ma'shum, tentu tidak dapatluput dari berbagai kesalahan. Namun bukan berarti penulis tidak mau mengkritik, tetapi memang kepribadian Pak Natsir adalh susah untuk dikritik (dalam arti dicari kesalahan-kesalahannya) semasa beliau memimpin bangsa dan ummat ini, bahkan sampai akhir hayatnya. Sebagaimana yang lazim diketahui bahwasannya Allah Swt. telah mengisyaratkan di dalam al-Qur'an tentang kecintaan manusia terhadap berbagai jenis kesenangan:

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[1] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).

Begitu pula dengan fitnah yang tidak jarang menyebabkan seorang pemimpin jatuh saat ia berada di puncak kepemimpinannya, yaitu harta, tahta dan wanita. Namun tidak demikian halnya dengan Pak Natsir. Tidak satupun dari ketiga hal tersebut mampu mempengaruhi apalagi menggelincirkannya.

Dari sisi harta, beliau tidak mampu mewariskan harta kepada keluarganya kecuali sedikit. Tidak sebanding jika disamakan dengan kekayaan pemimpin-peminpin saat ini yang dapat mewariskan kepada keluarga besarnya dalam jumlah yang sangat banyak bahkan melimpah. Begitu pula halnya dengan tahta, beliau adalah sosok yang tidak menjadikan kekuasaan sebagai sebuah cita-cita apalagi ambisi. Pak Natsir menjadi Perdana Menteri, Menteri Penerangan, Sekjen Rabithah Alam Islami, Ketua Umum Masyumi ataupun ketua Dewan Da'wah Islamiyah Idonesia, bukanlah ia dapatkan dari hasil perebutan kursi/kedudukan tetapi itu semua semata-mata beliau raih adalah karena diberi amanah bukan mencari-cari amanah yang akhirnya justru khianat. Apalagi terbuai oleh wanita, sama sekali tidak.

Begitulah Pak Natsir. Oleh karenanya sangatlah menarik, tidak usang dan juga tidak habis-habisnya bila kita mengkaji tokoh ini.


B. Definisi dan Teori Kepemimpinan

Agar penulisan makalah ini sesuai dengan maksud dan tujuannya yaitu menngambarkan secara jelas bagaimana kepemimpinan Pak Natsir dalam Masyumi, maka perlu dijelaskan secara rinci pula akar kata dari istilah kepemimpinan tersebut.

Istilah kepemimpinan tidak dapat terlepas dari kata "memimpin" yang memiliki beberapa arti yaitu: memegang tangan seseorang sambil berjalan (untuk menuntun atau menunjukkan jalan, dsb); mengetuai atau mengepalai (dalam rapat atau perkumpulan, dsb); memandu; memenangkan paling banyak; melatih (mendidik, mengajari, dsb). Juga ada kata "terpimpin" yang berarti dapat dipimpin atau terkendali, serta ada pula kata "pemimpin" yang memiliki dua arti: orang yang memimpin dan petunjuk; buku petunjuk (pedoman).[2]

Para ahli ada yang menyebutkan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses seseorang mempengaruhi orang lain untuk menunaikan suatu misi, tugas, atau tujuan dan mengarahkan organisasi yang membuatnya lebih kohesif dan koheren. Mereka yang memegang jabatan sebagai pemimpin menerapkan seluruh atribut kepemimpinannya (keyakinan, nilai-nilai, etika, karakter, pengetahuan, dan ketrampilan). Jadi seorang pemimpin berbeda dari majikan, dan berbeda dari manajer. Seorang pemimpin menjadikan orang-orang ingin mencapai tujuan dan sasaran yang tinggi, sedangkan seorang majikan menyuruh orang-orang untuk menunaikan suatu tugas atau mencapai tujuan. Seorang pemimpin melakukan hal-hal yang benar, sedangkan seorang manajer melakukan hal-hal dengan benar (Leaders do right things, managers do everything right).[3]

Sedangkan arti "kepemimpinan" itu sendiri adalah mencakup: perihal pemimpin dan cara memimpin.[4] Siapa dan bagaimana karakter serta sikap dan tindakan sosok Pak Natsir, gaya atau etika dalam memimpin, menunjukkan serta membimbing masyarakat dan umat ataupun kelompok (partai Masyumi)-tanpa menafikan kepemimpinan beliau semasa hidupnya secara umum yang akan terlihat di dalam makalah kecil ini.

Dalam berbagai kajian kita dapat menjumpai beberapa teori dan istilah yang biasa disebut oleh para peneliti sebagai model kepemimpinan, yaitu:[5]

A. Tipe Laissez-faire; yaitu pemimpin yang tidak bisa menjalin hubungan baik dengan bawahan, dan juga tidak bisa berkomitmen dalam menyelesaikan tugas. Biasanya pemimpin semacam ini "mendelegasikan dan menghilang". Karena ia tidak berkomitmen untuk menyelesaikan tugas, maka ia mengijinkan anak buahnya melakukan apapun yang mereka kehendaki dan lebih suka menghindar dari proses pengambilan keputusan dalam tim dengan membiarkan timnya menyelesaikan pekerjaan itu sendiri.

B. Tipe Autocratic; yaitu pemimpin yang berikap otoriter terhadap bawahannya. Pemimpin semacam ini sangat ketat dalam mengatur jadwal kerja, tidak mengijinkan bawahannya mempertanyakan atau mendiskusikan tugas yang diberikan. Jika ada kesulitan, ia cenderung mencari siapa yang salah ketimbang mencari apa dan bagaimana kesalahan itu terjadi. Ia tidak mengenal toleransi, dan menganggap remeh setiap masukan dari bawahannya, sehingga bawahannya tidak mau memberikan sumbangan pemikiran atau pengembangan, karena selalu dianggap remeh.

C. Tipe Country-Club; yaitu pemimpin yang menggunakan upah untuk menegakkan disiplin dan untuk memotivasi tim dalam mencapai tujuan. Ia lebih mengutamakan hubungan dari pada hasil kerja. Ia kurang tegas dalam menegakkan disiplin karena takut merusak hubungan dalam tim.

D. Tipe Democratic/Tim; yaitu pemimpin yang memimpin dengan contoh positif. Ia melibatkan seluruh timnya untuk mengungkapkan potensi mereka seluas-luasnya. Ia memotivasi tim untuk mencapai sasaran seefektif mungkin, dan bekerja tanpa kenal lelah untuk menguatkan ikatan di antara anggota tim.

E. Tipe Manajer Organisasi; yaitu pemimpin yang memimpin dengan keseimbangan


Sejarah MASYUMI

Partai Masyumi didirikan pada tanggal 7-8 November 1945 dan sekaligus berpusat di Jogjakarta sampai tanngal 1 Pebruari 1950. Kongres ini dihadiri oleh sekitar lima ratus utusan organisasi sosial keagamaan yang mewakili hampir semua organisasi Islam yang ada, dari masa sebelum perang serta masa pendudukan Jepang. Kongres memutuskan untuk medirikan majelis syuro pusat bagi umat Islam Indonesia yang dianggap sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam, yang secara resmi bernama Partai Politik Islam Indonesia “MASYUMI”. Dengan Kongres Umat Islam Indonesia ini, pembentukan Masyumi bukan merupakan keputusan beberapa tokoh saja, tapi merupakan keputusan “seluruh umat Islam Indonesia”.[6]

Segera setelah berdiri, Masyumi tersebar merata di segenap penjuru tanah air Indonesia bahkan hampir setiap kecamatan terdapat kepengurusan anak cabang. Sampai dengan tanggal 31 Desember 1950, secara resmi tercatat ada 237 Cabang (Tingkat Kabupaten), 1.080 Anak Cabang (tingkat Kecamatan) dan 4.982 Ranting (tingkat Desa) dengan jumlah anggota sekitar 10 juta orang.[7] Hal itu dapat terjadi karena dukungan yang diberikan oleh organisasi-organisasi yang menjadi pendukung Masyumi. Ada 8 unsur organisasi pendukung Masyumi yakni NU, Muhammadiyah, Persatuan Islam (PERSIS), Persatuan Umat Islam, Al-Irsyad, Mai’iyatul Wasliyah, Al-Ittihadiyah dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Dengan demikian Masyumi berhasil menyatukan organisasi dan umat Islam Indonesia dalam satu wadah perjuangan. Meski pada tahun 1952 NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai sendiri.

Sejarah bangsa Indonesia mencatat nama besar Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai partai Islam terbesar yang pernah ada. Masyumi pada masanya sejajar dengan Partai Jama’atul Islam di Pakistan dan Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Banyak yang lupa akan hal ini, dan memang dalam pendidikan politik nasional kebesaran Masyumi seolah tertutupi oleh arus besar lain, Nasionalisme dan Developmentalisme. Padahal dalam masa keberadaannya, Masyumi sangat identik dengan gerakan politik Islam yang memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam konteks kenegaraan.[8]

Selain mempersatukan umat Islam Indonesia, alasan lain yang menjadi pertimbangan didirikannya Masyumi adalah agar Islam memiliki peranan yang signifikan ditengah arus perubahan dan persaingan di Indonesia saat itu. Tujuan didirikannya Masyumi, sebagaimana yang terdapat dalam anggaran Dasar Masyumi tahun 1945, memiliki dua tujuan. Pertama, menegakkan kedaulatan negara republik Indonesia dan agama Islam. Kedua, melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan.

Partai yang berdirinya diprakarsai oleh M. Natsir ini menyebutkan didalam Anggaran Dasarnya bahwa tujuan partai ialah terlaksananya ajaran dan hukum Islam didalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara Republik Indonesia menuju keridhaan Ilahi. Kini, ia telah berusia 64 tahun.

Pokok Bahasan

Pak Natsir dan Kepentingan Rakyat

Dalam tindakannya Pak Natsir begitu sangat terlihat sebagai seorang pemimpin yang mengedepankan kepentingan rakyat. Sebagai seorang ketua umum partai Masyumi, beliau memberikan arahan dan pandangannya bagi partai ini untuk dapat berkiprah di lapangan yang strategis, yaitu:[9]

  1. lapangan parlementer/perwakilan (legislatif)
  2. lapangan pemerintahan (eksekutif)
  3. lapangan pembinaan ummat

Sebuah gagasan yang begitu mulia. Jika dilihat kondisi saat ini, maka begitu sangat kontras dengan masa-masa awal kemerdekaan dulu. Sebagian calon-calon wakil rakyat, dengan sistem yang ada yaitu demokrasi (para calon wakil rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan dirinya dan memperebutkan kursi); sampai pada akhirnya harus mengalami stres, gila bahkan bunuh diri karena tidak sanggup menanggung kekalahannya.

Jangankan gagasan membina ummat sebagaimana yang disampaikan oleh Pak Natsir diatas, berebut untuk masuk di legislatif atau eksekutif pun didasari dengan ambisi kekuasaan. Tetapi tidak demikian halnya dengan Pak Natsir dan Masyumi kala itu yang dipimpinnya, ia berjuang adalah lillah. Dalam pidatonya tanggal 7 November 1956 pada acara peringatan lahirnya Masyumi yang ke 11 Pak Natsir mengungkapkan:

Adapun yang mengenai lapangan pemerintahan, sebagaimana partai-partai politik yang lain, Masyumi juga berjuang untuk mendapat kedudukan dalam kabinet dan aparat pemerintahan lainnya. Perjuangan itu bukanlah untuk merebut kedudukan an sich (semata-mata), akan tetapi justru untuk turut melaksanakan dan mengambil tanggungjawab menjalankan eksekutif negara. Selain dengan duduknya dalam pemerintahan ia dapat melaksanakan cita-citanya didalam batas-batas seperti yang diterangkan tadi, maka salah satu pedoman yang penting yang senantiasa dipegang olehnya dalam tiap-tiap kesempatan turut memegang pemerintahan ialah mengusahakan kepentingan umum dan rakyat secara keseluruhan dengan tidak memandang tingkatan dan golongan. Semboyan yang dipakainya bukanlah ”kami berjuang untuk kami, tetapi kami berjuan untuk kita", untuk keseluruhan rakyat Indonesia.[10]

Pak Natsir juga mengingatkan terhadap nasihat Sjafruddin Prawiranegara yang ia sebut sebagai analisa "Indonesia Dipersimpangan Jalan".

Pak Syaf (sapaan Sjafruddin Prawiranegara) memperingatkan:

Apabila para pemimpin rakyat pada suatu saat tidak sanggup lagi bekerja betul-betul untuk kepentingan rakyatnya, apabila kedudukan atau kursi sudah menjadi tujuan dan bukan lagi menjadi alat maka yang akan mengancam negara kita ialah bahwa demokrasi akan tenngelam dalam koalisi dan kemudian koalisi akan dimakan oleh anarki dan anarki akan diatasi oleh golongan-golongan yang bersenjata itu.[11]

Masyumi dibawah kepemimpinan Pak Natsir telah jauh-jauh hari mengajukan ide agar daerah-daerah diseluruh wilayah Indonesia diberikan Otonomi Daerah. Hal ini diantaranya adalah agar kemauan rakyat benar-benar dapat terpenuhi.

Bagi Pak Natsir, negeri yang telah berhasil merdeka ini haruslah diisi dan dibangun. Diisi dengan pembangunan dan dasar-dasar keadilan sehingga dapat memberikan kebahagiaan penghidupan untuk seluruh rakyat. Tidak menimbulkan perasaan-perasaan tidak puas bagi daerah-daerah tertentu karena kebutuhan mereka kurang terpenuhi, padahal mereka mampu menghasilkan sumber penghasilan negara yang cukup tinggi.[12]

Menurut Pak Natsir dengan partainya, bahwa perasaan-perasaan kurang puas itu akan dapat disalurkan apabila daerah-daerah diberikan hak-hak yang lebih luas untuk mengatur rumah tangganya sendiri dalam bentuk otonomi yang luas. Dan diberi alat-alat yang cuku dan dijamin oleh undang-undang. Dalam hubungan inilah partai sejak dahulu selalu mendesak agar segera dibuat UU Perimbangan Keuangan (financieele verhouding) antara Pusat dan Daerah. Masyumi pada pokoknya dapat menyetujui supaya ditetapkan jumlah prosentase tertentu dar hasil-hasil utama yang terdapat di daerah masing-masing, sehingga daerah tidak hanya menggantungkan nasibnya kepada belas kasihan dan dari uang kerahiman Pemerintah Pusat saja. Apabila UU tersebut sudah terealisasikan maka Masyumi yakin bahwa perasaan tidak puas dari daerah-daerah dapat segera diredakan, karena ini adalah persoalan yang sangat mendesak.[13]

Mr. Mohammad Roem (biasa disapa Pak Rum), pernah memberikan cerita ringan sarat makna tentang kepedulian dan kedekatan Pak Natsir dengan masyarakat. Kata pak rum, ketika Pak Natsir masih hidup rumahnya selalu dipenuhi tamu. Sehingga pak Rum pernah ditanya oleh banyak orang, Pak Natsir itu dokter apa, kok pasiennya banyak sekali? Dengan ringan pula Pak rum menjawab bahwa Pak Natsir itu dokter yang bisa menyembuhkan jiwa orang. Bahkan kata KH. Hasan Basri, jika ada pasien yang meminta uang, Pak Natsir selalu memberinya.[14]

Demikian pula kesederhanaan Pak Natsir yang tidak mungkin dapat disembunyikan. Beliau adalah pemimpin dan negarawan kaliber dunia, tetapi sepeninggalnya tidak mewariskan harta dan kekeyaan yang cukup berarti. Tetapi justru beliau meninggalkan kekayaan rohaniyah dan sumber ilmu dan teladan yang begitu banyak. Berjilid-jilid tulisan telah beliau tinggalkan untuk dapat dipelajari, dikritisi dan diteladani oleh generasi-generasi dibelakangnya yang masih memiliki semangat juang untuk tegaknya ajaran Islam dan kemakmuran rakyat sebagaimana yang ia cita-citakan.

Patriotisme dan nasionalisme Pak Natsir perlu dihayati lebih baik lagi. Bukan hanya andil Pak Natsir sangat besar, jika bukan yang terbesar-untuk menyelamatkan negara kesatuan Republik Indonesia dengan mosi integralnya yang sangat terkenal, tapi juga wawasan nasionalismenya terbukti sangat jernih dan mendalam. Puluhan tahun yang lalu bliau telah mewanti-wanti bahwa nasionalisme yang baik adalah patriotisme yang tidak jatuh dalam xenophobisme.solipsis atau menganggap bangsa sendiri paling baik dan benar. Nasionalisme Pak Natsir adalah dalam kontek universalisme dan ini benar-benar terbukti di era globalisasi sekarang ini.[15] Artinya tidak picik, eksklusif dan

Tidak Sengaja Jadi Politikus

Dalam sebuah dialog ringan antara seorang wartawan muda dari media harian Berita Buana[16][17] dengan M. Natsir terlihat betapa beliau tidaklah menjadikan profesi politik sebagai tujuan hidupnya. Ketika Pak Natsir dikritik oleh sang wartawan bahwasannya beliau tidaklah tepat menjadi seorang politikus, tetapi lebih tepat sebagai seorang pendidiki, filosof atau pemikir yang tidak terjun langsung di kancah politik praktis. Menjawab kritikan tersebut beliau mengatakan: "Memang saya jadi politikus tidak sengaja, secara tersambil".

Pak Natsir adalah a smiling politician- seorang politikus yang penuh senyum. Kepada kawan maupun lawan politiknya ia selalu bersikap ramah, mengedepankan akhlak Islam, sehingga tidak ada bagi dirinya istilah machiavelisme.

Pak Natsir dengan Masyumi

Setelah Masyumi membubarkan diri karena tekanan rezim Soekarno pada tahun 1960[18], maka pada tanggal 26 Februari 1967, atas undangan pengurus masjid Al-Munawarah, Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat, para alim ulama dan zu'ama berkumpul untuk bermusyawarah, membahas, meneliti, dan menilai beberapa masalah, terutama yang berhubungan dengan usaha pembangunan umat, juga tentang usaha mempertahankan aqidah di dalam kesimpangsiuran kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat. Musyawarah menyimpulkan dua hal sebagai berikut[19]:

  1. Menyatakan rasa syukur atas hasil dan kemajuan yang telah dicapai hingga kini dalam usaha-usaha dakwah yang secara terus menerus dilakukan oleh berbagai kalangan umat, yakni para alim ulama dan para muballigh secara pribadi, serta atas usaha-usaha yang telah dicapai dalam rangka organisasi dakwah.
  2. Memandang perlu (urgent) lebih ditingkatkan hasil dakwah hingga taraf yang lebih tinggi sehingga tercipta suatu keselarasan antara banyaknya tenaga lahir yang dikerahkan dan banyaknya tenaga batin yang dicurahkan dalam rangka dakwah tersebut.

Untuk menindaklanjuti kesimpulan pada butir kedua di atas, musyawarah para ulama dan zu'ama mengkonstatir terdapatnya berbagai persoalan, antara lain:

  1. Mutu dakwah yang di dalamnya tercakup persoalan penyempurnaan sistem perlengkapan, peralatan, peningkatan teknik komunikasi, lebih-lebih lagi sangat dirasakan perlunya dalam usaha menghadapi tantangan (konfrontasi) dari bermacam-macam usaha yang sekarang giat dilancarkan oleh penganut agama-agama lain dan kepercayaan-kepercayaan (antara lain faham anti Tuhan yang masih merayap di bawah tanah), Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan sebagainya terhadap masyarakat Islam.
  2. Planning dan integrasi yang di dalamnya tercakup persoalan-persoalan yang diawali oleh penelitian (research) dan disusul oleh pengintegrasian segala unsur dan badan-badan dakwah yang telah ada dalam masyarakat ke dalam suatu kerja sama yang baik dan berencana.

Dalam menampung masalah-masalah tersebut, yang mengandung cakupan yang cukup luas dan sifat yang cukup kompleks, maka musyawarah alim ulama itu memandang perlu membentuk suatu wadah yang kemudian dijelmakan dalam sebuah Yayasan yang diberi nama Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia disingkat Dewan Dakwah. Pengurus Pusat yayasan ini berkedudukan di ibu kota negara, dan dimungkinkan memiliki Perwakilan di tiap-tiap ibukota Daerah Tingkat I serta Pembantu Perwakilan di tiaptiap ibukota Daerah Tingkat II seluruh Indonesia.

Pada kesempatan tersebut, Pak Natsir mengatakan:

"Politik dan dakwah itu tidak terpisah. Kalau kita berdakwah, membaca al-Qur'an dan hadits, itu semuanya politik. Jadi kalau dulu kita berdakwah lewat jalur politik dan sekarang kita berpolitik melalui jalur dakwah. Ya mengaji politik begitulah. Saya merasa bahwa DDII itu tidak lebih rendah daripada politik. Politik tanpa dakwah itu hancur. Lebih dari itu, bagi saya untuk diam itu tidak bias".[20]


Penutup

Setelah kita membaca kiprah dan tauladan Pak Natsir diatas maka terlihat bahwa sebagai pemimpin bangsa, pahlawan nasional dan negarawan panutan ini selalu mengedepankan kepentingan ummat dan bangsa dalam sikap dan tindakannya. Juga dapat dipetik pelajaran bahwa perilakunya baik dia sebagai politisi maupun sebagai da'i, sesungguhnya dia mencerminkan dirinya sebagai seorang pendidik. Atau sebaliknya bahwa perannanya sebagai politisi maupun sebagai seorang pendidik, sesunggunhnya dia mencerminkan dirinya sebagai seorang da'i, yang berarti mampu memberikan nasehat dan pelajaran baik dengan lisannya, tangannya ataupun sikap serta tindakannya sehingga beliau dirasakan oleh ummat dan bangsa sebagai sosok panutan. Pendidik dan da'i adalah bagaikan dua sisi mata uang yang juga tidak dapat dipisahkan dari sosok Pak Natsir, sebagaimana tidak dapat dipisahkannya antara politik dan da'wah yang melekat pada diri beliau.

Satu hal lagi yang harus ditegaskan dalam kesimpulan ini bahwa jika digunakan teori-teori kepemimpinan sebagimana telah disebutkan dimuka, maka Pak Natsir bukanlah tipe pemimpin yang Laissez-faire; yang tidak bisa menjalin hubungan baik dengan bawahan, juga bukan pemimpin yang Autocratic; yang berikap otoriter terhadap bawahannya, apatah lagi memimpin dengan upah untuk menegakkan disiplin, tidaklah demikian.

Pak Natsir adalah tokoh yang mampu memimpin dengan gaya Democratic/Tim; yaitu memimpin dengan contoh positif. Ia melibatkan seluruh timnya untuk mengungkapkan potensi mereka seluas-luasnya. Ia memotivasi tim untuk mencapai sasaran seefektif mungkin, dan bekerja tanpa kenal lelah untuk menguatkan ikatan di antara anggota tim. Begitu pula beliau adalah sebagi Manajer Organisasi yang memimpin dengan keseimbangan. Beliau mampu membuktikan diri sebagai Qudwah Hasanah bagi yang dipimpinnya yaitu dari lingkup yang paling kecil; keluarga, organisai, umat Islam dan rakyat Indonesia bahkan dunia Islam pada umumnya. Tentu dengan kadar kemampuannya sebagai manusia biasa, bukan Nabi....Semoga Bermanfaat


Sumber :
Ditulis oleh Ujang Habibi (STID Mohammad Natsir)
http://www.stidnatsir.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=132:kepemimpinan-politik-m-natsir-studi-kasus-dalam-masyumi&catid=29:artikel-dosen&Itemid=86


Referensi
  1. Berita Buana, Selasa 9 Februari 1993
  2. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Edisi Kedua, Cet. 10, tahun 1999, hlm. 769
  3. Kementrian Penerangan RI, Kepartaian Di Indonesia, tt.
  4. Lukman Hakim (penyunting), Pemimpin Pulang: Rekaman Peristiwa Wafatnya M. Natsir, Jakarta: Yayasan Piranti Ilmu, cet. 1, 1993
  5. M. Natsir, Capita Selecta 3, Jakarta: PT Abadi kerjasama dengan Panitia Peringatan Refleksi Seabad M. Natsir pemikiran dan Perjuanganya serta Yayasan Capita Selecta, cet. 1, th. 2008
  6. M. Natsir, Politik Melalui Jalur Dakwah, Jakarta: PT. Abadi, cet. 2, tahun 1998
  7. Majalah SAKSI, edisi bulan Oktober 2005
  8. Panitia Buku Peringatan M. Natsir/M. Roem 70 Tahun, Mohammad Pak Natsir; 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, Jakarta: Pustaka Antara, cet. 1, th. 1978
  9. blogspot.com, dikutip tgl 1 Mei 2009 pukul 11.03
  10. groups.yahoo.com, 26 mei 09: 17.02
  11. petrusfs.blogspot.com
  12. www.republika.co.id 26 mei 09/ 16.59

Kamis, 20 Mei 2010

Natsir Bersikap Melalui Tulisan : Catatan 102 Tahun Mohammad Natsir

Natsir gencar mengkritik kaum nasionalis yang merendahkan Islam di majalah Pembela Islam. Tapi dia juga membela Soekarno.

Mohammad ­Natsir pernah terpesona pada ajaran nasio­nalisme yang dikumandangkan Partai Nasional Indonesia. Dia pun cukup rajin mendatangi rapat Partai yang senantiasa mengge­lorakan perlawanan terhadap penjajah Belanda itu. Bahkan Natsir pernah menghadiri orasi Soekarno, yang ketika itu terkenal sebagai Pemimpin Besar Partai Nasional Indonesia, di Bandung.

Tapi Natsir terperanjat ketika dia mendengar ejekan terhadap Islam semakin sering muncul di tengah kampanye Partai Nasional Indonesia pada kurun 1920-1930. Ada yang mencela poligami dan aturan Islam. Bahkan Dr Sutomo pernah mengatakan, ”Pergi ke Digul lebih baik daripada pergi naik haji ke Mekah.”

Sadarlah Natsir bahwa gerakan kebangsaan yang dipelo­pori Soekarno dan kawan-kawannya mulai menyemai bibit kebencian dan meremehkan Islam. Padahal, pada saat itu, Partai Nasional Indonesia dan Partai Syarekat Islam Indonesia—yang berdiri lebih dulu 15 tahun ketimbang Partai Nasional—sama-sama gigih menentang kolonialisme.

Kondisi politik ketika itu membuat Natsir gelisah. Dia banyak belajar pengetahuan Islam dari A. Hassan, gurunya di Bandung, yang kemudian bahkan membuat Natsir muda rela melepaskan kesempatan kuliah hukum di Leiden, Belanda. Tapi dia juga dihadapkan pada perbedaan pandangan politik yang tajam. Paham nasionalisme yang dia banggakan, justru oleh kelompok Partai Nasional Indonesia, ”digunakan” sebagai landasan untuk merendahkan Islam.

Natsir pun tak tinggal diam. Bersama teman-temannya di ma­jalah Pembela Islam ia mulai mengeluarkan tulisan pedas yang menyerang balik kelompok nasionalis. Majalah bulanan se­ukuran 12 x 19 sentimeter itu kemudian boleh dikata sebagai media yang isinya sarat dengan berbagai perdebatan dan pemikiran. Mulai dari urusan fikih, pertentangan antaraliran agama dan golongan, sampai ke tema politik dan kebangsaan.

Tak mengherankan, karena begitu ”beratnya” Madjallah Comite ”Pembela Islam”—begitu yang tertulis di halaman depannya—menyuarakan berbagai soal itu, semua penulis menggunakan na­ma samaran atau inisial. Maklum, penguasa Belanda tidak pernah membiarkan artikel kritis seperti itu bermunculan di tanah jajahan.

Ancaman hukuman delik pers (pers delict) terhadap pengelola dan penulisnya, hingga peng­hentian penerbitan, selalu mem­ba­yangi mereka. Menurut guru besar luar biasa Jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran, Bandung, Profesor Dadan Wildan Annas, karena kondisi politik saat itu, dan untuk menyembunyikan diri dari serangan lawan politiknya, penggunaan nama samaran memang hal wajar.

Inisial yang muncul antara lain AH, AL, AM, WS, dan MS. Ahmad Hassan, guru agama Natsir, memakai inisial AH. Sedangkan Natsir sendiri ”menyembu­nyikan” identitas dengan AM atau A. Moechlis, serta Is. Namun, beberapa penulis dari luar tetap memasang nama asli mereka, seperti Moenawwar Chalil,­ ulama dari Kendal, Jawa Tengah; dan Abikoesno Tjokrosoejoso, aktivis Partai Syarekat Islam Indonesia.

Sebenarnya, meski mengguna­kan nama samaran, para pembaca setia Pembela Islam ­tetap tahu siapa identitas asli ­penulis, dari gaya tulisan mereka. AH umumnya mengulas ­masalah fikih, antaraliran Islam dan golongan kaum muslimin. Dia juga ­banyak mengkritik kaum Alawiyin (Ba’alwi), yang selalu meminta kedudukan lebih tinggi dalam urusan agama Islam. Tampak A. Hassan sangat pro Al-Ir­syad dan kaum Wahabi yang tak sejalan dengan Ar-Rabitah Alawiyin, Ba’alwi, dan aliran Islam mazab Syafii yang banyak dianut di Indonesia. Sedangkan AM atau A. Moechlis lebih banyak meng­ulas masalah politik, kebangsaan, dan Islam yang lebih luas.

Yang paling seru adalah ”pertempuran” antara Natsir dan kelompok nasionalis, yang disebut sebagai ”Soekarno cs”. Dalam tulisan-tulisannya, Natsir ingin memberikan garis pemisah tegas antara perjuangan kemerdekaan berdasar kebangsaan dan yang berdasar cita-cita Islam. Hal itu makin dikuatkan oleh artikel berjudul ”Kebangsaan Muslimin”. Tulisan ini—yang merupakan reaksi atas penghinaan kaum nasionalis terhadap Islam—sangat menggemparkan, hingga Pembela Islam disebut sebagai ”Pembelah Islam”.

Toh, Natsir jalan terus. Dia bahkan juga mengkritik kaum bid’ah dalam pergerakan kemerdekaan. Menurut dia, kaum bid’ah adalah mereka yang suka mengadakan kegiatan maulud, pesta besar khatam Quran anak-anaknya, dan pesta perkawinan yang berlebihan. Natsir menganggap kaum bid’ah banyak bergabung dalam Partai Syarekat Islam Indonesia. Tulisan di Pembela Islam edisi 62 misalnya: kalaoe pergerakan politiek Islam membenarkan kaoem ahli bid’ah masoek djadi anggotanja, apakah beda pergerakan politiek Islam ini dengan partij politik jang berasas kebangsaan jang menerima anggotanja dari orang-orang Islam tjap ”hanya bibir”?

Kritik Natsir dan kawan-ka­wan terhadap kaum nasional­is—atau aliran Islam yang tak sejalan dengan pemikiran dan kelompoknya dalam Pembela Islam—memang keras. Namun Nat­sir tetap maju membela Soe­karno, yang selama ini dia kritik, ketika dia diadili pemerintah kolonial Belanda sebelum dibuang ke Ende. Bahkan selama di pembuangan itu, Soekarno paling sering berkorespondensi dengan kelompok Pembela Islam.

Sayang, jejak Pembela Islam kini hanya samar-samar. Kantornya sudah tak bisa dikenali lagi. Dalam salah satu edisi di majalah itu, alamat pengelola­nya disebutkan ada di Jalan Lengkong Besar 90, Bandung. Tapi, setelah ditelusuri, yang ada hanya nomor 88 lalu lompat ke 92. Di antara dua bangunan itu, berdiri sebuah rumah dalam gang buntu kecil, tanpa nomor dan tertulis Panti Pijat Mitra Sehat. Orang yang tinggal di sana tak satu pun tahu tentang keberadaan rumah nomor 90, apalagi bekas kantor Pembela Islam. Namun, menurut Dedy Rahman, anak perintis Pesantren Persis, Jalan Lengkong Besar 90 kini menjadi gedung Universitas Pasundan, yang sebelumnya adalah hotel.

Satu lagi petunjuk juga tak berbekas. Ada satu alamat kantor Pembela Islam lain yang tercantum dalam majalah edisi 66, ya­itu di Pangeran Soemedangweg 39, Bandung. Tempat itu kini dikenal sebagai Jalan Otto Iskandar Dinata 233. Di sana berdiri kantor sebuah bank. Bangunan aslinya sudah dipugar total. ”Di tempat ini, Natsir muda sering berdiskusi dengan A. Hassan, Haji Zamzam, dan Haji Muhammad Yunus, tiga tokoh penting Persa­tuan Islam,” ujar Dadan.

Bahkan lembaga yang dekat dengan Natsir pun hanya memiliki ”kenang-kenangan” terbatas. Pengurusan Pusat Persatuan Islam (Persis) di Bandung hanya punya fotokopi majalah tersebut. Itu pun tidak lengkap. Ketua Umum Pengurus Pusat Persis, Shiddiq Amien, sebenarnya sudah lama berencana menyimpan dan mengumpulkan semua edisi Pembela Islam. Bahkan dia sudah menyiapkan satu ruangan di lantai dua untuk menyimpan koleksi majalah itu. Tapi usahanya tak kunjung berhasil. ”Banyak keluarga yang masih tidak rela dan memilih menyimpan (majalah) di rumah. Padahal tidak dibaca, kalau di sini kan banyak orang yang bisa mengaksesnya,” katanya.

Sumber : Laporan Utama Majalah Tempo Edisi. 21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008

Iklan dari, oleh dan untuk Blogger