Rabu, 09 Juni 2010

Dalam Masa Pengasingan....: Catatan 102 Tahun Mohammad Natsir

Keterlibatan dengan PRRI membuat Natsir dan keluarga harus meninggalkan Jakarta setelah memanasnya konflik politik dengan pemerintah Bung Karno. Mereka mengarungi belantara Pasaman, Sumatera Barat.

MENJELANG ­subuh, sekitar pukul 04.30 WIB. Rombongan keluarga Mohammad ­Natsir dan Bur­hanudin Harahap tiba di Desa Muara Pauh, Sungai Batang Maninjau. Ini tempat persing­gahan ketujuh selama pengungsian di Sumatera Barat, setelah rehat di Lubuk Linggau, Su­ngai Dareh, Sawah Lunto, Padang Baru, Batu Sangkar, dan Koto Tuo, Bukittinggi.

Sejak memutuskan terlibat dalam gerakan Pemerintahan Re­volusioner Republik Indonesia alias PRRI, Natsir dan Burhanudin hijrah ke Sumatera Barat. Istri dan anak-anak diboyong serta. Begitu pula rekan seperjuang­an mereka, Sjafroeddin Prawiranegara, beserta keluarga.

Semua berawal pada suatu siang di bulan Januari 1958. Seorang kurir membawa surat yang ditulis Natsir untuk keluarganya di Jalan Jawa 28 (sekarang Jalan H O.S. Cokroaminoto), Menteng, Jakarta Pusat. Isinya, meminta Nurnahar (istri Natsir yang biasa dipanggil Ummi) dan anak-anak mereka berangkat ke Padang. ”Situasi sudah gawat,” begitu alasan yang didengar Sitti Muchliesah alias Lies, putri sulung Natsir—yang menuturkannya kepada Tempo dua pekan lalu.

Waktu itu, situasi Jakarta tidak menentu. Pemerintah Bung Karno memaksakan paham na­sionalisme, agama, komunisme alias Nasakom kepada rakyat. Pamflet disebar ke rumah-rumah. Di daerah, banyak komandan tentara dan pemimpin sipil kecewa karena pembagian kekayaan hasil bumi yang tim­pang dengan Jakarta.

Situasi tambah runyam lantaran Peristiwa Cikini pada 1957. Letupan granat tiba-tiba menggegerkan perayaan ulang tahun Perguruan Cikini—tempat anak-anak Bung Karno bersekolah. Presiden selamat, tapi kelompok komunis langsung menuduh pihak Masyumi bertanggung jawab atas Peristiwa Cikini.

Setelah menerima surat Natsir, Ummi dan anak-anak bersiap ke Padang. Kala itu, Lies sedang kuliah tingkat II Jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia. Adik-adiknya, Asma Faridah dan Hasnah Faizah, masih di sekolah menengah atas. Lalu Aisyahtul Asriah dan si bungsu, Ahmad Fauzie, duduk di bangku sekolah menengah pertama.

Sebelum berangkat, Lies sempat membeli koper ke Pasar Baru, Jakarta. Di sana, ia bertemu dengan kawannya yang menanyakan tujuannya bepergian. ”Naar Holland (Ke Belanda),” Lies menjawab sambil berseloroh. Kebetulan, saat itu sedang terjadi aksi nasionalisasi perusahaan Belanda. Banyak warga Belanda diusir pulang ke negeri mereka.

Keberangkatan ke Padang dilakukan dengan pesawat komersial via Palembang, karena hubungan udara Jakarta-Padang sudah terputus. Tiba di ibu kota Provinsi Sumatera Selatan, keluarga Natsir dijemput dan di­tampung keluarga pengikut Masyumi selama dua pekan. Di sini, mereka dijamu aneka makanan khas Palembang: tekwan, pempek, dan sejenisnya. ”Rasanya seperti liburan saja,” kata Lies.

Perjalanan dilanjutkan ke Lubuk Linggau, masih di Sumatera Selatan, dengan kereta api. Hari sudah gelap ketika rombongan dari Jakarta itu tiba. Keesokan harinya, mereka menumpang bus ke Sungai Dareh, lalu ke Sawah Lunto. Di sini, Aba—panggilan keluarga untuk Natsir—sudah menjemput dengan sedan dan jip. Mereka meluncur ke Padang Baru. Rumah adik Natsir, Etek Tjoen, sudah disiapkan.

Di kota ini anak-anak Natsir bersekolah kembali, kecuali Lies lantaran belum ada jurus­an sastra Inggris di Universitas Andalas. Suatu pagi, terdengar suara bom menggelegar. Ummi dan Lies melompat, menyusup ke kolong tempat tidur. Rupanya, studio Radio Republik Indonesia yang berjarak 100 meter dari rumah mereka dibom.

Malam itu juga, mereka angkat koper ke Batu Sangkar, Kabupaten Tanah Datar. Dua malam di sana, mereka kemudian bergeser ke daerah pedalaman yang dianggap lebih aman. Dari sana, rombongan berpindah lagi ke Koto Tuo, Bukittinggi. Di sini, keluarga Burhanudin dan Sjafroeddin bergabung.

Untuk menghindari serbuan Jakarta, pusat PRRI dipindahkan dari Kota Padang ke peda­laman. Agar Bukittinggi aman, sebuah jalan di Singgalang diputus. Pertempuran secara gerilya berlanjut. Keluarga Natsir dan Burhanudin pindah ke Maninjau, sedangkan keluarga Sjafroeddin ke Koto Tinggi. Di Maninjau, mereka ditampung oleh aktivis Masyumi, Buya H. Jusuf (paman Buya Hamka), di Desa Muara Pauh, di tepian Danau Maninjau.

Di sini, anak-anak Natsir, yang biasa tinggal di daerah Menteng, resah lantaran tak ada kamar mandi dan jamban. Lies dan adik-adik perempuannya yang beranjak dewasa mesti memakai sarung seperti kemben bila mandi. ”Rasanya mau menangis,” ujarnya mengenang.

Pagi harinya barulah sebuah rumah kosong disiapkan. Jamal, warga yang membantu keluarga Natsir, membersihkan rumah itu. Sumur yang lama tak dipakai dibersihkan, didesain menjadi kamar mandi. Jamal juga membuat WC berdinding nonpermanen di tepi danau.

Posisi Natsir sebagai juru bicara pergerakan membuatnya ha­rus berada di markas PRRI di Koto Tinggi. Meninggalkan Ummi dan anak-anak di Maninjau, komunikasi mereka tersambung melalui kurir. Di kota ini, adik-adik Lies kembali bersekolah. Setiap bakda magrib, mereka belajar mengaji kepada Buya Jusuf. Lies belajar merenda kepada Um­mi serta membikin abon dan rem­peyek kepada Ibu Burhanudin.

Sekitar setahun di Maninjau, tempat persembunyian keluarga tokoh PRRI ini tercium tentara Jakarta. Mereka menembaki kampung-kampung di tepi da­nau dari arah utara. Tak lama, mereka sudah menduduki kota kecamatan tersebut. Namun para gerilyawan sudah ­meninggalkan wilayah itu ke arah daerah hi­lir Maninjau, Koto Kaciak. Wilayah ini lebih aman karena berada di balik bukit Desa Tantaman, Palembayan. Empat bulan kemudian mereka pindah ke Sitalang, di daerah Lubuk Basung. Di tempat ini, Natsir kembali bergabung dengan keluarga.

Selanjutnya rombongan masuk ke hutan Pasaman. Pengungsian dilakukan berjalan kaki, mendaki dan menuruni bukit. Mereka hanya membawa bekal pakaian secukupnya. Koper dititipkan di rumah warga di tepi hutan. Lies yang tak memiliki celana panjang kerepotan. Dari Jakarta ia hanya membawa rok lebar atau rok berlapis-lapis. ”Saya merombak rok-rok itu menjadi celana panjang,” ujarnya.

Untuk menuju rimba Pasaman,­ mereka harus menyeberangi­ Ba­tang Masang, sungai lebar yang deras. Seorang pegawai Telkom yang ada dalam rombongan menemukan ide membuat jembatan dari kabel telepon. Kabel direntangkan, diikat di batang pohon hingga ke seberang. Sebuah katrol dipasang untuk menggerakkan keranjang rotan berkapasitas dua orang.

Petualangan menyeberangi su­ngai menggunakan pelayang­an alias rakit penyeberangan dan merambah belantara Pasaman ini melekat di ingatan Fau­zie. Beruntung, mereka tak pernah bertemu dengan binatang buas. ”Kami lebih takut bila bertemu dengan tentara,” kata Fau­zie. Sebab, banyak cerita ber­edar, TNI akan langsung menembak bila bertemu dengan orang-orang PRRI.

Di dalam hutan, anak buah Natsir membuat dua pondok. Satu untuk staf, sekaligus kantor PRRI. Satu lagi untuk tempat tidur, makan, dan dapur kecil keluarga. Di kantor Natsir, ada radio baterai yang cukup kuat menangkap siaran radio BBC dan VOA. ”Pemilihan Presiden Kennedy pun dapat diikuti,” kata Lies.

Tidak terasa sudah tiga setengah tahun keluarga Natsir meninggalkan Jakarta. Agustus 1961, melalui siaran radio, Jakarta meminta para tokoh PRRI menyerah. Para pemimpin, baik sipil maupun militer, akan diberi amnesti dan abolisi. Seorang anggota staf Natsir ngotot tetap bertahan di hutan. ”Aba mengatakan tinggal kami sendirian karena militer saja sudah keluar dari hutan,” ujar Hasnah—salah satu putri Natsir. Rombongan Natsir memang kelompok PRRI terakhir yang menyerah di Sumatera.

Sumber : Laporan Utama Majalah Tempo Edisi 21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan dari, oleh dan untuk Blogger