Jumat, 18 Juni 2010

Surat Natsir untuk Tengku Abdul Rahman : Catatan 102 Tahun Mohammad Natsir

Dari dalam tahanan, Natsir mendorong pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia. Orde Baru tak membalas jasa itu.

SUDAH empat tahun lebih Mohammad Natsir menghuni Wisma Keagungan, rumah tahanan di daerah Kota, Jakarta Pusat. Rezim Orde Lama mengerangkengnya karena dianggap ”melawan arus” dengan mendirikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia pada 1958. Sebelumnya ia dua tahun menjadi tahanan di Batu, Jawa Timur.

Soekarno memberaikan rekan pergerakan Natsir: Sjafroeddin Prawiranegara dibuang ke Kedu dan Burhanuddin Harahap ke Pati. Sumitro Djojohadikusumo lebih dulu lari ke luar negeri. Di Wisma Keagungan, Natsir bergabung dengan Sutan Sjahrir dari Partai Sosialis, yang juga dipenjarakan Orde Lama.

Natsir masih dalam jeruji penjara ketika kekuasaan Soekarno tenggelam. Pada masa transisi, Pejabat Presiden Soeharto mengirim utusan: Sofjar, seorang perwira Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), yang kelak pensiun sebagai brigadir jenderal. Soeharto ketika itu masih menjabat Panglima Komando Cadangan. ”Orang suruhan itu ipar dari keponakan saya, yang bekerja di Departemen Penerangan,” kata Natsir, dalam sebuah wawancara dengan Agus Basri, mantan wartawan Tempo.

Utusan Soeharto itu bicara tentang usaha pemerintah memulihkan hubungan dengan Malaysia. Ketika itu komunikasi Jakarta dan Kuala Lumpur hancur akibat Soekarno melancarkan operasi ”Ganyang Malaysia”. Pada awal kekuasaannya itu, Soeharto berniat merajut kembali hubungan.

Soeharto mengirim dua orang kepercayaannya ke Kuala Lumpur, yaitu Ali Moertopo dan Leonardus ”Benny” Moerdani. Pe­merintah Malaysia tidak menyatakan keberatan dengan utus­an itu. Tapi, seolah menghindar, Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman mening­galkan Kuala Lumpur sehari sebelum delegasi dari Jakarta datang.

Misi Ali dan Benny gagal. Natsir pun menjadi harapan. Ia dikenal dekat dengan Abdul Rahman. Mereka beberapa kali bertemu, ketika bangsawan asal Kedah itu berkunjung ke Indonesia. Sofjar bertanya cara memulihkan hubungan kedua negara. Natsir menjawabnya dalam surat pendek: ”Ini ada niat baik dari pemerintah Indonesia untuk memperbaiki hubungan antara Indonesia dan Malaysia. Mudah-mudahan Tengku bisa menerima.”

Sofjar membawa tulisan tangan Natsir itu ke Kuala Lumpur. Dengan bantuan Tan Sri Ghazali Shafii, yang lama duduk dalam kabinet, surat sampai ke tangan Abdul Rahman. Segera setelah membaca surat Natsir, ia ­berkata, ”Datanglah mereka besok di tempat saya.” Delegasi Indonesia diterima esok harinya. Hubungan kedua negara berangsur cair.

Menurut Deliar Noer, ­peraih gelar doktor pertama dalam bidang ilmu politik di Indonesia, Natsir menyambut kelahiran rezim baru dengan penuh harapan. ”Ia berharap penyelewengan pemerintahan Soekarno bisa diluruskan,” Deliar menulis dalam Membincangkan Tokoh-Tokoh Bangsa.

Natsir mengeluarkan pernyataan pers yang mendukung Orde Baru, atas permintaan Soedjono Hoemardani, asisten pribadi Soeharto. Permintaan itu disampaikan mantan Duta Besar Republik Indonesia di Roma, Mohammad Rasjid. Sebagai imbalannya, Soedjono berjanji memberikan keleluasaan kepada Natsir dalam melakukan gerakan politik. Ternyata itu janji kosong belaka.

Dibebaskan dari tahanan pada awal 1966, Natsir berniat menghidupkan kembali Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), partai yang berdiri pada November 1945 dan dibubarkan oleh Soekarno 15 tahun kemudian.

Pada 15 Agustus 1966, apel akbar umat Islam digelar di Masjid Al-Azhar, Jakarta. Sekitar 50 ribu orang hadir, termasuk Sjafroeddin dan tokoh perge­rakan seperti Prawoto Mangkusasmito, Asaat, Mohammad Roem, dan Kasman Singodime­djo. Mereka menuntut pemerintah mengizinkan pendirian kembali Masyumi.

Soeharto menolak. Tumbuhnya kembali partai-partai lama dianggap akan memicu persoalan. Soeharto juga melarang tokoh ­Masyumi memimpin partai yang baru didirikan, yaitu Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Para tokoh pergerakan Islam awalnya berharap Natsir memimpin partai itu. Melihat situasi yang tak mungkin, Mohammad Roem dijadikan alternatif. Ternyata ini pun tak berhasil.

Walau terpilih menjadi ketua umum dalam Kongres I Parmusi di Malang, 4-7 November 1968, Roem dilarang tampil. Penguasa belakangan merestui H.M.S. Mintaredja yang akomodatif dengan pemerintah. Dialah yang kemudian mengubah ­Parmusi menjadi Muslimin Indonesia, lalu berfusi dengan PSII, Perti, dan Nahdlatul Ulama ke dalam Partai Persatuan Pembangunan pada 1973.

Menurut Yusril Ihza ­Mahendra, yang pernah bekerja seruang dengan Natsir di Lembaga Pusat Pengembangan Masyarakat, Cikini, Jakarta, sang tokoh tak kecewa dengan kegagalan menghidupkan kembali Masyumi. Belasan tahun kemudian, Natsir berkata kepada Yusril: ”Partai itu kan tergantung kita. Kalau merasa tidak perlu ada partai, nggak usah bikin partai.” Natsir pun keluar dari jalur politik: mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.

Toh, ia tetap banyak membantu rezim Soeharto. Pada 1971, misi Soeharto ke Jepang untuk memperoleh kredit gagal. Tak lama setelah itu, Natsir berkunjung ke Jepang. Ia bertemu dengan tokoh-tokoh Kaidanren, organisasi pengusaha negeri itu. Ia meyakinkan kelompok pengusaha itu agar tak mengabaikan Indonesia.

Para pengusaha itu menjelaskan bahwa Soeharto datang pada waktu yang salah. Mereka berharap kunjungan dilakukan setelah Undang-Undang Kredit selesai dibuat. Mereka juga telah menyampaikan hal itu sebelumnya kepada Departemen Luar Negeri Indonesia. Tapi Soeharto tetap pergi.

Takeo Fukuada, yang ketika itu menjadi Menteri Keuangan Jepang, mengatakan pada 1993, ”Beliaulah yang meyakinkan kami tentang perjuangan masa depan pemerintah Orde Baru di Indonesia.” Walhasil, Jepang mengucurkan pelbagai bantuan dan pinjaman guna menopang ekonomi Indonesia yang runtuh pada akhir rezim Orde Lama.

Pengaruh Natsir di negara-negara Timur Tengah juga banyak membantu rezim Orde Baru. Suatu hari pada 1970, Ekki Sya­chroeddin menemuinya. Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam itu menyampaikan pesan Ali Moertopo, staf khusus Soeharto, agar Natsir menjajaki kredit dari negara-negara Arab. ”Saya katakan kepada Ekki, baik saya bersedia. Tak perlu dibiayai, sebab saya memang akan ke sana untuk ­kongres,” Natsir bercerita kepada Tempo pada 1971.

Natsir meminta syarat kepada Ekki: sebelum berangkat dipertemukan dengan Soeharto. ”Tidak usah lama, tiga menit saja,” katanya. ”Agar kalau berbicara di sana ada harganya. Sebab, saya orang partikelir.” Hingga mantan perdana menteri itu berangkat, pertemuan tak dilakukan. Tapi Natsir tetap memenuhi permintaan Ali Moertopo.

Ia mengirim surat kepada pemerintah Kuwait: ”Saya beberkan bahwa selama ini mereka menanam uang mereka ke Eropa, yang justru menguntungkan Yahudi. Mengapa mereka tidak juga mengirimkan uang mereka ke Indonesia?” Surat yang profokatif itu tak direspons.

Suatu malam Ali Moertopo datang ke rumah Natsir. Merasa gagal memenuhi keinginan pemerintah, Natsir minta maaf kepada tamunya. Tapi Moertopo berkata: ”Sudah berhasil. Pemerintah Kuwait setuju menanam modalnya di bidang perikanan laut.”

Tentu Natsir gerah dengan berbagai penyimpangan re­zim Soeharto. Pada 1980, ia menandatangani Petisi 50 bersama tokoh seperti Sjafroeddin, Kasman, Boerhanoeddin, Abdul Harris Nasution, Anwar Harjono, juga Ali Sadikin. Mereka mempersoalkan pidato Soeharto di Pekanbaru dan Cijantung. Hasilnya, mereka semua dilarang pergi ke luar negeri.

Larangan itu terus dikenakan­ kepada Natsir pada 1990, keti­ka­ Universiti Kebangsaan Malay­sia­ dan Universiti Sains Pulau Mi­nang mengundangnya untuk menerima gelar doktor kehormatan. Ia juga tetap dicekal di ujung usianya, ketika beberapa negara menawarinya berobat. Ia ­tutup usia di Rumah Sakit Cipto Ma­ngunkusumo, Jakarta, pada Sabtu tengah hari, 6 Februari 1993.

Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia, mengenang perjumpaan terakhirnya dengan Natsir di rumah sakit. ”Saya sedih melihat keadaan rumah sakit yang tidak layak untuk seorang pemikir besar Islam. Beliah layak mendapatkan layanan yang lebih baik,” kata Anwar.

Rezim Orde Baru yang banyak dibantu Natsir melupa­kan sang tokoh di akhir hayatnya.

Sumber : Laporan Utama Majalah Tempo Edisi 21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan dari, oleh dan untuk Blogger